Friday, April 23, 2021

Puisi-Puisi Rabindranath Tagore, Sang Penerima Hadiah Nobel untuk Kesusastraan



Panggilan Hidup

     Jika gong berdengung sepuluh kali di pagi hari dan aku berjalan menuju sekolah, bertemulah aku setiap hari dengan penjual kelontong yang berteriak, “Manik! Manik batu!"
     Tak ada yang memburu dia, tak ada jalan yang harus ditempuh, tak ada tempat ke mana ia harus pergi.
     Aku ingin jadi penjual kelontong yang menghabiskan hari-harinya di jalanan sambil berteriak, "Manik! Manik batu!"
     Jika sore hari pukul empat aku pulang dari sekolah, kulihat dari gerbang masuk tukang kebun sedang menyabit rumput di halaman.
     Ia bekerja sesuka hatinya, mengotori bajunya dengan debu, berjemur di bawah panas matahari, kehujanan tanpa seorang pun melarangnya.
     Aku ingin jadi tukang kebun yang bekerja sesuka hati, dan tak seorang pun melarangku.
     Jika malam tiba dan ibu menyuruhku tidur, kulihat lewat jendela, peronda malam bolak-balik di gang.
     Jalanan gelap, dan sepi, dan lampu pasar tegak bagai raksasa bermata merah di tengah kepalanya.
     Peronda itu berjalan membawa lampunya bersama bayang-bayangnya, dan ia tak pernah tidur selama hidupnya.
     Aku ingin jadi peronda dan berjalan di jalanan sepanjang malam sambil menghalau bayang-bayang dengan lampuku.

(Terjemahan Abdul Hadi W.M.)


Tukang Batu

     Engkau kira aku anak kecil, Ibu, tetapi engkau keliru, karena aku adalah Noto, tukang batu, dan aku berusia tiga puluh tahun.
     Tiap pagi aku naik kereta dan pergi ke kota dan aku susun batu demi batu dengan kapur dan semen dan mendirikan tembok seperti gambar menangkap aku.
     Engkau kira aku bermain rumah-rumahan dengan kerikil dan batu-batu, tetapi aku katakan kepadamu aku mendirikan rumah sungguh-sungguh.
     Ini bukan rumah-rumah kecil karena aku dirikan tiga tingkat dan tiang-tiang yang kuat.
     Tetapi bila engkau tanyakan kepadaku mengapa aku berhenti di sana dan mengapa aku tiada melanjutkan membangun
tingkat demi tingkat sehingga atapnya mencapai bintang-bintang,
aku yakin aku tiada dapat mengatakan kepadamu dan aku mengherani diriku sendiri mengapa aku akan berhenti di mana saja pada segala
     Aku naiki perancah bila saja aku suka dan ini adalah kegembiraan yang lebih besar daripada hanya bermain-main. Aku mendengar pekerja-pekerja lelaki dan perempuan bernyanyi-nyanyi dalam bekerja dan memalu dan meratakan atap, gerobak-gerobak berderak-derak sepanjang jalan-jalan, dan musik jalan dari pedagang pedagang dan penjual-penjual barang logam dan buah-buahan, pada petang hari kanak-kanak lari pulang dari sekolah dan gagak-gagak terbang berkoak-koak ke sarangnya.
     Engkau tahu, Ibu, aku tinggal di dusun kecil di tepi telaga.
     Tetapi bila engkau tanyakan kepadaku mengapa aku tinggal dalam sebuah gubuk beratap jerami sedangkan aku bisa mendirikan rumah-rumah besar dari batu dan mengapa rumahku tidak akan yang terbesar dari semuanya, aku yakin aku tiada dapat
mengatakan kepadamu.

(Terjemahan Majang 'n Dresjwari)


Tentang Penyair

RABINDRANATH TAGORE dilahirkan tahun 1861 di Calcutta, India dan Ia meninggal tahun 1941. Ia berasal dari keluarga kaya yang sangat mencintai seni. Dirinya telah terbiasa dengan sajak-sajak penyair India dan Persia sejak kecil, misalnya Hafiz yang merupakan penyair sufi abad ke-14 dan pengaruhnya begitu membekas padanya. 

Ia pernah menuntut ilmu hukum di Inggris,
tetapi tidak selesai dan kembali ke India untuk mengurus tanah orang tuanya. 

Meskipun bertahun-tahun kemudian ia mengalami berbagai kesulitan keuangan, tetapi ia malah mendirikan sekolah khusus untuk anak laki-laki, Shanti-Niketan. Ia membagi waktunya antara mengajar, menulis dan menterjemahkan. Karya Tagore meliputi 50 drama, 100 kumpulan puisi, 40 kumpulan cerpen dan roman, serta sejumlah buku esei dan filsafat.

Adapun sekitar 12 karyanya telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia, termasuk kumpulan puisi religius Gitanyali (Pustaka Dian Rakyat, Edisi Revisi 1995). Karya ini sering dianggap sebagai karya puncak Tagore.

Tagore menerima Hadiah Nobel untuk Kesusastraan tahun 1913 dan tahun 1915 menerima gelar kebangsawanan Sir dari Kerajaan Inggris. 
--------------------------------------------------------------------
Sumber tulisan: Antologi Puisi Nobel
Sumber ilustrasi: Pixabay


0 comments: