Thursday, December 11, 2025

Puisi Muhammad Radi tentang Alam, Bencana, dan Lainnya


Ilustrasi: Pixabay


SUNGAIKAH ITU DALAM DIRIMU

(I)
Sungaikah itu dalam dirimu 'tika kau 
tak lagi mampu memaknai kata MERDEKA 
meski kau begitu fasih mengucapkannya? 

Sungai! Sekian banyak sungai 
mungkin dari satu sumber yang sama 
dan, kemudian, bercabang-cabang perginya 
dan muaranya di laut jua,
‘nyebur’ ke sana 'menyorakkan' kata MERDEKA 
bersipongang di antara karang...!! 

Sungai! Dan sungai yang pampat 
tak lagi jernih 
bak pikiranmu?
Hm-... 

(Il) 
SUNGAI! Sungai beku 
'kan mencair pada saat Springs 
dan dicecar matahari siang hari-hari Summer
Dan kau bersikukuh membiarkan sungai 
dalam dirimu beku tanpa sudi mengalah 
pada apa yang selalu diajarkan alam? 
Padahal kau bagian dari alam: asalmu debu 
dan kau mengambil udara jernih dari alam sekitarmu. 
Dan ‘tika paru-parumu bermasalah 
menjeritkan kebutuhan pada alat bantu 
'tuk bisa bernapas
; padahal..? 
Ya, segala apa yang 
diberikan dokter untukmu 
semua berasal dari alam?

(Ill) 
Sungai! Dari 'langit' berpindah-pindah tempat ia 
ke mana awan-gemawan sanggup 'memikul'-nya
: dari kesetiaan mereka mengemban tugas 
sebagai pengemban AMANAH
; mengembara jauh mereka
sejauh kembara pikiran dan khayalmu. 
Dan pikiranmu tetap saja beku? 

(IV)
Yap, MATAAIR yang kautemukan 
di satu kawasan pegunungan 
di antara aneka pohon berdesakan 
berasal dari rahmat-Nya! 
Kau lihat ia turun ke bawah 
melalui punggung-punggung gunung 
dan perbukitan 
dan kau menyebutnya SUNGAI 
dan, terus, turun ia... 
-- dengan penuh "kerendahhatian” – 
hingga ke kawasan yang kausebut lembah 
betapa tak ingin ia 
bersikukuh egoistik
di tempat ia pernah mengumpul 
; patuh pada 'titah'-Nya 'tuk berbagi 
selaras FITHRAH
: sifat asal segala di alam. Dan kau 
tak sanggup memikirkan hal itu 
saat pikiranmu beku?
 
(V)
Dan ‘tika punggung-punggung gunung 
dan bukit hanya menyisakan ilalang 
tanpa adanya pohonan, 
saudara-saudaramu yang bermukim di lembah
: bercocoktanam di ladang dan sawah 
hanya mampu mengurut dada 
‘tika kebun, ladang, sawah dan rumah-rumah mereka 
'digilas' makhluk yang, sebelumnya, disebut KAWAN,
kau menyebutnya BAH 
sambil duduk di depan televisi 
ngopi atau minum teh sore-sore 
dan kau pun berkata: "DOSA siapa..?!" 

(Vl) 
Sore.. persis sore hari ini 
dua atau tiga tahun yang lalu 
atau, mungkin, dua atau tiga periode yang lalu 
(‘ku teramat pikun mengingatnya!) 
kutonton BERITA yang, lebih-kurang sama, via TV 
(yang kini, milikku, sudah 'lumutan')
: ada bendungan bobol dan 
banyak orang dengan wajah masygul 
orang-orang desa sedang mengungsi. 
Dan para analis, para pakar serta sejumlah anggota parlemen  
menyebut perlunya hadir Undang-undang baru ke depan 
yang, isinya, lebih MENYELAMATKAN semua, 
kata mereka! 
 
(Vll) 
"Hei, Bro, mau kemana? Tampak tergesa-gesa..?!" 
Kudengar seseorang bertanya pada rekannya 
'tika ‘ku lewat naik sepeda 'ontel', milik ayahku, 
di satu gang saat ‘ku sedang menuju rumah temanku. 
"Heh, kau belum tau? Desa Jambu-Jumba sedang kena banjir! 
Bukan banjir kiriman biasa, Bro! Dan, tadi, kau 
dicari teman-teman, ke mana? 
Handphone kau sedang 'off', ya?" 
sahut yang ditanya. "Nih, aku ditugaskan Abang Ketua 
‘tuk ngambil perahu karet di tempat Budi. 
Yuk, ikut aku... sama-sama?" 
Ah, entah mengapa ‘ku seperti mendengar kejadian BIASA. 
Apa yang sedang "eror" dalam batok kepalaku 
saat ini?

(Vlll) 
Kulihat ada kesibukan di area 'desa' yang kulewati 
nampak para anggota regu 
semacam sukarelawan saat kondisi EMERGENCY 
berangkat berdesakan 
di satu bak truk, kayak sarden. 
"Hm, sigapnya dan begitu ikhlas mereka," tanpa sadar 
aku bergumam.
 
(IX) 
Dan tak kudapati teman yang kucari. 
Menurut tetangga sebelah rumahnya 
barusan pergi makek seragam PMK, fire rescue. 
"Oh, di mana sedang terjadi kebakaran?" tanyaku. 
"Hm.. PMK kampung kayak kampung sini 
multifungsi, Bang! Mereka juga bisa dipakai bertugas 
ngebersihin kotoran sapi sehabis pemotongan hewan 
pasca kegiatan ‘ibadah Qurban," jawab orang 
yang kutanya, sembari mohon pamit 
dengan pembawaan sopan. 
"Then, Bro..?!" kembali tanyaku.
"Iya, Bang, saat ini teman-teman sedang berangkat 
menuju desa Jambu-Jumba yang sedang ngalamin 
musibah banjir. Ho-oh, bantu-bantu evakuasi," sahutnya kembali 
sebelum benar-benar pergi 
setelah ngucapin salam. 

(X)
Terhenyak ‘ku di sebatang pohon tepi jalan 
sehabis nyandarin sepeda ayahku yang gak lagi punya 'kaki'. 
"Duh, apa ‘ku sedang kehilangan kaki persis sepeda ini?" 
‘ucap’-ku, kembali, sambil mijitin kepala yang terasa 
persis ada satu kaki ‘menyesak’ di dalamnya 
dan kayak 'menggertak-gertak' geram ‘suara’-nya
dan menendang-nendang... 
Uh! 

(Kandangan--Banjarmasin, Agustus 2025)


Tentang penyair



Muhammad Radi, lahir di Kandangan, Kabupaten HSS, 17 April. Puisi dan cerpennya dipublikasikan di Banjarmasin Post, Majalah Hai, idola, Nona, Nova, Aneka Ria, Keluarga, Kiblat, Panji Masyarakat,  dan The Favour Magazine (Kanada). 

Bukunya yang telah terbit: Pengajaran Fisika dan Peradaban Muslim (1995), kumpulan cerpen Di Antara Warna-Warni Pelangi (1998), Proses Pembelajaran, Mengacu Poda Fitrah (1999), Menghindari Jebakan Kultural: Kehidupan (2001) dan Shalat dan (Permasalahan Real) Kehidupan (2002). 
Puisinya juga terdapat dalam sejumlah antologi bersama, antara lain La Ventre de Kandangan, Mosaik Sastra HSS 1937--2003 (diluncurkan dan dibicarakan D. Zawawi Imron dalam Aruh Sastra Kalimantan Selatan 1, Kandangan, Kabupaten HSS, 2004), Seribu Sungai Paris Barantai (Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan III, Kabupaten Kotabaru (2006), Doa Pelangi di Tahun Emas (Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VI, Kabupaten Batola, 2009), Konser Kecemasan (2010) dan Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010)