Tuesday, January 15, 2019

Empat Contoh Puisi Maman S Mahayana Berlatar Korea Selatan


 


Tak hanya para pencinta Korean Pop dan Korean Drama yang tertarik terhadap Negeri Ginseng. Insan sastra pun tak lepas dari pesonanya yang menawan dan menjadi inspirasi dalam melahirkan karya sastra.

Terbukti, seorang Maman S Mahayana yang merupakan kritikus dan sekaligus sastrawan kenamaan Indonesia menuliskan puisi-puisi berlatar Koera Selatan. Bahkan, sudah dia bukukan dalam antologi tunggalnya berjudul Jejak Seoul. Dalam buku itu jelas bahwa dirinya mengetengahkan tema kehidupan Korea (baca: Bangsa Korea) yang khas. Bisa dikatakan antologi tunggalnya tersebut menjadi pintu gerbang memasuki kebudayaan (kuliner, dll), sosial, dan juga sejarah panjang , khususnya di Korea Selatan.

Pria kelahiran Cirebon, JawaBarat, 18 Agustus 1957 silam ini memang sempat tinggal dan mengajar di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul. Jadi, tak heran peristiwa-peristiwa yang terjadi selama hidupnya di sana dia rekam dalam bentuk puisi.

Berikut adalah empat contoh puisi-puisinya yang berlatar Korea Selatan.


Di Museum Perundingan

Sebuah gubuk sebuah kamar
dipelihara jadi museum
seperti adanya
bersih sederhana
nyaman menegangkan
di sini monument dipancangkan
pada dua kursi berhadapan
menghadap meja kayu yang terbelah
selatan dan utara
di meja itu:
ideologi dipertahankan
perjanjian ditanamkan

Sebuah gubuk sebuah kamar
di Panmunjeom*
jadi museum perundingan
dua kursi berhadapan
di tengah meja yang terbelah
di belakangnya: mayat-mayat dan moncong senjata
seperti granat waktu
setiap saat siap pecah
menjelma perang nuklir

Panmunjeom, 11 November 2011


Pagi Ini Minus Dua Belas

Lampu-lampu jalanan sudah dipadamkan
jam tujuh pagi
belum juga datang rembang matahari
segalanya masih gulita
meski suara desau mesin dan decit ban mobil
tak juga henti
merayap dari jalan layang
menyusuri hutan kecil kumpulan pinus
di bawah teras belakang

Gedung-gedung apartemen
membentuk siluet-siluet pegunungan
redup dan suram
seperti pilar-pilar raksasa
yang bertumbuhan di lapangan terbuka

Ada sirene branwir dan raung ambulans
memecah keheningan
klakson sekali-sekali

Jam delapan rembang mulai datang
perlahan dan nyalang
gas pemanas di bawah lantai
menggerakkan kehangatan
kopi masih mengepul
ketela kecil-kecil
diiris tipis-tipis
bergemerongseng di penggorengan

Setelah lewat jam setengah sembilan
matahari lebih tenang dan percaya diri
menerabas kaca jendela
melelehkan embun sisa
menciptakan lika-liku alur salju tak keruan

Matahari tumpah sempurna di tempat tidur
membuka selimut
mencabut colokan pemanas kasur
melepas rangkap tiga kaos kaki dan stoking berbulu
menggantungkan switer

Aku tahu
di luar sana masih minus dua belas derajat.

Hwarangdae, 19 Desember 2012


Sebuah Berita

Seorang lelaki lewat paruh baya
membuncah hasrat menatap gadis abg sebelas tahun
belum ranum, payudara selapis buah mangga
terbungkus seragam sekolah

Seorang lelaki lewat paruh baya
menyimpan amarah di bawah selangkangan
dan malam itu
bulan tiba-tiba tenggelam
pecah di taman kota
dekat meja batu
di antara botol-botol soju
dan malam itu
angin berhenti
tak ada tegur sapa lagi
segalanya mati
tak ada tuhan
malaikat terpejam
kecuali:
napas yang berderak
napas yang tersendat
erang yang tak terdengar
segala bungkam
detak jam mendadak diam
dan darah luka yang menganga
kelam malam tenggelam dalam gelap

Berita hari ini: pecah menyebar ke seantero kota
masuk ke ruang-ruang kuliah
menempel di sekolah-sekolah
menyelinap dalam ingatan
para orang tua terpana tak terkira
sebuah berita tentang anak gadis yang diperkosa

Sudah sepekan: berita melayang-layang
tiba-tiba
pengadilan memutuskan:
seorang lelaki lewat paruh baya
disusupi chip tanda bahaya
dikebiri-diamputasi
diawasi sepanjang hidup
dilarang menginjak taman, sekolah, dan tempat bermain
dalam radius seratus meter
putus hubungan sanak keluarga
tinggal satu miliknya: napas!

Lelaki lewat paruh baya
memperkosa hidup
mungkin sesaat nikmat
mati sepanjang hayat
tiba-tiba
napasku tersendak, jika ingat Jakarta!

Seoul, 10 Oktober 2012


Panmunjeom

Di sini awalnya, di sebuah desa di Panmunjeom
perdu-perdu dan medan kosong
ilalang liar, tanah lapang dan hamparan rumput gajah
pembatas wilayah zona demarkasi

Tahun lima puluh
setelah tentara Cina menyerbu
lalu pulang tanpa senjata
Amerika datang
seolah-olah meleraikan
dan pergi menyisakan gereja-gereja
tiba-tiba: kesepakatan itu pecah sepihak
seketika: Seoul penuh asap dan mayat-mayat
menjadi kota mati dalam sekejap
Kim, Park, Ahn, Yang, Roh, terbelah-terpecah
sengketa dengan teriakan senjata
darah dan kepedihan
hanya si bongkok dan anjing kurusnya
lalu datang perempuan Ahyandong dengan wangi mawar
dan tanpa cinta, persetubuhan bersemi di rumah tak berpenghuni
di kamar dengan tungku penghangat
ranjang yang berantakan
makanan penuh di lemari

Si Bongkok dan perempuan Ahyandong
kembali ke Panmunjeom
barak-barak tentara
sebagian Amerika
sebagian lagi wajib militer anak-anak muda
dua tahun lamanya
lewat museum perundingan dua Korea
di depan gedung utara yang penuh senjata
dua wisatawan melambaikan tangan
selebihnya tegang dan mengancam

Kami berdiri di selatan
memandang dendam masa silam
mengakar di kepala prajurit-prajurit dua negara
di Panmunjeom
yang membelah dua Korea
yang menyimpan panas magma perang

Panmunjeom, 11 November 2011


Catatan:
* Panmunjeom adalah salah satu tempat (kota) yang terletak di sebuah kawasan yang berbatasan langsung dengan Korea Utara. Di sana pulalah kesepakatan gencatan senjata ditandatangani. Tempat penandatanganan itu, kini dijadikan museum. Meja tempat perundingan tersebut dibelah menjadi dua bagian sebagai tanda bahwa Korea Selatan dan Korea Utara tidak mau bersatu (baca: satu Negara).


0 comments: