Puisi tidak sekadar ditulis. Tetapi juga dibaca. Harapan terbesar, puisi yang telah ditulis akan dibaca dan dibaca dari waktu ke waktu oleh banyak orang. Pembacaan puisi dapat kita lihat di dua video berikut.
Video 1:
WAjah Ragam kaTA :: MenyajikAN Tulisan Ringan tepercayA
Puisi tidak sekadar ditulis. Tetapi juga dibaca. Harapan terbesar, puisi yang telah ditulis akan dibaca dan dibaca dari waktu ke waktu oleh banyak orang. Pembacaan puisi dapat kita lihat di dua video berikut.
Video 1:
![]() |
Ilustrasi: Pixabay |
Hari itu ketika seorang anak mengalami patah leher dan dinyatakan meninggal dunia, banyak orang bereaksi. Hal ini karena kronologinya dinilai tak wajar. Sebab, saat berangkat dari rumah si Mansyah ini dalam kondisi sehat. Tetapi, dia pulang tinggal jasad yang kaku di atas kasur. Ya, sebelum pulang, dirinya mendapatkan pelatihan bela diri di sebuah perguruan yang cukup terkenal.
Dan, apa kata pihak perguruan itu?
"Yang meninggal dunia hanya satu orang dari 50 murid di perguruan kami. Itu masih dalam batas wajar."
Seandainya peristiwa di atas adalah nyata, sudah pasti publik dibuat benar-benar geram dan ada laporan di kepolisian terkait hal itu. Betapa tidak? Selain janggal, nyawa dianggap hanya sebatas hitungan matematis belaka atau tidak ada harganya. Lebih khusus tidak ada empati dan evaluasi untuk ke depannya.
Sebenarnya dalam kaitannya dengan kata "wajar" tersebut, publik di dunia nyata sering dibuat tak habis pikir. Misalnya soal rupiah yang jatuh di hadapan dolar Amerika pada era Presiden Jokowi dulu. Pejabat terkait masa itu mengatakan masih wajar. Begitu pula dengan masalah keracunan siswa setelah menyantap menu MBG era Presiden Prabowo Subianto. Kepala Badan Gizi Nasional menganggap kasus keracunan makanan masih dalam batas wajar. Padahal siswa yang menjadi korbannya sudah banyak.
Kata wajar menjadi jurus terjitu dalam mengelak reaksi publik. Sekaligus, menjadi pernyataan tak bersalah atas hal buruk yang sudah terjadi tersebut.
Idealnya, kata wajar dalam kasus-kasus demikian tidak perlu digunakan. Lebih terdengar indah jika diganti dengan kata "maaf" yang diikuti tanggung jawab. Pertanggungjawabannya pun haruslah senyata-nyatanya. Tidak boleh sebatas di mulut saja.
![]() |
Pak Masry (Tokoh Dayak Berangas) |
![]() |
Ilustrasi: Pixabay |
Agaknya keterkenalan bukanlah tujuan dari seseorang dalam bersastra hingga menjadi sastrawan besar. Terpenting dia bisa menghasilkan karya sastra yang menghibur dan bermanfaat. Jika pun suatu ketika dirinya menjadi terkenal, baik di lingkungan sastra, maupun di masyarakat luas, hal itu terkadang malah tak disangka-sangka. Anggaplah sebagai bonus belaka.
Artinya, menghasilkan karya sastra yang berkualitas adalah yang utama. Dan, ketika karya-karya sastranya dinilai unggul, dimuatlah di berbagai media massa serta diterbitkan oleh banyak penerbit. Perlahan namanya pun terangkat. Para pembaca sastra akan mengenalnya. Bahkan, media-media mainstream, seperti televisi nasional juga meliputnya. Maka, jadilah dia sastrawan yang terkenal.
Pertanyaannya, apakah menjadi terkenal itu sebuah keharusan dalam dunia sastra?
Jawabannya tentu saja tidak. Meskipun demikian, keterkenalan seorang sastrawan bisa dijadikan sebuah kesempatan. Maksudnya?
Ini bisa juga disebut dengan peluang. Dengan banyaknya orang yang mengenalnya, kesempatan untuk membumikan sastra semakin besar. Terlebih jika dirinya menjadi idola bagi banyak orang.
Hal terakhir di atas akan menjadikan dia sebagai sosok yang semakin berpotensi untuk diteladani dan diikuti. Sebutlah mengikuti kebiasaannya dalam membaca karya sastra. Tentu saja ini merupakan hal positif bagi eksistensi sastra termasuk pada era kekinian yang serba canggih dan padat tantangan.
![]() |
Ilustrasi: Pixabay |
Mungkin tidak banyak yang tahu bahwasanya sastra dan kecantikan sangat erat dalam perjalanan sejarah dunia. Hal paling mendasar yang tak terbantahkan adalah, keduanya berkaitan dengan yang namanya manusia. Ya, pelaku sastra dan pemilik kecantikan adalah manusia-manusia yang hidup dan berkembang.
Berangkat dari sana kita dihadapkan pada kenyataan, baik sastra, maupun kecantikan menjadi kesenangan tersendiri dalam masyarakat. Mulai dari kelompok kecil hingga yang paling luas. Keduanya merupakan keindahan yang disukai dan diburu.
Karya-karya sastra, berupa puisi, prosa fiksi, dan drama dinikmati masyarakat dari waktu ke waktu. Begitu pula dengan kecantikan. Bahkan, tak jarang kecantikan masuk dalam sastra.
Hal terakhir di atas bisa terjadi karena para sastrawan memasukkan tokok-tokoh berwajah cantik dalam karya-karya mereka. Selain itu, ketika ada sastrawan berwajah cantik hadir dalam sebuah acara sastra, misalnya, para sastrawan berjenis kelamin laki-laki akan mendekati dan kalau bisa menjadikannya sebagai pasangan hidup.
Dan, masih menyambung soal "mendekati" tersebut, itu tidak terbatas pada pertemuan langsung. Maksudnya, saat wajah sastra dihadapkan pada kecanggihan teknologi, hal ini berlaku pula di media sosial. Sebagai contoh, saat ada yang memublikasikan foto kebersamaan dengan sastrawan cantik, "postingan" itu ramai dibanjiri para sastrawan laki-laki.
Wow sungguh keduanya sangat berkaitan erat. Dan, agaknya akan terus berlanjut hingga titik akhir zaman.
![]() |
Ilustrasi: Pixabay |
Membicarakan sastrawan seperti tiada habisnya. Sebab, sastra selalu terkait dengan segala aneka ragam kehidupan. Maka, jangan heran jika sastrawan selalu berkaitan dengan hidup dan kehidupan dari zaman ke zaman. Tentu saja, hal itu termasuk pula dalam kaitannya dengan kemajuan teknologi yang terus terbarukan, AI, misalnya.
Dari situ pulalah sastrawan masuk di dalam sejarah itu sendiri. Ya, selain menjadi orang yang mengingatkan sesama akan sejarah, sastrawan juga pelaku sejarah yang nyata. Nama dan profil sastrawan dicatat dalam buku-buku sejarah kehidupan. Sebutlah seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Buya Hamka, dan Chairil Anwar. Bahkan mendiang Ayip Rosyidi menulis buku ikhtisar sejarah sastra Indonesia.
Tersebut di atas termasuk yang telah menjadi masa dulu, sementara pada masa sekarang sastrawan akan dicatat untuk dibaca pada masa depan. Dan, semua itu terkait dengan kultur masyarakat. Bukan hanya dititkberatkan pada budaya baca, tetapi juga segala yang menjadi kebiasaan masyarakat yang hidup dan terus berkembang.
Nah, ketika zaman silam sastra ditulis di media kuno, kini sastra hadir dalam media super canggih. Mau tak mau, sastrawan harus bersedia menerima setiap jengkal kemajuan. Jika tidak, sastra akan terkubur dan hanya menjadi kenangan yang bisa jadi akan dilupakan selamanya.
Pertanyaannya, apakah sastrawan akan tetap eksis dalam setiap masa?
Mungkin jawabannya terkait erat dengan yang namanya penghidupan. Lebih tepatnya bagaimana karya sastra bisa menjadi mata pencaharian utama untuk keberlanjutan hidup para sastrawan. Namun, ini pun bisa dikatakan hanya berlaku bagi sastrawan yang menggantungkan hidupnya di dunia sastra semata. Bagi sastrawan yang berprofesi utama selain di dunia sastra semisal mendiang Sapardi Djoko Damono yang dosen itu, tentu saja tetap bersastra ceria dan suka-suka meskipun tidak memperoleh uang dari karya sastra yang dihasilkannya.
Agaknya dalam hal ini yang menjadi fokus utamanya adalah eksistensi sastrawan model pertama. Sementara model kedua hidup mereka sudah "dikelola" di pekerjaan utama yang memungkinkan berkarya sastra meski tak mendapatkan bayaran sepeser pun.
Khusus sastrawan model pertama, umumnya akan terus berkarya sastra agar dapur tetap beraroma asap. Honorarium dari surat kabar dan royalti dari penerbit sangat didambakan. Terlebih yang sudah berkeluarga. Itulah sebabnya, diharapkan pula dalam acara sastra, sebutlah Pertemuan Penyair Nusantara dan Musyawarah Sastrawan Nasional Indonesia, eksistensi sastrawan model pertama ini pantas diketengahkan sebagai tema utama makalah-makalah yang disajikan.
Sebutlah contohnya terkait bagaimana agar buku-buku sastra laku di pasaran, baik cetak, maupun digital. Atau, misalnya trik jitu supaya masyarakat berminat membaca karya sastra. Dengan begitu, diharapkan karya sastra terus menjadi santapan rohani bagi masyarakat dan alhasil sastrawan pun dapat hidup dari sastra dengan sejahtera.
Singkat kata, semoga saja ke depan semua itu bukan sekadar harapan belaka. Aamiin.
![]() |
Ilustrasi: Pixabay |
Jika dibaca sekilas, judul di atas terkesan seperti main keroyokan. MBG atau makan bergizi gratis yang menelan 1,2 trilyun rupiah per hari melawan empat olah. Ya, olah hati (etika), olah pikir (literasi), olah karsa (estetika), dan olah raga (kinestetik).
Banyak yang bilang sebenarnya MBG itu menjadi beban negara. Dalam hal ini sejatinya merupakan beban rakyat karena dananya juga diambil dari rakyat melalui pajak. Jadi, pendapat itu secara tidak langsung bermakna, "Apanya yang gratis?" Lebih tepatnya makan bergizi berbayar. Ini hanya sebuah pendapat. Bisa benar, bisa salah.
Secara empiris, program kampanye pilpres 2024 lalu itu dipaksa berjalan di tengah masih banyaknya pemutusan hubungan kerja, upah yang minim, pajak yang mencekik, dan tentu saja kian menggunungnya utang pemerintah kepada pihak luar negeri. Entah ini disadari atau tidak oleh pihak yang berwenang?
Terlepas dari tidak sesuainya kondisi Indonesia yang belum sehat wal'afiat dengan MBG ini, sebuah pertanyaan muncul. Apakah MBG selaras dengan dunia pendidikan di Indonesia? Atau lebih tepatnya pada pendidikan karakter yang didasarkan pada filosofi Ki Hajar Dewantara?
Dalam filosofinya, pendidikan karakter difokuskan pada olah hati, olah pikir, olah karsa, dan olah raga. Nah, apakah selama ini pendidikan di Indonesia sudah demikian?
Jawaban paling mudah adalah dengan mengaitkannya dengan output dan autcome. Ketika seorang peserta didik sudah berhasil menjadi sarjana sebagai output nyata, misalnya. Maka, ibarat gedung yang sudah jadi, apakah "dia" berfungsi dengan baik? Jika ya, outcome bernilai baik. Sebaiknya, perlu evaluasi terhadap dunia pendidikan secara maksimal.
Lantas, bagaimana kenyataan di lapangan yang sebenarnya? Masih banyak pelaku korupsi, contohnya? Ya. Pelaku kolusi? Ya juga. Nepotisme? Sama. Tindak kriminal lainnya pun masih banyak.
Berarti, filosofi Ki Hajar Dewantara belum sepenuhnya dijalankan secara baik dan benar. Padahal dalam dunia pendidikan banyak juga peserta didik yang berlatar belakang dari keluarga mampu. Mereka makan bergizi? Sejak dalam kandungan mereka sudah mendapatkan asupan bergizi.
Hal-hal di lapangan seperti itu haruslah menjadi bahan pertimbangan terkait makanan bergizi gratis. Sebutkah contohnya, apakah MBG harus menjadi fokus utama dalam dunia pendidikan? Ataukah malah harus dihentikan karena menelan biaya yang sangat besar? Dan, tanpa mempertentangkannya dengan bentuk apa pun, idealnya yang menjadi titik perhatian adalah filosofi pendidikan di Indonesia agar terlahir generasi-generasi berkualitas menyongsong Indonesia emas.
Puisi tidak sekadar ditulis. Tetapi juga dibaca. Harapan terbesar, puisi yang telah ditulis akan dibaca dan dibaca dari waktu ke waktu ol...