MENERJANG OMBAK, MENEMPUH BADAI

 

Hari ini aku home visit lagi. Hari ini aku ke sebuah desa ke Tanggul Angin. Kondisi anak yang tidak bisa masuk karena tidak punya sangu untuk berangkat ke sekolah. Namanya siswa itu Yenny. Yenny sejak bayi ditinggal Bapaknya.

            “Bapaknya namanya siapa, Bu!”

          “Sudah Bu gak usah disebut Bapaknya anggap saja sudah mati!” begitulah Ibunya Yenny ketika aku dan Pak Dodo salah satu guru BK kelas X ke rumahnya.

       “Setiap hari Ibu gak kerja, dan Yenny minta sangu kok 5000 terus, saya sudah gak sanggup memberi uang saku bu Guru!”

Sebetulnya Yenny sudah mendapat bantuan dari Pemda untuk biaya SPP dan sekolahnya gratis. Namun untuk uang saku Ibunya juga menyerah gak sanggup member. Ibunya hanya buruh serabutan, kadang tandur dan pekerjaan buruh lainnya yang diupahi orang desa.

            “Bu, saya mau sekolah sambil kerja, biar dapat uang saku untuk berangkat sekolah!”

Kami semua berapat memberikan bantuan dana, baik ZIS  maupun Wali Kelas, dan BK. Agar bisa mempertahankan anak ini bisa melanjutkan sekolah.

Suatu waktu entah, aku jadi wali kelas 9, anak perwalianku beberapa hari bahkan seminggu ini gak masuk gak ada keterangan. Belum genap hari seminggu, Kepala BK menginstruksikan untuk home visit mencari rumah anak itu, namanya Erik. Erik memang anaknya bermasalah. Kemiskinan lagi lagi menjadi kendala ia menjadi malas sekolah. Ia lebih seneng cari duit daripada sekolah. Sungguh mengajar di daerah bekas konflik dan bekas tanah bermasalah mempunyai tantangan tersendiri bagaimana mengajak mereka membuka cakrawala baru tentang apa itu pendidikan. Rumahnya sungguh sangat jauh harus menyeberangi waduk di daerah makam Pangeran Samudra. Setiap tanggal pasaran atau ritual ritual tertentu, daerah itu ramai dikunjungi peziarah ”erotika” tadi. Anak anak didikkku sering menjadi ”petugas” ”pekerja dadakan ” di malam Selasa Kliwon. Ada yang berjualan ada yang menjadi tukang sewa payung, perahu, tikar, dan sebagainya, ada yang sekedar jualan minuman mineral, makanan kecil, snake, rokok dan celdam, kondom, baju handuk dsb. Ada yang jadi juru mudi perahu, ada yang jadi juru parkir untuk menambah uang penghasilan dan uang mereka.

Begitulah anak anak SMP itu dan Madrasah, mereka memilih bekerja membantu orang tuanya daripada sekolah. Dan Kedongombo memang pernah bergolak menjadi tanah konflik yang menyisakan duka dan kenangan luka. Ada yang begitu kuat membela hak hak yang belum terbayarkan dan keadilan di masyarakat Kedungombo. Peristiwa duka, darah, luka dan airmata menjadi satu dalam bentangan waduk luas itu. Menggenangi air mata mereka, menenenggelamkan sejarah dan silsilah ribuan desa ribuan rumah yang begitu menggores kenangan.

Selanjutnya? Klik Daftar Isi atau Bagian Selanjutnya, yakni Selembut Sutera Sekeras Baja.


0 comments: