ANAK-ANAK KEDUNGOMBO


Kasus Kedungombo adalah peristiwa penolakan penggusuran dan pemindahan lokasi oleh warga karena tanahnya ini akan dijadikan waduk. Penolakan warga ini diakhibatkan karena kecilnya jumlah ganti rugi yang diberikan. Saat itu, tahun 1985, pemerintah merencanakan membangun waduk baru di Jawa Tengah.

Sisa hujan, gerimis tipis dan secangkir novel, rasanya pas untuk membuka catatan catatan dan lembaran-lembaran using. Timbul tenggelam silih berganti waktu, yang ingat dan terlupakan.

Tak ada kisah sehebat mereka, perjuangan anak anak dan orang-orang Kedungombo dalam memperjuangankan hak haknya yang dirampas Orde Baru dan rezim yang berkuasa saat itu. Mereka menderita lahir dan batin. Tanah tanah yang subur di rampas, silsilah keluarga diputus, pemaksaan dan semua menimbulkan simpati yang luar biasa dari semangat mereka untuk mempertahankan itu. Dan mereka meninggalkan catatannya pada ilalang dan perahu jadi saksi bisu, penenggelaman itu, ribuan rumah rumah warga yang kehilangan. Untuk sekarang kita baca kisah kisahnya untuk kita kenang perjuangan mereka.

Cinta yang hebat, perjuangan dan pengorbanan yang tiada batas. Cinta yang kokoh tak ada yang sehebat selain kekuatan cinta untuk mengatasi segala persoalan yang ada.

Sebelum aku mendapat tugas amanah mengajar di perbatasan Kedungombo ini, sebelum Sukowati memanggilku, aku mendapat SK pertama negeriku di Madrasah di jauh pedalaman Sumberlawang. Di daerah inilah awal hidup keduaku dirawat oleh pak Kiai di pondok Al-Mukmin pimpinan Kiai Haji Zarkasi. Jauh di pinggiran kotaku yang jaraknya hamper Solo Sragen 32 kilometer jauhnya. Sebelumnya memang aku bekerja di Solo di sebuah Perusahaan Nasional yang cukup besar dan bonafide yang cukup menjanjikan gaji, tunjangan dan fasilitas. Namun Abah-ku selalu tidak setuju dan menentang pekerjaanku, Abah menginginkan aku menjadi seorang guru seperti beliau. Alam terkembang jadi guru.

       “Apa kata orang nanti, Nduk, anak perempuan masih perawan gadis kok pergi pagi pulang malam, sebaiknya kau cari pekerjaan di sini sajalah, Nduk!”

            “Bunda mana yang gak khawatir kalau kau pulang selalu malam begini!”

          “Semodern apapun, Bunda  pigin membuat putrinya bahagia, Bunda pasti ingin agar anak anak nya sukses dan bahagia!”

            “Iya iya Bunda …ngestokakke dawuh!”

            “Dida ‘kan gak pernah bantah perintah Bunda dan Abah, semua agar dapat doa restu orang tua!”

Selama hampir 7 tahun aku mengajar di perbatasan, di tanah Kedungombo. Suka duka silih berganti sesang susah dijalani, hujan badai kulalui, setegar karang selembut salju. Bagaimana pun hidup adalah pengabdian dan perjuangan. Panggilan hati ini dari yang semula panggilan Bapak agar aku kembali ke kampung halaman ku memang mesti kujalani ikhlas dan tanggung jawab.

Aku tidak merasa tersempitkan, tetapi dari aku belajar dari alam yang begtu jembar dan ikhlas. Menerima keadaan menyadari keadaan itulah cinta yang sejati, cinta yang sudah keluar dari memandang dari fisik dan raga, memandang dari wujud dan kenyataan. Yang mengajarkan untuk selalu ingat pada Tuhan eling pada shalat dan menjalankan perintah agama. Sungguh aku sudah tak tertarik lagi kecuali menjalani sisa hidup yang tinggal sedikit ini untuk hal hal yang bermanfaat bagi diriku, anak anakku bangsa dan agama.

Usia 47 tahun bukanlah usia yang muda lagi. Tak muda lagi sudah seharusnya aku banyak refleksi diri berpikir ke belakang dan ke depan. Kadang sebagai perempuan Jawa kita harus bisa ngungggah ngedhunke ati sendiri, perasaan dimana harus keras saat mana harus kelembutan. Kalau salah, salah salah kita yang merugi sendiri.

Di perbatasan antara Kedungombo dengan daerah Purwodadi dan Grobogan itulah aku mengajar di sebuah Madrasah Tsanawiyah. Pertama mengajar dan ditempatkan di daerah pinggiran yang sangat terpinggir dan terpencil tentu sangat tidak mudah. Terlebih aku merasa bukan sebagai penduduk asli, tentu harus penyesuaian diri yang butuh waktu untuk diterima lingkungan. Penyesuaian diri membutuhkan waktu. Karena sifat dasarku tidak mudah menyerah dan mudah bergaul aku enjoy saja dan merasa diterima di lingkungan yang baru. Aku merasa dengan cepat dan mudah menyesuaikan dengan lingkungan baru. Dan teman-temanku yang berasal dari lingkungan yang taat dan teguh keagamaannya yang sangat religius.

Begitulah seperti ungkapan aku kambing masuk ke kandang macan. Seperti orang yang plonga plongo, tetapi sikap toleran dari teman-teman lainnya memang aku akui bagus. Aku diterima layaknya mereka yang dari Fakultas Adab, Syariah, PAI, Ushuludin, dan Tarbiyah. Banyak juga yang dari lingkungan pesantren dan pondok. Aku betul betul unik disini Fakultas Umum bercampur baur menjadi satu dengan mereka yang belatar agama dari Fakultas Agama. Baik yang dari IAIN, maupun dari UIN atau dari PAI. Sungguh kebhinekaan yang menurutku tidak harus bertentangan dan berbenturan, semua bisa duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan berbagai latar belakang sosial keagamaan yang berbeda-beda baik dari NU, Muhamammadiyah maupun dari golongan golongan Islam lainnya. Misalnya LDII, MTA, dan dari ormas-ormas Islam lainnya yang sungguh sangat banyak itu. Baik dengan cara beribadah yang terkadang sangat sensitive, tetapi justru perbedaan-perbedaan bukan untuk dikerucutkan tetapi kita bisa duduk bersama saling toleransi karena Allah Tuhan kita sama. Aku betul betul bebek di kandang onta, sangat tidak nyambung, tetapi karena aku berusaha untuk menyesuaikan diri, mengejar ketertinggalan dan mau belajar dan mengambil sikap dan sifat baik dari mereka. Aku bisa mengimbangi ataupun menerima open terbuka terhadap mereka yang juga open terhadapku. Jadi aku memang butuh waktu perlahan namun pasti menapakkan kaki di bumi kecamatan utara kabupatenku di Sumberlawang ini. Jarak begitu jauh kutempuh hamper 60 km perjalanan pulang pergi, dan lama perjalanan hamper satu jam untuk mencapai sekolahku.

Mereka adalah anak-anak Kedongombo. Aku menyebutnya begitu. Pun teman-teman semua juga menyebutnya seperti itu. Sekolah berada di pinggiran hutan jati di daerah perbatasan Sumberlawang-Purwodadi. Rata- rata anak tukang kayu, pencuri kayu dan para blandong kayu jati, penjual arang, penjual daun jati, penjual ikan dan sebagainya.    

Dari sangiran aku memandang. Sepanjang tanah perdikan Sukowati. Melawan barisan   kompeni. Legen  memberi kekuatan untuk pergi. Mempersembahkan nyawa. Demi abdi pada  tanah leluhur. Pangeran  Mangkubumi. dingin tombak dan keris ligan. ‘tak mungkin kau lupa bukan?. mendedah tanah merah selatan sampai sepanjang pegunungan kapur utara tandus mengerontang jiwa terbungkus Kemukus dari epigraf di batu candi Sukuh reruntuhan  batu  tanpa nama catatan-catatan purba dari bunga-bunga angsana sampai di pucuk ranum,gunung teh menggulung rindu membumbung,kau ada disitu,mengalir bersatu,dalam kerikil dan batu,memaknai lahar pijar. Meruanglingkupi musim berganti, kini menghuni, reruntuhan sajakmu, di dinding candi.

Dari  Sangiran kumemandangmu,Indonesia. lukisan garis,titik dan lengkung. saling  sambung. dalam  truntum  truntum. menjadi mozaik indah. kaulah puisi sebenarnya. puisi  dari  batik parangrusak. dalam cinta senja menggelepar. di aroma wangi. kuntum-kuntum kenang. tergenang di tanpa logika. pangeran Samudera di sendang Ontrowulan dan larung slambu penjuru jazirah birahi sejarah. peziarah batinmu?. serapah wingit yang sangit. laknat cinta terlarang. mengapa begitu?

Dari Sangiran aku memandang. Dari  sangiranaku memandang   masa   silam. Zaman fosil dan batu.

Pitcehantrtopus erectus javanicus. karena batinmu  perlu kau ziarahi sendiri? dalam permainan zaman ini di irama ritmis udan liris gerimis menyatukan gengaman tangan semakin  erat terjerat dalam kisah panjang pencarian meski peta-peta  dari  Sangiran aku  memandangmu dalam irama monggang dan selendang penari tayup gender melengger sumpah serapah  kaulah peziarah batinmu di jazirah tanah berfosil mengendus pithechantropus erectus javanicus sejarah putus awal mula akhir sepanjang jazirah tua melihat  para leluhur dan  diri  manusia yang  begitu panjang di negerimu.

Barusan telpon kuangkat. Ada panggilan masuk. Aku kenal nada suara di balik telpon itu. Suara Eddy Hayu Banyu. Yang orang orang menyatakan dia kekasih dan di tengah perjalanann waktu dia menembakku dan ingin melamarku tetapi Abah menolaknya.

Aku masih bersyukur mendengar suaranya masih terdengar dan ada. Lelaki yang manja, dan setelah lamaran itu kuterima dengan tanpa disetujui orang tua, ia menjadi  papa yang keren. Super dad yang sangat perhatian pada keluarga, sungguh aku beruntung sekali mendapatkan cintanya. bisa menerima, apapun seperti sahabat yang begitu dekat, kakak yang terus membuat adik tersenyum. Terimakasih senyum dan kegembiraan yang selalu memberi keceriaan hari-hari dengan cerita cerita lucu dan konyol. Namun separuh hatiku terluka, karena aku harus mendapat pengucilan dan tak ada satupun yang bersamaku. Bahkan suara lantang abah dan tangisan umi menyayat dalam kenanganku kala itu.

“Pergi kau, Abah sudah ikhlas kehilanganmu, dan jangan kembali lagi!”

Bahagia itu apa sesungguhnya. Bukankah kita ikut tersenyum bahagia melihat orang lain bahagia, dan bukankah dengan memberikan senyum bahagia kita juga ikut merasakan bahagia. Apa pun yang kau perlihatkan di depanku aku akan bahagia. Melihat kebahagiaanmu, kau memetik gitar lagi, kau tersenyum lagi, kau tertawa lagi aku seperti menemukan kau kembali, meski bukan kepadaku, cinta jiwa lebih abadi, katamu. Meski kau sangat kasar kalau bicara tapi aku tidak merasa terluka dan tersakiti. aku biarkan saja tersenyum, dan tidak pernah memperlihatkan luka.

            “Aku tadi ngompol!”

            “Apa, ngompol?

            “Iya…!”

            “Waduh wkwkw, gimana kok bisa!?”

            “Macet!”

            “Ealah,yang pa, yang pa…gak mau kalah ma anaknya  nih!”

            “Iya aku wudoh blejet gak pakai celana hanya pakai baju tok, trus aku telp mama di rumah buat nyiapkan sarung!

            “Wah kayak mau habis di sunat dong16!”

            Iya tertawa terpingkal-pingkal…! Semua ulah superdad yang konyol ini.

            “Lucu mas, penjenengan ki ya lucu kok!”

            “Macet gak bisa minggir!”

            “Ya jelas malam minggu kok jalan mesti macet to!”

            “Iya je hamper 5 kilometer macetnya!”

            “Iya, besok lagi bawa plastic kantung plastic!

            “Iya payah sekarang sudah makin tua kepoyoh gak bisa diempet je!”

            “Iya sakit kalau diempet!”

            “La ngompol!”

            “Haha kayak anak kecil tenan je!”

            “Sudah tua malih jadi anak kecil!”

Selanjutnya? Klik Daftar Isi atau Bagian Selanjutnya, yakni Blandong

0 comments: