Friday, January 11, 2019

Wajah Tua Kelabu



CERPEN YULIATI PUSPITA SARI 

Mataku tak lepas memandangi wajah keriput itu.  Tangannya begitu gesit menganyam helaian purun kering.  Aku kagum dengannya.  Usia senja tak membuatnya putus semangat.  Bermodal kemampuannya membuat tikar purun, ia mencoba bertahan untuk hidup. Bukannya tak punya anak, tapi naluri keibuannya membuatnya tak tega membebani mereka. Anak-anaknya juga mengalami nasib yang tak jauh berbeda dengannya, mereka juga harus berjuang keras untuk bertahan hidup.

“Mau bagaimana lagi, Cu, anak-anak Nini juga sama melaratnya seperti Nini,” katanya sambil mengunyah sirih yang sudah menjadi kebiasaanya. 

Aku tersenyum getir.

“Terlalu miskinkah anak-anaknya sehingga untuk merawat ibu yang telah melahirkan mereka saja mereka tak mampu?” rintihku di dalam hati. 

Lurus pandanganku menatap ke luar rumah.  Tampak hamparan purun yang berderet rapi siap menantang mentari yang begitu terik menerpanya.

“Anak-anak Nini di mana sekarang?”

“Jauh. Ada yang di Kotabaru, Balikpapan, Pontianak, bahkan ada yang merantau ke Sumatera.”  Nini ramlah menerawang, entah apa yang ada di benaknya.  Nini Ramlah menarik napas dalam-dalamnya. Guratan di wajahnya seolah mempertegas derita hidup yang harus dilaluinya. Celoteh riang anak-anak yang begitu asyik bermain di halaman menghadirkan kenangan masa silam nini Ramlah tentang anak-anaknya.

“Jauh sekali ya, Ni…”

“Di sini sudah sulit mencari kerja, Cu…, apalagi anak-anak nini tak ada yang sekolah tinggi.”

Kucermati kata-katanya. Lapangan kerja sekarang memang sudah semakin sempit, sungguh tak sebanding dengan para pencarinya.  Entah bagaimana nasibku kelak.  Abah bukan penguasa.  Ia hanya pegawai rendahan. Akankah aku sanggup bertahan dalam pergumulan yang menurutku miring itu?  Ataukah aku harus ‘tersingkir’ seperti kakak tertuaku yang saat ini hidup jauh di perantauan, terpisah dengan keluarga demi mendapatkan pekerjaan? 

Masih lekat dalam ingatanku cerita abah tentang pegawai baru di kantornya yang begitu mudah pindah kerja kembali ke tanah asalnya tanpa sempat kerja sehari pun di kantor tempat abah bekerja. Usut punya usut, ternyata hubungannya begitu dekat dengan sang penguasa.   Permainan apa lagi ini?  Abah bilang ini lah jenis nepotisme gaya baru.  

Kutemukan lelah yang begitu sangat di wajah  keriput    perempuan    tua    yang    sekarang    duduk di hadapanku. Kasihan nini Ramlah, setua ini masih harus bekerja.  Mengecap kebahagiaan berkumpul bersama anak dan cucu sepertinya hanya bisa hadir di mimpinya.

“Diminum dulu airnya, Cu.”

Alhamdulillah…”

Segelas air ini terasa begitu sejuk membasahi kerongkonganku yang kering.  Kutatap lagi wajah tua di hadapanku.  Ia masih asyik dengan anyaman tikar purunnya.  Sesekali ia  membuang sapah di mulutnya pada peludahan di sampingnya. Warna merah gambir menghiasi bibir tuanya.

“Ada pesanan ya, Ni?” Kucoba mengusir keheningan.

Nini Ramlah mengangguk.

“Iya, Cu, ada pesanan dari bu Haji, tikar purun untuk alas sajadah,” katanya dengan mata berbinar. 

“Pasti di bayar mahal ya, Ni, untuk pesanan khusus?”

Nini Ramlah tersenyum. 

“Alhamdulillah cukup untuk makan, Cu.  Lagi pula, yang namanya rezeki dari Allah, banyak atau pun sedikit, wajib kita syukuri.”

Aku kagum dengannya.  Kesempitan hidup tak membuatnya lupa untuk bersyukur.

***

Terik matahari masih enggan bersahabat dengan orang-orang yang melintas di jalan.  Berdesakan di dalam mikrolet membuat tubuhku semakin gerah. Keringat mulai membasahi pakaianku.

Seorang pengemis mengulurkan tangannya dari balik jendela mikrolet yang sedang berhenti di lampu merah. Kuhela napas panjang. Ia masih muda, tapi penampilannya sengaja dipoles sedemikian rupa untuk menarik belas kasihan orang lain. Kemalasan, inilah salah satu potret buram negeri ini.

Terbayang wajah tua kelabu yang entah apakah masih asyik dengan anyaman tikar purunnya. Sudah lumayan lama aku tidak menemuinya karena tenggelam dalam tumpukan data yang siap untuk diolah. Nini Ramlah, ia tahu banyak tentang tikar purun yang menjadi objek penelitianku.  Aku berhutang jasa kepadanya.  Data-data yang diberikannya menghantarkanku untuk menjadi seorang sarjana. 

“Assalamualaikum, Ni...” Aku senang bisa melihat perempuan tua itu lagi.

“Waalaikumussalamussalam...” Nini Ramlah terlihat kaget dengan kedatanganku. Mungkin ia tidak menyangka kalau hari ini aku akan ke rumahnya. 

“Ayo masuk, Cu,” lanjutnya lagi. 

Kucium tangan keriputnya.

Entah kenapa, hari ini kulihat nini Ramlah agak lain dari biasanya.  Tak ada anyaman tikar purun di tangannya.

 “Apa kabar, Ni?” Aku mencoba berbasa-basi.

“Alhamdulillah, baik, Cu.”

Kuletakkan sebungkus pisang goreng yang kubeli di jalan tadi. Seperti biasa, nini Ramlah pun menyuguhi aku secangkir air bening yang begitu sejuk membasahi kerongkonganku yang kering.

“Tikarnya mana, Ni?”

Mataku menjelajah ke setiap sudut ruangan, tapi tak kutemukan anyaman-anyaman itu.

“Apa yang mau dibuat anyaman, Cu, purun-purunnya sudah tidak ada lagi...”

“Maksud Nini?”

Nini ramlah menarik napas dalam. Kebisuan begitu kuat bertahta di antara kami.  Wajahnya tak seceria tadi. Kutangkap bias kesedihan yang begitu dalam dari wajahnya.

“Semua warga telah sepakat, mau tak mau nini juga harus ikut...,” ucapnya mengambang. 

Ingatanku melayang pada spanduk besar yang terpampang di pinggir jalan tadi.

“Benarkah nini Ramlah harus ikut pergi dari tanah kelahirannya demi toleransi dengan orang-orang    di     sekitarnya    yang     telah tergiur dengan setumpuk uang yang ditawarkan pada mereka?” gumamku lirih.

Satu lagi cerita asli tentang negeri ini akan tergantikan. Sawah, rumah papan, dan padang purun akan disulap entah jadi apa. Tak ada yang bisa kulakukan, bahkan sekadar mengusir kesedihan yang melingkupi nini Ramlah.

Nini Ramlah beranjak dari duduknya. Kakinya tak lagi gesit menopang tubuh rentanya. Kupapah tubuh tuanya menuruni anak tangga yang tak seberapa tinggi.

“Panas, Ni.” Selembar kertas koran kuletakkan sejajar di atas kepalanya.  Sekadar menghalau panas yang sangat menyengat.

“Tak apa, Cu, Nini sudah terbiasa dengan panas.” Nini Ramlah tersenyum hambar.

Pandangannya lurus menatap padang purun yang sebagian purun-purunnya sudah ditebas habis. Aku tak mengerti apa yang sekarang sedang bermain di benaknya. Aku hanya bisa menangkap raut kesedihan yang teramat sangat dari wajah tuanya.  Tubuhnya masih tetap mematung seakan tak peduli dengan sengatan mentari.

“Upik, Ujang, Fahri, ayo naik, sebentar lagi Magrib!”

Perempuan itu menggelengkan kepala melihat kelakuan ketiga anaknya.

“Segera mandi lalu pergi ke mushalla. Abahmu sudah pergi duluan.”

Ketiganya masuk ke dalam rumah sambil mengibas-ngibaskan tangannya ke rambut mereka yang dipenuhi serpihan buah purun.

“Ma, habis Magrib nanti Rahmah akan belajar ngaji di rumah acil ipit, ya?”

Gadis kecil berjilbab putih muncul dari balik pintu kamar. Dengan takzim diciumnya tangan ibunya.

“Hati-hati di jalan, Mah, selesai Isya langsung pulang ke rumah, ya...”

Rahmah mengangguk. Ia berlari-lari kecil menuju mushalla arah utara desa. Ramlah mengantarkan kepergian anaknya sampai pintu rumah. Diusapnya perutnya yang membuncit.

“Semoga kelak kamu juga akan jadi anak yang saleh, Nak,” gumamnya lirih pada janin yang ada dalam kandungannya.

“Ni, sebaiknya kita kembali ke rumah, kasihan Nini sudah terlalu lama berdiri di sini.” Kupegang tangan kurusnya. Nini Ramlah terperanjat. 

Sepertinya ia baru sadar dari alam hayalnya yang entah menceritakan tentang apa.

“Allah mungkin sudah mempersiapkan rencana lain yang lebih baik untuk Nini daripada sekadar menghabiskan hari tua dengan menganyam tikar purun,” kata nini Ramlah seolah mencoba berdamai dengan kemelut yang melanda hatinya.

***

“TAMAN PESONA INDAH.”  Gerbang itu begitu megah dan telah menyulap daerah pinggiran ini menjadi kota yang ramai. Tak ada tikar purun di sini, karena yang ada hanya karpet warna-warni. Tak ada bakul purun, karena kantong-kantong plastik telah siap mengganti posisinya. Kutarik napas dalam-dalam.  Entah di mana nini Ramlah sekarang. Aku kehilangan jejaknya semenjak transaksi jual beli permukiman itu terjadi.  Mungkin ia akan terkejut jika tahu di atas tanahnya telah berdiri sebuah rumah mewah dan tentunya tanpa tikar purun di dalamnya.

Aku berdiri mematung. Rumah ini dibeli suamiku tujuh bulan yang lalu dari rekan bisnisnya yang pindah ke kota lain.  Sesosok bayangan renta menari-nari dalam ingatanku.  Beberapa tahun yang lalu, aku dan sesosok tubuh renta itu pernah berdiri di sini memandang padang purun yang sebagian purunnya sudah di tebas habis. oo                                                    

Kertak Hanyar, 2008                                                                                               

Catatan.
 Acil = bibi / tante
Sapah = ampas kinangan


Yuliati Puspita Sari pernah aktif di Forum Lingkar Pena wilayah Kalimantan Selatan sejak tahun 2001.  Beberapa cerpennya pernah dimuat di media cetak.  

0 comments: