Friday, March 22, 2019

PERCINTAAN DALAM KELAM, Cerpen Korrie Layun Rampan dalam Nyanyian Lara




    
Kesibukannya sangat tampak dari geraknya. Bukan hanya di ruang kerja, tetapi juga di dalam mobil. Belum lagi melepas pager dan ponsel,  suara telepon memberitakan suatu hal penting. Ia kurangi tekanan pada pedal gas, ia kurangi kecepatan agar bisa mendengar apa yang diinginkan penelepon. Tangan, kaki, pikirannya sibuk.
   
Waktu baginya adalah kerja. Kerja berarti kesibukan. Kesibukan berarti uang. Uang berarti persaingan. Persaingan berarti taktik. Taktik berarti cara memenangkan persaingan. Apakah sehat atau tidak, tak jadi soal, yang penting usaha berjalan lancar, dan keuntungan dapat diraup. Bukankah keuntungan adalah tujuang akhir?

“Rapat penting hari ini,” suara sekretarisnya setibanya di kantor.

“Sudah kausiapkan segala sesuatunya?” ia membuka catatan agenda. Ia dapatkan catatan bahwa hari ini akan dibahas masalah pemasaran. Bagaimana memanfaatkan peluang di tengah globalisasi. AFTA sudah berjalan hampir di seluruh negeri.
    
“Semuanya beres,” ia dengar sekretarisnya, Lince, seorang sekretaris profesional. Ia menyukai gadis itu karena cekatan, intelegensinya tinggi, kerjanya rapi, dan ia penuh disiplin. “Semua kepala bagian telah hadir.”
    
“Hampir ia belum siap mengatur napas, pekerjaan menyeruak dengan cepat. Rasanya belum pulih seluruh tenaganya dalam istirahat semalam, hari ini sudah dimulai dengan kerja yang lebih berat lagi.
   
Kepala bagian pemasaran mengajukan beberapa metode pemasaran untuk memenangkan pasar. “Banyak produk sejenis yang harus ditandingi dengan cara pemasaran dan penjualan yang tepat-guna,” Kabag pemasaran itu menyampaikan pendapatnya. “Asal didukung oleh iklan dan promosi yang sama gencar!”

“Secara insting ia dapat menyetujui gagasan kepala pemasaran. Tetapi biayanya? Lama promosi dan pengiklanan? Berapa perbandingan antara keuntungan dengan eksploitasi?
    
“Cara yang terbaik adalah kita memblokir pusat-pusat pasar yang secara kalkulatif sangat menguntungkan,” suara kepala pemasaran. “Setelah itu diblok lagi pusat-pusat pasar yang secara teoretik menguntungkan. Tahap akhir baru pemerataan.”
    
“Caranya?” ia bertanya.
    
“Telah dipaparkan di makalah, Bu Siska. “Metode ini jauh efisien dari modal-modal yang pernah dijalankan.”
    
Rapat itu membawa inspirasi baru lagi Siska untuk mengembangkan pasar. Semangatnya dalam pemajuan perusahaan sungguh luar biasa. Didikasinya tak pernah surut, dan daya majunya membuat dirinya meraih keberhasilan yang sukar disamai oleh karyawan lain yang sebaya dengannya. Tak heran jika ia melejit sampai ke puncak eksekutif.
     
“Rapat dan rapat, lalu pertemuan dengan rekanan bisnis, resepsi, jamuan di hotel berbintang, dan hari-hari yang pendek makin terasa lebih pendek. Waktu seperti bersaing dengan pekerjaan, membuat segalanya serba cepat.
    
Siska menarik napas lega. Satu tahap dari pekerjaannya hari ini telah selesai. Tinggal bagaimana pelaksanaan selanjutnya. Ia telah menandatangani semua yang dibutuhkan, termasuk biaya yang diajukan.
    
Sejenak ia melepaskan napas. Apakah ia maniak kerja? Hatinya selalu rusuh jika meninggalkan pekerjaan, apalagi kalau pekerjaan itu setengah jadi, atau baru sedang dimulai. Ia selalu ingin melihat hasilnya, dan ia selalu ingin semuanya berhasil. Karena itu ia selalu berusaha untuk menyelesaikan semua pekerjaannya lebih cepat daripada waktu yang ditentukan. Setelah itu ia selalu membuka kemungkinan lain untuk pengembangan perusahaan. Tak heran kalau perusahaan yang dipegangnya telah beranak-pinak.
    
Benarkah ia maniak kerja?
    
Atau sama saja dengan orang lain? Dengan para eksekutif lain yang lebih suka bekerja lebih dari waktu seharusnya? Workaholic? Atau memang semua eksekutif demikian sibuk? Karena semua eksekutif yang berhasil adalah orang-orang yang memang gila kerja? Tetapi dirinya sendiri? Adakah lebih dari para eksekutif lainnya karena ia tak sempat memikirkan diri sendiri? Atau ia memang tidak membutuhkan orang lain? Seperti sopir? Sebagai eksekutif, ia mendapat fasilitas seperti sopir, tetapi mengapa ia menolak sopir? Apakah ia membenci lelaki? Tetapi, bisa saja ia menggunakan sopir wanita? Mengapa ia harus menyetir sendiri? Karena ia memang suka menyetir? Karena ia gila kerja?
    
