![]() |
| Ilustrasi: Pixabay |
SUNGAIKAH ITU DALAM DIRIMU
(I)
Sungaikah itu dalam dirimu 'tika kau
tak lagi mampu memaknai kata MERDEKA
meski kau begitu fasih mengucapkannya?
Sungai! Sekian banyak sungai
mungkin dari satu sumber yang sama
dan, kemudian, bercabang-cabang perginya
dan muaranya di laut jua,
‘nyebur’ ke sana 'menyorakkan' kata MERDEKA
bersipongang di antara karang...!!
mungkin dari satu sumber yang sama
dan, kemudian, bercabang-cabang perginya
dan muaranya di laut jua,
‘nyebur’ ke sana 'menyorakkan' kata MERDEKA
bersipongang di antara karang...!!
Sungai! Dan sungai yang pampat
tak lagi jernih
bak pikiranmu?
Hm-...
tak lagi jernih
bak pikiranmu?
Hm-...
(Il)
SUNGAI! Sungai beku
'kan mencair pada saat Springs
dan dicecar matahari siang hari-hari Summer.
Dan kau bersikukuh membiarkan sungai
dalam dirimu beku tanpa sudi mengalah
pada apa yang selalu diajarkan alam?
Padahal kau bagian dari alam: asalmu debu
dan kau mengambil udara jernih dari alam sekitarmu.
Dan ‘tika paru-parumu bermasalah
menjeritkan kebutuhan pada alat bantu
'tuk bisa bernapas
; padahal..?
Ya, segala apa yang
diberikan dokter untukmu
semua berasal dari alam?
(Ill)
Sungai! Dari 'langit' berpindah-pindah tempat ia
ke mana awan-gemawan sanggup 'memikul'-nya
: dari kesetiaan mereka mengemban tugas
sebagai pengemban AMANAH
; mengembara jauh mereka
sejauh kembara pikiran dan khayalmu.
Dan pikiranmu tetap saja beku?
(IV)
Yap, MATAAIR yang kautemukan
di satu kawasan pegunungan
di antara aneka pohon berdesakan
berasal dari rahmat-Nya!
Kau lihat ia turun ke bawah
melalui punggung-punggung gunung
dan perbukitan
dan kau menyebutnya SUNGAI
dan, terus, turun ia...
-- dengan penuh "kerendahhatian” –
hingga ke kawasan yang kausebut lembah
betapa tak ingin ia
bersikukuh egoistik
di tempat ia pernah mengumpul
; patuh pada 'titah'-Nya 'tuk berbagi
selaras FITHRAH
: sifat asal segala di alam. Dan kau
tak sanggup memikirkan hal itu
saat pikiranmu beku?
(V)
Dan ‘tika punggung-punggung gunung
dan bukit hanya menyisakan ilalang
tanpa adanya pohonan,
saudara-saudaramu yang bermukim di lembah
: bercocoktanam di ladang dan sawah
hanya mampu mengurut dada
‘tika kebun, ladang, sawah dan rumah-rumah mereka
'digilas' makhluk yang, sebelumnya, disebut KAWAN,
kau menyebutnya BAH
sambil duduk di depan televisi
ngopi atau minum teh sore-sore
dan kau pun berkata: "DOSA siapa..?!"
(Vl)
Sore.. persis sore hari ini
dua atau tiga tahun yang lalu
atau, mungkin, dua atau tiga periode yang lalu
(‘ku teramat pikun mengingatnya!)
kutonton BERITA yang, lebih-kurang sama, via TV
(yang kini, milikku, sudah 'lumutan')
: ada bendungan bobol dan
banyak orang dengan wajah masygul
orang-orang desa sedang mengungsi.
Dan para analis, para pakar serta sejumlah anggota parlemen
menyebut perlunya hadir Undang-undang baru ke depan
yang, isinya, lebih MENYELAMATKAN semua,
kata mereka!
(Vll)
"Hei, Bro, mau kemana? Tampak tergesa-gesa..?!"
Kudengar seseorang bertanya pada rekannya
'tika ‘ku lewat naik sepeda 'ontel', milik ayahku,
di satu gang saat ‘ku sedang menuju rumah temanku.
"Heh, kau belum tau? Desa Jambu-Jumba sedang kena banjir!
Bukan banjir kiriman biasa, Bro! Dan, tadi, kau
dicari teman-teman, ke mana?
Handphone kau sedang 'off', ya?"
sahut yang ditanya. "Nih, aku ditugaskan Abang Ketua
‘tuk ngambil perahu karet di tempat Budi.
Yuk, ikut aku... sama-sama?"
Ah, entah mengapa ‘ku seperti mendengar kejadian BIASA.
Apa yang sedang "eror" dalam batok kepalaku
saat ini?
(Vlll)
Kulihat ada kesibukan di area 'desa' yang kulewati
nampak para anggota regu
semacam sukarelawan saat kondisi EMERGENCY
berangkat berdesakan
di satu bak truk, kayak sarden.
"Hm, sigapnya dan begitu ikhlas mereka," tanpa sadar
aku bergumam.
(IX)
Dan tak kudapati teman yang kucari.
Menurut tetangga sebelah rumahnya
barusan pergi makek seragam PMK, fire rescue.
"Oh, di mana sedang terjadi kebakaran?" tanyaku.
"Hm.. PMK kampung kayak kampung sini
multifungsi, Bang! Mereka juga bisa dipakai bertugas
ngebersihin kotoran sapi sehabis pemotongan hewan
pasca kegiatan ‘ibadah Qurban," jawab orang
yang kutanya, sembari mohon pamit
dengan pembawaan sopan.
"Then, Bro..?!" kembali tanyaku.
"Iya, Bang, saat ini teman-teman sedang berangkat
menuju desa Jambu-Jumba yang sedang ngalamin
musibah banjir. Ho-oh, bantu-bantu evakuasi," sahutnya kembali
sebelum benar-benar pergi
setelah ngucapin salam.
(X)
Terhenyak ‘ku di sebatang pohon tepi jalan
sehabis nyandarin sepeda ayahku yang gak lagi punya 'kaki'.
"Duh, apa ‘ku sedang kehilangan kaki persis sepeda ini?"
‘ucap’-ku, kembali, sambil mijitin kepala yang terasa
persis ada satu kaki ‘menyesak’ di dalamnya
dan kayak 'menggertak-gertak' geram ‘suara’-nya
dan menendang-nendang...
Uh!
(Kandangan--Banjarmasin, Agustus 2025)
Tentang penyair
Muhammad Radi, lahir di Kandangan, Kabupaten HSS, 17 April. Puisi dan cerpennya dipublikasikan di Banjarmasin Post, Majalah Hai, idola, Nona, Nova, Aneka Ria, Keluarga, Kiblat, Panji Masyarakat, dan The Favour Magazine (Kanada).
Bukunya yang telah terbit: Pengajaran Fisika dan Peradaban Muslim (1995), kumpulan cerpen Di Antara Warna-Warni Pelangi (1998), Proses Pembelajaran, Mengacu Poda Fitrah (1999), Menghindari Jebakan Kultural: Kehidupan (2001) dan Shalat dan (Permasalahan Real) Kehidupan (2002).
Puisinya juga terdapat dalam sejumlah antologi bersama, antara lain La Ventre de Kandangan, Mosaik Sastra HSS 1937--2003 (diluncurkan dan dibicarakan D. Zawawi Imron dalam Aruh Sastra Kalimantan Selatan 1, Kandangan, Kabupaten HSS, 2004), Seribu Sungai Paris Barantai (Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan III, Kabupaten Kotabaru (2006), Doa Pelangi di Tahun Emas (Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VI, Kabupaten Batola, 2009), Konser Kecemasan (2010) dan Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010)









