Sudah lebih tiga bulan ia tidak nge-mall. Juga minum kopi di café, makan di resto favorit, atau nonton bioskop. Bahkan, belanja apa pun mesti online, lewat aplikasi atau WAG perumahan. Benar-benar ia tidak keluar rumah. Anak-anaknya tidak sekolah, dan suaminya WFH, Work From Home. Hanya sesekali ia pergi ke warung tetangga untuk membeli kebutuhan mendesak. Tiap hari dihabiskannya waktu dengan keluarga, bercanda, ngobrol, masak bareng, belajar, nonton TV, dan tak lupa berantem atau menjadi wasit – bergantian saja, perang ala ala keluarga antara anak-anaknya, atau anak-anak dengan sang ortu, sesekali tentu saja ia dengan sang suami. Itu biasa bukan?
Namun, hari ini ia benar-benar ingin mengenakan baju baru yang dibelinya onlen minggu lalu. Juga sepatu kekinian yang sudah sekian lama nangkring di pojokan ruang. Dan ia benar benar mengenakannya pagi ini, berdandan sedikit menor, dan bubuhkan parfum di balik kedua telinganya. Sambil bercermin ia senyum-senyum sendiri. Ia bosan daster dan kain lap beserta bau bumbu. Ia benar-benar seolah mau pergi ke kondangan. Kini, ia mau beri kejutan pada suaminya yang masih asyik membongkar mobilnya, mumpung ketiga anaknya masih tertidur pulas setelah sahur dan sholat Subuh tadi.
Selagi ia mengendap-endap menuju garasi, ponselnya berdering. Dari Shelly, tetangga sebelah.
“ Hai, Mbak Shelly, apa kabar…pasti mau nanya resep masakan ya?”
“Pagi Mbak, udah mandi pagi? Oh bukaaaann…kali ini aku mau ngajak jalan”
“What? Jalan ke mana?“ ia terpekik sesaat, lalu mulai memelankan suaranya.
“Mall Ailapyu udah dibuka kemarin, Mbak, masak nggak tahu? Ayo gih ke sana bentar, cek barang baru”
Bzztttt…bzzztttt...bzzzttttt....
Lalu terjadilah keseruan dalam percakapan, mulai cekikikan hingga bisik-bisik penuh rahasia yang tak bisa disadap oleh telinga siapa pun, kecuali emak-emak sekloter yang paham bahasa sandi mereka.
Ternyata mereka bersepakat, dalam satu jam kedepan Mall itu harus mereka tinjau. Jangan sampai kelewatan atau ketinggalan. Mereka sudah sangat rindu hawa Mall, sejuk AC-nya yang tiada tara, serta belanja barang-barang dengan cara memilih sendiri, bukan dengan scroll layar hape.
Dua emak penuh gairah membara membayangkan mall, lupa sesaat dengan corona yang selama ini mereka takuti, tiba-tiba punya nyali besar untuk meminta izin pada suami mereka untuk pergi berdua. Tentu saja para suami melarang. Akan tetapi, demi janji memenuhi protap ketat dan segala tetek bengeknya, luluh juga mereka.
Eng ing eng…ke Mall coy…
Hanya perlu sepersekian detik, mereka telah masuk dalam mobil Shelly. Mobil yang selalu menganggur dan terlihat tidak berguna sekian lama, kini menjadi kendaraan tercepat menuju Mall Ailapyu. Masker berwarna-warni mereka kenakan, disesuaikan dengan warna baju tentu saja.
Di dekat pintu masuk, mereka diperiksa suhu tubuhnya oleh satpam. Dituangi gel antiseptic di tangan, lalu dipersilahkan mengantri masuk ke dalam Mall yang mulai berjubel penuh dengan manusia. Semua bermasker, dan tampak terburu-buru, membawa belanjaan. Ia dan Shelly tampak sedikit canggung. Antara takut dan ingin.
“Semangat” bisik Shelly. Lalu keduanya menceburkan diri dalam lautan manusia bermasker yang sudah lupa dengan aturan distancing-distancing.
Alamak, betapa rindu mereka dengan suasana ini. Escalator, deretan baju branded, diskon dan aneka gift voucher. Belum lagi, café dan berderet counter mini resto yang sekian bulan hanya mereka pesan melalui ojol.
“Aku mau beli ini dulu buat buka puasa anak-anak nanti” ia setengah berteriak pada Shelly.
Shelly juga tak kalah kalap, memborong baju, handuk, gorden, seprai, aneka kue dan masih banyak lainnya sehingga trolly belanja mereka terlihat seperti truk angkutan barang.
Hampir dua jam, waktu yang diberikan pak suami hampir habis. Sebagai finishing, mereka mampir ke outlet make up dan kecantikan. Membeli beberapa warna lipstick dan eye shadow yang habis karena konon barang macam begini tak akan puas jika beli via onlen, tak bisa dicoba. Ah, ada saja alasan.
Akhirnya, sampai juga mereka di rumah masing-masing. Pastinya ada rasa bersalah ketika anak-anak dan suami melotot melihat banyaknya barang yang ia turunkan dari mobil. Tapi tak apalah. Namanya juga belanja tahunan.
Ia mencuci tangan, ganti baju, dan mencuci lembaran uang kembalian. Bagaimanapun ia masih mematuhi undang-undang anticorona ini.
Sambil memeluk si kecil yang ngambek ditinggal ke Mall, ia memindah channel televisi. Berita tentang korban virus mematikan ini terus saja menghantui siapa saja. Ia tak mau lagi mendengarnya, lebih baik nonton drakor atau konser kemanusiaan yang baru saja mulai, melibatkan para artis, penyanyi dan beberapa pejabat. Nah, ini baru asyik. Hiburan rakyat, agar tak stress memikirkan wabah yang tak tahu kapan usainya.
Hingga seminggu kemudian, ia mendapati kabar bahwa salah satu gerai di Mall Ailapyu ditutup karena beberpa karyawannya positif COVID-19 Untung saja ia tak jadi belanja makanan disana, ia bersyukur. Tapi, berita yang ada makin berkembang, ternyata bukan hanya gerai itu saja yang karyawannya kena corona, melainkan beberapa satpam dan karyawan cleaning service. Ia mulai bergidik. Scroll berita apa saja mengenai cluster Mall Ailapyu.
Akhirnya sampailah ia pada kolom imbauan kepada seluruh pengunjung Mall pada hari-hari ia pergi ke sana itu, untuk melakukan uji sample rapid, bahkan CRP jika diperlukan, gratis.
Kali ini ia membaca tulisan GRATIS, tanpa selera. Tulang dan seluruh sendinya terasa lemah tak berdaya. Apalagi sudah tiga hari ini ia merasa demam, tenggorokan terasa tak enak, tapi disembuyikannya dari suami dan anak-anaknya, takut kena omelan. Pasti mereka akan bilang: Tuh sih mamah, gara-gara ke Mall.
Gemetaran ia mengirim whatsapps Shelly. Ternyata sama, Shelly demam juga. Lalu sayup terdengar berita dari televisi, bahwa Mall Ailapyu ditutup karena terbukti telah banyak menularkan virus corona, bahkan telah djuluki cluster Mall, cluster baru di kota ini
Ia terduduk lemas. Tatapannya kosong memandang lipatan baju baru di sudut meja. Adzan Magrib berkumandang. Ia belum menyiapkan apa pun untuk hidangan berbuka puasa.
---------------- end------------------
Shantined, 18/05/2020
Shantined, lahir di Yogyakarta, 21 Oktober 1972. Ia sudah menulis puisi dan cerpen sejak SD. Sampai saat ini, puisi-puisinya sudah muncul di berbagai media massa, misalnya Majalah Sastra Horison, Harian Republika, Suara Pembabaruan, Minggu Pagi, Kaltim Pos, Tribun Kaltim, Dinamika & Kriminal, dan buletin BENL
Beberapa puisi dan cerpennya termuat dalam beberapa antologi bersama, di antaranya Antologi Puisi Perempuan Penyair Indonesia 2005 (Risalah Badai & Komunitas Sastra Indonesia, 2005), "Negeri Terluka Antologi Puisi Perempuan Penyair Indonesia" (Risalah Badai & Logung Pustaka, Yogyakarta, 2005), antologi puisi The End oF Trilogy "Dian Sastro For President" (Akademi Kebudayaan Yogyakarta, 2005), antologi puisi "Perkawinan Batu" (Dewan Kesenian Jakarta, 2005), antologi puisi 17 Penyair Perempuan Indonesia "Selendang Pelangi" (Indonesia Tera, 2006), antologi puisi "142 Penyair Menuju Bulan" (Kelompok Studi Sastra Banjarbaru, Kalsel, 2006), antologi puisi "Medan Puisi" (Sastra Laboratorium, Medan, 2006), antologi puisi penyair "Balikpapan Menatap Masa" (Dewan Kesenian Balikpapan, 2007), antologi cerpen "Bingkisan Petir" (Mahatari dan Jaring Penulis Kaltim, 2005), antologi cerpen "Samarinda Kota Tercinta" (Jaring Penulis Kaltim, 2007), dan antologi cerpen "Balikpapan Kota Tercinta" (2007).
0 comments:
Post a Comment