HIDUP KEDUA


Jika dalam hidup pencapaian penghargaan pada benda semata, yang terlihat hanya benda-benda material, padahal kekayaan batin, hati dan cinta tak pernah akan terlihat secara dhahir. Karena ia berada dalam kebahagiaan. Dan seringkali kebahagiaan menag tak mesti disimbolkan, tetapi ada kedalaman rasa. Karena, ia lebih memperkaya diri bukan dengan benda-benda material yg kasat mata yang dihargai.

Hidup sesungguhnya perubahan, perubahan yang menakjubkan. Banyak sisi kehidupan yang terlepas kemudian kita temukan kembali. Ataupun hilang namun untuk kembali. Dan aku sudah menemukan surga yang dirindukan itu, dan aku telah memilih surgaku sendiri.

Perlahan-lahan menghilang, terbayang bayang kau datang berlarut larut kau merajuk, berlari lari aku datang.  Sampai habis air mataku.

Lagunya Novita–Sampai Habis Airmataku ini mengalun lembut betapa lagu itu lagu pernah dinyanyikan Banyu.

Banyu memang pandai main gitar dan selalu menyanyikan lagu lagu Broery, ia pandai menyanyikan lagu Broery.

Saat kau pergi telah kupilih jalanku kembali. Pada sendiri. Pada surga yang telah kupilih sebagai jalan kembali. Apapun waktu takkan pernah kembali, waktu telah selesai, untuk disia-siakan. Waktu begitu terbatas dan berharga untuk airmata. Maka biarkan kupilih sendiri jalani takdir Illahi sendiri. Kita telah berbeda. Dan tak lagi bisa sama. Takkan pernah kusesali karena jalan yang kupilih benar, jalan surgaku.

Percaya tidak boleh pun tidak. Hidup ini memang seperti novel itu sendiri. Lama aku tak menulis. Hampir sepuluh tahun off dari kegiatan apapun yang jauh dari kegiatan bertemu teman-teman lama. Dan Puisi aku sudah lupa bahkan meninggalkan jauh jauh di luar duniaku. Aku konsen mengajar dan mengejar karir di dunia pendidikan.

       Sejak kematian Banyu, praktis aku hidup seorang diri. Satu persatu ingatanku mulai muncul.  Aku mulai mengingat abah, umi dan saudara-saudaraku, juga mulai mengingat masa laluku bahwa aku punya suami namanya Banyu dan seorang bayi yang mungil yang baru saja kulahirkan. Yang entah sekarang dimana keberadaannya, bayi itu selamat atau tidak dalam kecelakaan maut itu.

 Hidup terpisah jauh dari kedua orang tua apalagi Abahku sudah lama meninggal, pun juga umi. Apakah ada saudara saudara kandungku yang peduli dengan hidupku. Sejak di persidangan keluarga aku dikatakan melawan aku sudah terpisah jauh dari keluarga besarku. Aku terasing dikucilkan dijauhi dan dimusuhi merasa disingkirkan oleh semua saudara-saudaraku. Dan aku sangat kotor dengan seluruh dosa-dosaku.

Abahku puas, Ibuku senang. Karena aku memang harus keluar dari lingkungan orang tua. Saat aku memilih Banyu dan menikah di rumahnya. Dan aku mempertahankan Banyu dan  jadi menikah dengan orang di lingkungan seni. Tetapi bukankah aku gambling, bertaruh kebahagiaan dengan diriku sendiri. Bayangkan kenalan yang serba cepat lalu mengambil keputusan menikah  memang keputusan yang berani. Ini pun jodoh pemberian pemberian Tuhan. Mungkinkah ada yang salah dalam jodohku yang kuterima? Mungkinkah aku telah salah memilih jodoh untuk hidup yang kujalani sendiri.  Entah mungkin begitu istilahnya atau jodoh pilihanku sendiri. Mengapa aku tidak mengikuti suadara–suadara yang begitu mudah begitu saja menerima jodoh dari Abah-ku? Mengapa mereka bisa menerima tetapi aku tidak? Atau karena mereka memang tidak mempunyai pilihan hidup yang lain kecuali menerima. Lama sekali aku membuang jauh kenangan-kenangan itu. Dan menutup lubang lubang yang pernah ada dengan hari hari yang kuisi untuk lebih bermakna dan bermanfaat dengan suami dan anak-anakku.

         Pacar? Boy friend? Bukanlah. Aku gak ngapa-ngapain dengan Banyu. Banyu sangat pemalu Banyu sangat menghormatiku. Danaku tidak pacaran dengan Banyu. Cinta datang begitu saja. Entahlah apa namanya. Yang jelas aku berhubungan dan berteman lama dengan mas Banyu lebih dari 5 tahunan selama kuliah. Namun cinta Banyu sangat menjaga tidak pernah merusak. Sehingga hubungan awet. Dia juga tidak merasa jadi pacar atau istilah lainnya. Cinta begitu saja dan apa adanya.  Hingga tiba hal-hal yang tak kusadari apa arti semua kata-katanya dan mengizinkanku dan memberi sinyal.

            Begitulah awal perkenalanku dengannya saat aku jatuh dan kehilangan Banyu. Banyu yang menjadi semangat hidupku harus berakhir tiba tiba. Inikah pesan tersiratnya yang menginginkan aku pergi? Ya pergi dari dirinya. Ternyata ia tak sanggup untuk memberi kepedihan yang lebih lama karena ia pun tak sanggup menyakiti keluargaku. Ia biarkan merelakan kebahagiaanku untuk orang lain?. Tidak aku tidak akan melaksanakan perintah terakhirnya untuk aku menikah lagi. Ia tak sanggup untuk menyakitiku, tak sanggup untuk menikah dengan yang lainnya  karena ia tak bisa memaksakan kehendaknya, dan tak ingin aku harus keluar dari keluarga. Ia ingin aku menikah dengan Azam jodoh pilihan orang tuaku, tetapi aku tak mau menerima jalan keputusannya itu. Aku tetap setia dan memilihnya.  Dan hanya jadi melukai semua pihak.  baru kusadari setelah kepergian dan keputusannya  yang termat logisnya  yang tiba-tiba.

            “Aku tak sanggup menyakitimu!”

            “Lelaki aneh!”

            “Aku akan biarkan kau bahagia!”

            “Kau membeciku!”

            “Tidak, aku tidak membenci!”

            Banyu, Eddy Hayu Banyu  itulah lelaki paling aneh yang kujumpai. Pacar, tidak juga. Sayang mungkin iya. Jangan harap ia akan bisa keluar kata cinta atau lv dari bibirnya. Cinta adalah keunikan dan kecuekan yang acuh tak acuh. Cinta adalah acuh tak acuh. Tidak peduli dan tidak gagasan. Suka lupa dan suka lupa ingatan. Banyu adalah paling nakal, dugal, cuek, egois dan tak pernah ia katakan sayang. Meski sayangnya setengah mati padaku.

            “Akulah Kouru bagi sajak sajakmu, Lifo!”

            “Benny, sudah tahu belum?”

            “Apa?”

            “Banyu, pergi?”

            “Pergi kemana?”

            Dia tak ingin melihatmu sakit hati dan membencinya.

            “Apa?”

            “Mbok yang jelas kalau ngomong jangan nangis dulu, ada apa Yan?”

            “Banyu meninggal!?”

“Karena?”

“Kecelakaan!”

Innalillahi wainnailahi roji’un!”

            Begitulah Banyu tidak pernah berbicara tentang perpisahan. Tiba tiba pergi. Aku hanya tahu Banyu sering sakit tetapi tentu tak parah, ia lalu sembuh lagi, sembuh lagi begitu. Ya Tuhan jagat dewa batara, ya Allah kuatkan hati ini, bagaimana aku bisa percaya dan menerima keputusannya. Aku mencoba konfirmasi. Begitu cepat kabar tersebar. Dan bagaimana sehari yang lalu masih kontak aku masih bercerita dan masih nyanyi-nyanyi masih tertawa–tawa dan pagi ini sudah pergi. Ia harus pulang ke kampung halamannya setelah lulus sarjanan di kampus. Dia sudah tak ada lagi di kota ini.

      Selama hubungan dengan Banyu aku banyak diajak ke tempat tempat untuk laporan observasinya. Ke Sukuh, ke Kedungombo, ke manapun kalau aku bisa menemani aku akan menemani untuk menyelesaikan buku bukunya. Namun terakhir kontak aku dia hanya sakit sakit biasa tak separah yang kuduga. Kenangan demi kenangannya begitu takjub dan memukau.

         Tak ada cinta yang sedahsyat cintanya. Pun tak ada cinta sehebat ini. Mengalahkan Romy dan Yulie. Seperti inspirasi dalam novelku  Lifo dan Kouru. Meskipun cinta tak pernah terkatakan, cinta tak bisa dilanjutkan. Banyu sangatlah cuek dan sangat memihak jati diri dan keyakinannya dia menikahiku aku demi kehormatan sebagai kelelakiannya, tetapi ia tidak marah dia ikhlas melepaskan kematiannya.

Dia hidup demi kebahagiaanku. Dialah kebahagiaan sejatiku. Cinta sejatiku meski harus pergi selamanya meninggalkanku. Saat aku berhasil mati matian berthasil memenangkan cintanya, dia harus pergi selamanya. Hancur dan kecewa hatiku sedih dan pedih pasti, Tawakkal pun harus, ikhlas menerima keadaan. Sejak kematiannya aku banyak mendekat pada Tuhan. Di pondok aku banyak memelihara anak anak yatim, yang kuanggap sebagai anak kandungku sendiri. Kusekolahkan dan kubiayai sampai sekolah dan kuliah. Mereka sebenarnya bukan anak anak kandungku sendiri, tetapi betapa masih pedih aku harus kehilangan anak kandungku sendiri. Entah dimana rimbanya, entah dimana panti asuhan dulu dititipkan oleh mertuaku, semua tinggal perjalanan sesal dan penyesalan, akhir sebuah perjalanan panjang pencarian surga yang hilang. Kutebus di sini di tempat mengabdikan diriku di sini. Di pondok yang bangun sendiri, jauh dari orang tua, lepas dari keluarga.