Sebenarnya ia suka bersaing. Mengapa perusahaan yang dikelolanya cepat menanjak dan maju pesat, karena ia memenangkan persaingan. Banyak perusahaan sejenis yang tumbang karena kalah bersaing. Bahkan ada perusahaan raksasa yang hampir roboh kalau tidak cepat-cepat mengadakan merger dengan perusahaan yang ia pimpin. Untuk kiatnya mengelola bisnis yang aneka macam, ia selalu memompakan cara ampuh dalam bersaing kepada karyawan dan managernya bahwa langkah pertama untuk menenangkan pasar adalah menaklukkan selera konsumen. Setelah itu membuat mereka kecanduan, dan kemudian menjadikan mereka maniak!
    
Bisnis itu suatu keindahan!
    
Jika keindahan itu dilakukan dengan jurus juru masak yang kesohor karena selalu menghidangkan masakan yang lezat cita rasanya, orang lapar mana yang tak mau makan, kalau doku tersedia di saku? Lalu mereka akan datang lagi dan lagi, kalau lidah mereka selalu digoyang oleh kelezatan yang mahalezat?
    
Kiat jual adalah menjadikan komoditas itu sebagai kebutuhan utama. “Seperti makanan,” ia berkata kepada managernya. “Seperti pakaian. Seperti rumah. Siapa yang tak membutuhkannya? Jadikan benda yang kita jual tingkat kebutuhannya seperti itu, meskipun bukan makanan, bukan pakaian, dan bukan rumah.”
    
Bawahannya makin kagum dengan ide-idenya yang cemerlang. Dan mereka merasa cocok bekerja di bawah seorang yang kreaktif, karena mereka dapat belajar berbagai pengalaman yang menakjubkan di bidang niaga. Bukankah, jika nanti mereka hengkang, mereka sudah mendapat ilmu tanpa harus membayarnya lewat fakultas yang maham biayanya di perguruan tinggi?
    
Sekretarisnya memohon maaf, saat menyodorkan beberapa berkas yang harus ditandatanganinya, saat Siska sedang tampak melamun.
    
“Ibu lagi memikirkan apa?” sekretarisnya meletakkan berkas-berkas itu. “Apakah Ibu kurang sehat?”
    
“Tak apa-apa?” ia mengelak, meskipun sebenarnya ada pikiran yang begitu saja datang menyeruak. Mengapa ia tiba-tiba teringat Handoyo?
    
Kapan sebenarnya ia berpisah dari Handoyo? Ah, bukan berpisah, karena ia tidak pernah bersahabat erat. Tetapi Handoyo yang pertama kali mengatakan ia cantik. Hampir tak ia ingat waktunya, lama sekali sudah berlalu, mungkin semasa di SMP. Ya, memang saat itu ia di SMP, saat Handoyo menyelipkan selembar surat di tasnya. “Fransiska cantik, Handoyo senang kamu.”
    
Ia senang dikatakan cantik, juga hanya Handoyo yang menyebut namanya secara lengkap. Hatinya berbunga, tapi ia lebih suka menaklukkan Handoyo dalam soal pelajaran. Ia ingat, saat di SMA, sekali Handoyo menulis surat, menyatakan perasaan hatinya. “Kamu cerdas,” tulis Handoyo, “kamu ada bakat menjadi kaya. Sayang kamu terlalu ambisius. Kamu bisa kehilangan cinta!”
    
Hampir ia tersentak, di mana Handoyo saat ini? Suaranya yang terakhir ia terima saat masih di fakultas. Tetapi semua surat Handoyo tak pernah ia balas. Benarkah bahwa ia akan kehilangan cinta? Sudah berapa anak Handoyo? Istrinya tentunya cantik. Apakah istri Handoyo juga wanita karier? Apakah ia hanya sebagai ibu rumah tangga biasa? Siska ingat tiga surat Handoyo masih disimpannya di tas sekolah. Segalanya yang berhubungan dengan kenang-kenangan masa silam semuanya disimpan di tas sekolah itu. Mengapa kemarin tiba-tiba ia terpegang lagi tas itu dan terbaca surat Handoyo?
    
Siska menyiapkan semua pekerjaannya. Ia rapikan mejanya, ia ingin mengambil beberapa jam untuk keperluan pribadi, untuk merenungi segala yang pernah dijalani. Terlalu lama ia berjuang untuk ambisi dan kemajuan perusahaan, seakan tak ada lagi waktu untuk privacy. Bahkan tidak juga untuk cinta, rumah tangga, dan aktivitas sosial. Ia seluruhnya terbenam di dalam rutin pekerjaan yang membelenggu di seluruh waktu.
    
Dahulu ia membayangkan kebebasan dan kemerdekaan jika ia berkarier di luar rumah. Ia merasa kasihan kepada para ibu rumah tangga yang hanya sibuk di rumah sepanjang hari, terbelenggu oleh rutinitas. Tetapi setelah bertahun-tahun berkarier dan menempuh sukses yang berkepanjangan, ia jadi seperti orang kehausan. Selalu ingin memburu dan terus memburu keberhasilan yang datang bertubi-tubi. Tak pernah ada rasa puas, karena keberhasilan itu selalu bersifat sementara, ada keberhasilan lain yang belum dicapai, dan harus segera diraih. Setelah itu, ada lagi sukses yang sudah ada di depan mata, dan membutuhkan stamina meraihnya. Selalu begitu, dan selalu merasa dahaga untuk meraihnya.
    
Ia sudah tiba di rumah.
    
Apa yang kurang pada dirinya? Mobil mewah? Perabotan rumah tangga? Rumah saja nilainya milyaran rupiah. Kemewahan? Apa yang kurang pada dirinya? Uang deposito? Apa yang masih kurang jika hanya untuk diri pribadi? Biaya untuk keliling dunia? Apa yang kurang? Segalanya telah tersedia dan itu karena kerja kerasnya! Segala kemewahan dan kecukupan hidup telah ia raih, segala sukses dan pujian telah ia terima. Itu semua karena kerja keras yang tak kepalang tanggung.
    
Ia menarik napas dalam-dalam.
    
Mengapa ia tiba-tiba teringat Handoyo? Berapa lamakah ia sudah berpisah dari Handoyo? Seselesai universitas? Setelah Handoyo mengajaknya bersaing soal kerja dan keberhasilan? Hanya Handoyo yang berani mengatakan bahwa ia wanita yang akan berhasil tetapi selalu haus keberhasilan!?
    
Benarkah kata-kata Handoyo?

                                                                        ***
    
Apakah yang kurang pada dirinya? Berapa piagam sanjungan, pujian, dan anugerah telah ia terima sebagai buah kesuksesannya. Harta, uang, pangkat, dan jabatan ia miliki, tetapi di mana kepuasannya?
    
Tiba-tiba ia merasa lelah.
    
Apa lagi yang akan dikejarnya? Hampir sepanjang waktu hidupnya hanya diisi oleh kerja. Tak ia ingat berapa jumlah usianya kalau Handoyo tidak nelepon mengucapkan selamat ulang tahun.
    
“Ulang tahun keenam puluh?” ia bergumam pada dirinya sendiri. Matanya seperti dituntun tangan kebenaran terpandang pada kaca besar di depannya. Hampir pangling ia pada wajah itu, ada gurat-gurat yang mengendur dan tampak tua. Tiga puluh lima tahun lalu ia sudah berpisah dari Handoyo. Saat usianya dua puluh lima. Ia merasa makin lelah. Siapa suaminya? Hatinya panas dengan ucapan selamat ulang tahun dari Handoyo. Bukankah perusahaan Handoyo yang bersaing keras ingin mencaplok perusahaannya? Apakah ucapan selamat itu merupakan tantangan baru? Segala tantangan seperti itu yang membuat ia lupa akan cintanya sendiri. Lupa memeluk lelaki ke dadanya, hingga dada itu mengendur. Siapa lelaki yang akan tertarik kepada wanita usia enam puluh tahun? Hanya lelaki pengeretan?
    
Lagi-lagi ia merasa lelah. Adakah tantangan Handoyo kali ini harus dihadapi dan dimenangkan? Sebagai perjuangan terakhir? Hadiah ulang tahun keenam puluh? Atau Handoyo justru mau melamarnya karena lelaki itu juga belum mendapatkan  jodoh?
    
Siska jadi senyum sendiri. Apa enaknya jadi pengantin dalam usia enam puluh tahun? Tidakkah hanya menampilkan suatu kelucuan? Suatu anekdot dua konglomerat?
    
Di cermin tiba-tiba ia melihat wajahnya seperti wajah tiga puluh lima tahun yang lalu saat berpisah dari Handoyo. Bagaimana wajah Handoyo? Masih seperti wajah di usia dua puluh tahun?
                                                                        ***
    
Koran pagi esok harinya ramai memuat tulisan besar-besar sebagai: headline tentang meninggal secara mendadak dua konglomerat yang saling bersaing: Maria Fransiska Puteranto dan Bambang Handoyo karena sakit jantung. “Menurut sumber yang layak dipercaya,” tulis sebuah koran yang suka sensasi, “kedua konglomerat yang sama-sama lajang itu sudah sepakat untuk menikah secara resmi, meskipun mereka sudah lama hidup bersama. Namun di luar keduanya saling bersaing. Oleh kolusi terakhir, keduanya terjerat utang yang mungkin menjadi kredit macet sekitar empat sampai lima trilyun.
    
Sementara koran dibaca sekian juta mata, dan percakapan dan gosip dari mulut ke mulut tentang konglomerat yang meninggal itu, jenazah kedua konglomerat itu dengan segala tata cara dan kebesaran upacara dimasukkan ke dalam liang lahat masing-masing, di suatu tempat yang dipisahkan jarak ratusan kilometer. Selebihnya sesudah itu, siapa yang tahu dengan pasti derita atau bahagia macam apa yang dialami di alam kubur?

Jakarta, 5 Desember 1994
(Cerita buat Endang dan Budi)

0 comments: