Selimut ibu yang saya simpan di dalam almari sebenarnya adalah selimut yang saya belikan hasil gaji yang saya terima pertama kali dari kantor tempat saya bekerja. Setamat SMA saya langsung bekerja di sebuah perusahaan swasta. Ibu, seorang janda yang pekerjaannya sebagai penjual nasi pecel, oleh tetangga dan masyarakat sekitar, sudah dibilang luar biasa. Saya masih ingat, Ibu mencium selimut warna abu-abu pemberian saya itu dengan berlinang air mata.
"Seharusnya kau pergunakan untuk keperluanmu dulu, Pram. Tapi baiklah, tidak ada kata-kata yang bisa aku sampaikan kepadamu selain terima kasih atas bakti dari anakku. Semoga Gusti Allah meridhoimu," kata Ibu terbata-bata sambil memeluk saya.
"Mulai hari ini selimut yang indah ini akan kupakai dan tidak akan ganti dengan selimut yang lain." Saya tidak bermaksud ingin diperlakukan demikian. Tapi saya jadi terharu dan merasa bahagia sekali.
"Semoga abangmu, Pras, juga menjadi anak yang baik seperti kamu. Meski usahamu untuk mencari tahu keberadaannya belum menunjukkan titik terang, Ibu selalu berdoa, semoga ia berbakti kepada ayahnya dan ingat kepada kita, ibu dan adiknya," lanjut Ibu tak dapat menahan isaknya.
Hati saya tersentuh. Tiba-tiba muncul kerinduan saya akan Mas Pras. Sejak perpisahan Ibu dengan Ayah, saya tidak pernah lagi berjumpa dengannya kecuali hanya sekali. Itu terjadi sekitar dua tahun setelah perpisahan Ibu. Mas Pras diantar ke rumah dan beberapa jam kemudian dijemput kembali oleh Ayah. Waktu itu Mas Pras memakai baju baru, tapi kelihatan agak kurus. Sorot matanya agak redup, tapi cukup tabah ketika Ibu memeluknya sambil menangis. Menurut pengakuan Mas Pras, ia telah memiliki ibu baru. Ketika itu saya merasa benci kepada Ayah yang telah meninggalkan dan memisahkan kami dan tidak mau masuk ke rumah. Kebencian terhadap ayah saya itu memang sudah tertanam di dalam hati sebelumnya. Kelakuan Ayah yang kasar terhadap Ibu tak pernah bisa saya lupakan hingga kapan pun.
"Apa? Tidak ada uang?! Mana uang yang kuberikan kemarin?! Mana?!" hardik Ayah pada suatu hari.
"Sini, berikan uang itu!"
"Uang itu untuk belanja, Mas. Untuk makan."
Plak! Plak! Ibu menjerit dan kedua telapak tangannya melindungi mukanya.
Adegan mengerikan seperti itu menjadi tontonan gratis yang sering kami saksikan. Saya yang baru duduk di bangku TK selalu ketakutan dan menjerit-jerit kalau melihat Ayah menyiksa Ibu. Sedangkan Mas Pras yang sudah SD hanya terduduk di sudut kamar sambil menutup telinga, mendekap kepala.
"Ibu, kenapa ayah kejam sekali? Kenapa Ayah suka memukul Ibu?" saya sering merengek dalam dekapan Ibu bila Ibu habis bertengkar.
"Engkau terlalu kecil untuk memahami persoalan orang tua, Pram," begitu jawaban Ibu yang tak bisa memuaskan hati saya.
Dan, suatu peristiwa yang masih membekas dalam ingatan terjadi ketika pada suatu hari Ayah marah besar dan memukul Ibu. Tidak hanya itu, segelas kopi panas yang disediakan Ibu untuk Ayah, tidak diminum, tetapi disiramkan ke badan Ibu, mengenai leher dan dadanya. Ibu menjerit. Saya pun ikut menjerit dan memeluk Ibu.
Hari itu juga Ayah meninggalkan rumah dan memaksa Mas Pras ikut dengannya. Sejak itu saya tak pernah berjumpa kembali dengan mereka kecuali hanya yang sekali itu. Entah pindah ke mana mereka, kami tidak tahu.
Dalam usia enam tahun saya mulai hidup dalam asuhan seorang janda. Ibu memang luar biasa. Ia justru lebih santai hidup menjanda meski kemudian harus bekerja sendiri dengan menjual nasi pecel, rujak, kolak, di depan rumah. Tuhan memang Mahaadil. Dengan usahanya itu – ditambah sedikit bantuan dari beberapa kerabat Ibu – Ibu bisa menghidupi dan menyekolahkan saya.
Hidup dalam kesederhanaan tidak membuat kami menderita, bahkan senyatanya hidup kami lebih tenang. Bila malam tiba Ibu masih sempat mendongeng atau bercerita tentang banyak hal sebelum saya tertidur dalam pelukannya.
"Dingin, Bu," saya merapatkan ke tubuh Ibu menjelang tidur waktu turun hujan.
"Air hujannya tempias dari celah-celah genting. Nanti kalau Gusti Allah memberi rezeki, kita pasang eternit, setidaknya di kamar tidur."
"Kapan, Bu?" Saya memandangi temaramnya genting-genting yang basah di atas tempat tidur.
"Ya, kalau kita sudah mampu. Nanti kalau kamu sudah besar dan bekerja, tentu kamu akan mampu memperbaiki rumah ini. Sudahlah kamu tidur saja. Selimut untuk kita berdua ini cukup mengurangi dingin," hibur Ibu.
"Tapi selimutnya tipis, Bu. Masih dingin."
"Nanti kalau kamu sudah bekerja juga mampu membeli selimut yang tebal dan indah."
"Aku juga ingin membelikan untuk Ibu," kata saya meluncur begitu saja.
"O ya? Kamu anak baik, Pram. Sekarang, kamu tidur ya. Agar tak terlambat bangun," kata Ibu sambil mendekap saya. Kehangatan dekapan Ibu membuat saya terlena dalam mimpi tentang selimut yang indah.
Yang lebih mengagumkan, Ibu selalu menolak lamaran dari laki-laki yang menginginkan untuk menjadi ayah bagi saya. Hidup menjanda di usia yang masih muda tidak membuat hidup Ibu jadi kacau. Satu-satunya yang merisaukan hati Ibu adalah manakala teringat akan anak sulungnya, Mas Pras.
"Ibu selalu berdoa agar ia menjadi anak yang berbakti kepada orang tua. Biarpun terhadap ibu tiri, semoga ia tetap menghormati."
"Saya juga rindu kepada Mas Pras, Bu. Tapi terhadap Ayah, saya benci."
"Kamu tidak boleh berkata demikian, Pram. Sejelek apa pun, kamu harus menghormati orang tuamu, termasuk kepada ayahmu," kata-kata seperti itu sering dinasihatkan ibu.
Setelah saya bekerja, kehidupan kami sedikit banyak ada kemajuan. Sedikit-sedikit saya bisa membantu kebutuhan rumah tangga. Sedang Ibu tidak hendak meninggalkan pekerjaannya. Makanya, rumah kami beserta perabotnya berangsur-angsur berubah menjadi semakin baik. Sambil bekerja saya pun dapat melanjutkan kuliah di sebuah perguruan tinggi swasta. Hal yang cukup mendorong karier saya di tempat kerja.
Melihat itu, sebagaimana semua ibu di dunia ini, Ibu menyarankan agar saya mulai memikirkan pasangan hidup. Katanya, ia merasa sudah ingin menimang cucu. Dengan ragu saya memang mulai melirik gadis-gadis yang pantas menjadi istri saya. Pantas dalam arti mau hidup sederhana.
"Kalau memilih istri jangan asal cantik, Pram. Yang penting bisa saling memahami keadaan masing-masing. Tidak boleh ada yang mau menang sendiri. Sabar menghadapi cobaan adalah kunci keutuhan rumah tangga."
Tapi keinginan itu belum kesampaian hingga suatu ketika Ibu terserang penyakit tipus. Berobat ke dokter berlanjut dirawat di rumah sakit belum cukup untuk menolak panggilan Ilahi. Saya merasa dipaksa memagut kehampaan. Kebahagiaan Ibu yang ingin saya bangun dengan mempersembahkan kebahagiaan hidup setelah saya berkeluarga belum berhasil saya wujudkan. Demikian juga usaha saya untuk mempertemukan Ibu dengan Mas Pras masih sebatas impian.
Barulah empat tahun sepeninggal Ibu, setelah saya menyelesaikan studi saya, saya menikah pada usia dua puluh delapan. Istri saya seorang gadis yang cukup cantik, berasal dari keluarga yang cukup berada. Ia seorang pegawai di sebuah kantor perusahaan swasta dengan kedudukan yang lumayan tinggi, setidaknya bila dibanding saya sendiri. Kini kami sudah dikaruniai seorang laki-laki dan baru saja masuk SD.
***
"Papa, kenapa Mama tidak pulang?" tanya Doni, anak saya, ketika kami berada di tempat tidur.
Sengaja ia saya ajak tidur di kamar saya.
"Mama sedang di luar kota, di Bandung. Mama sedang ditugaskan oleh perusahaan ikut seminar," kata saya sambil menerangkan selintas tentang apa itu seminar.
"Pa, Mama sayang apa nggak sama Doni?"
"Ya, tentu saja sayang, Don. Seperti Papa juga sayang sama Doni."
"Tapi Mama jarang mencium Doni, Pa."
"Ha ha ha, Doni kan sudah SD. Masa masih ingin dicium?"
"Tapi Papa kok sering cium Doni? Papa sering ngajak main sama Doni. Papa juga sering membuatkan susu. Kalau Mama, tidak pernah."
"Ah, Mamamu, 'kan sibuk, Don."
"Mama kejam ya, Pa?"
Tenggorokan saya serasa tercekat.
"Papa sering ditampar dan dipukul. Papa kok diam saja sih? Papa tidak berani melawan ya?"
Bayangan Ibu yang tidak melakukan perlawanan ketika ditampar dan dipukul Ayah tiba-tiba membayang di depan mata saya.
"Kenapa sih Mama kok kejam sekali, Pa?"
"Tidak, tidak kejam. Kamu masih terlalu kecil untuk memahami persoalan orang tua, Don," sebenarnyalah hati saya teriris. "Sudahlah, Don. Tidurlah agar besok tidak terlambat bangun."
Akhirnya Doni pulas di samping saya. Saat itu saya hanya mampu memandangi keremangan eternit putih di atas tempat tidur. Kerinduan saya kepada Ibu dan Mas Pras tiba-tiba bangkit perlahan-lahan. Kepada mereka, ingin rasanya saya menumpahkan perasaan saya. Tapi Ibu sudah tiada. Dan, Mas Pras belum ketahuan rimbanya. Apakah ia bernasib baik atau lebih buruk, saya tidak tahu.
Saya bangkit dari tempat tidur dan membuka almari. Seperti biasa, setiap kali dihinggapi rasa sepi, diam-diam saya selalu mengambil selimut Ibu. Selimut yang juga dipakai Ibu selama sakit menjelang wafatnya itu memang sengaja tidak saya cuci. Ketika selimut itu saya cium dalam-dalam, bau keringat Ibu yang harum seakan memberi kekuatan pada batin dan jiwa saya.
Kudus, 2002
(Pernah dimuat di SUARA PEMBARUAN)
Tentang cerpenis
Yudhi Ms. lahir, besar, dan hidup sampai tua di Kudus, Jawa Tengah. Karyanya berupa puisi, cerpen, geguritan, esai, naskah drama, juga novel. Puisi dan cerpennya pernah dimuat di sejumlah media massa pusat dan daerah. Aktif di dua komunitas yang ia ikut mendirikannya, Keluarga Penulis Kudus (KPK) dan Forum Apresiasi Sastra dan Budaya Kudus (FASBuK).
------------------------------------------------------------------
Sumber cerpen: Tuas Media
Sumber biodata cerpenis: Wartamantra
Sumber ilustrasi: Pixabay
0 comments:
Post a Comment