Dan tidak semua orang kami masing-masing diam. Tetapi aku merasa jadi pacarnya atau merasa dia pacarku. Lelaki paling cuek di dunia soal cinta. Jangan harap ia akan melontarkan ribuan kata cinta dan rayuan. Selama hidup jarang sekali ia mengatakan lv u padaku. Aku terkadang menanyakan ini jenis hubungan apa? Ini sejenis simbiosis apa, cuma nyengir dan dagelan saja yang kita bicarakan hanya hal hal yang membuat kita tertawa-tawa dan mentertawakan hal-hal yang badung dan konyol. Dan sumpah demi Tuhan dia menjagaku dan tak pernah merusak cintaku. Menjamah dan menodaiku.

         Yang aneh adalah karena cintanya tak ingin menyakiti. Jadi memang benar-benar tak ada yang harus tersakiti. Dan tak ada dendam dan terlukai. Tidak saling tersakiti. Dia amat sangat tegas dan berpikir dewasa. Bukan kanak kanak lagi.  Kami bukan seperti orang berpacaran, kami saling berjauhan. Karena aku justru menjauh saat Banyu sedang kumpul-kumpul sama teman-temannya. Bahkan saat acara-acara di kampus dia suka jadi tukang antar jemput teman-teman puterinya, ya aku biarkan saja. Kami tidak lagi sedang pacaran.

            “Aku lebih mencintai ruh dan kejiwaan!” kata Banyu

            “Bukan fisik?”

            “Bukan!”

            “Tetapi jiwa dan rasa yang aku sendiri gak bisa jelaskan konsepnya!”

Tetapi dengan cara dia menjaga dan mencintaiku seperti itulah, kami jadi pasangan awet. Dia sangat menjaga hatiku, karena dia tak ingin menyakiti hatiku.

            “Aneh memang bener-bener aneh, mencintai kok menyakiti!”

          Kami tak terlihat seperti orang pacaran. Kami sama sama malu dan menjaga jarak. Tetapi justru karena pengertian dan aku sangat memahaminya, siapa dirinya. Maka hubungan jauh dari cemburu dan sakit hati, kami betul betul sangat menjaga. Dan setiap teman-teman bercerita si Banyu dengan ini si Banyu dengan perempuan itu, aku tidak terbakar cemburu atau jeleus Karena aku sangat tahu siapa Eddy Hayu Banyu.

            “Sudah tak perlu diabadikan dalam buku atau puisi, puisi itu apa?”

            “Karena cinta itu sudah abadi sendiri!”

            “Aku tidak tega menyakiti perempuan, aku jadi ingat Ibu kalau menyakiti perempuan!”

            “Jadi kau memilih pergi, tinggalkan aku dan menyuruhku pergi karena tak mau aku tersakiti!”

            “Iya, suatu saat kau akan tahu!”

            “Kenapa begitu?”

            “Da, suatu saat kau akan tahu!”

            “Kenapa harus menunggu suatu saat, aku pingin tahu sekarang!”

Duh perempuan memang tukang ngeyel. Dan kalau dibilangin suka bandel dan cerewet. Itu yang Banyu tidak sukai.

            Lagu nan lembut suara serak dari Cakra ‘kan mengalun dari mobilku di perjalanan. Mengenang hal-hal yang menjauh pergi dan hilang. Menikmati lagu lirik lirik dari penyanyi Cakra ‘kan,

bisakah mendengarkan jiwaku berkata-kata.  Selamat tinggal kenangan denganmu.  Kau bukanlah kesalahan.  Tak pernah aku menyesal.  Tapi biarlah aku terbang bebas.  Mencari cinta sejati.  Mendengarkan jiwaku berkata-kata.  ‘tak mungkin abaikan kata hati.  Kau dan aku tak bisa bersama.  Bagai syair lagu yang tak berirama.  Selamat tinggal kenangan denganmu.  Senyummu melepaskan diriku pergi.  Selamat tinggal kenangan denganmu.

 Itulah sepenggal lirik lagu Cinta Sejati dari Cakra ‘kan yang super keren, dan cocok banget dengan suasana hatiku saat itu.

         Bukankah hidup ini amazing. Hidup ini penuh kejutan kejutan baru. Bahwa hidup ini keajaiban, bukan? Maka aku selalu tulis keajaiban-keajaiban-Mu itu dalam tulisan. Kasih sayang-Mu dan segala yang bersumber dari kekuatan Cinta-Mu menggerakkan semua.

Selanjutnya? Klik Daftar Isi atau Bagian Selanjutnya, yakni Segara Anakan.

0 comments: