Thursday, August 27, 2020

KAMI Menanti Tanggapan, tapi Dibalas dengan Serangan Personal dan Penyesatan Opini



Masukan berupa pikiran-pikiran kritis tentu bukanlah senjata. Terutama jika kaitannya dengan kehidupan bernegara yang di dalamnya ada rakyat. Semua pemerintah di setiap negara idealnya wajib mendengarkan segala masukan dengan hati yang lapang dan pikiran jernih. 

Itu penting mengingat yang menilai baik dan buruknya kebijakan adalah orang-orang di luar pemerintahan. Harus ada banyak mata yang menyoroti agar pemerintah dapat berjalan dengan elegan dan rakyat pun makmur.

Ini pulalah yang dilakukan gerakan moral dari Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang mengajukan pikiran-pikiran kritis dan korektif terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara yang menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945.

Akan tetapi, seperti yang dilaporkan RMOL, Kamis (27 Agustus 2020), pikiran-pikiran mereka justru dibalas dengan serangan personal dan penyesatan opini. 

Hal inilah yang disayangkan deklarator KAMI, Din Syamsuddin terkait respons yang berkembang usai deklarasi KAMI yang menyatakan beberapa poin mengenai persoalan bangsa. 

"Mengapa mereka tidak mau menanggapi isi, tapi berkelit menyerang pribadi dan mengalihkan opini?" ujar M Din Syamsuddin dalam keterangannya yang diterima redaksi RMOL, Kamis (27/8). 

Masih dari sumber yang sama, Din Syamsuddin berpendapat bahwa seyogyanya pemerintah selaku penyelenggara negara menjawab apa yang menjadi masukan KAMI sebagaimana termaktub dalam maklumat menyelamatkan Indonesia yang dideklarasikan di Tugu Proklamasi pada Selasa lalu (18/8). 

Misalnya saja soal oligarki politik yang menjadi keresahan KAMI. Penguasa perlu menjawab keresahan soal oligarki yang telah memenjara demokrasi. Pada praktiknya, demokrasi tidak berjalan dengan baik karena keputusan partai politik hanya ditentukan oleh segelintir orang. Termasuk keberadaan DPR RI yang sejatinya menjadi wakil rakyat namun justru dikendalikan oligarki. 

Selain itu, perlu dijawab pula soal adanya kegelisahan budaya politik dinasti yang menghalangi orang-orang berkualitas untuk turut berkontestasi dalam pesta demokrasi. Ujungnya, politik dinasti membuat demokrasi terciderai.

"Masih banyak pertanyaan substantif mendasar lagi, tapi sementara cukup dua itu," jelas mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah ini seperti terlansir media itu. 

Mengutip sumber tersebut, secara ringkasnya, jawaban-jawaban soal kegelisahan itulah yang sebenarnya sedang dinanti. Bukan sebaliknya, yang malah terkesan kontraproduktif dan menaruh kebencian dengan menggerakkan buzzer bayaran untuk mengalihkan isu. 

Adapun sikap ideal terhadap reaksi yang tidak substantif, baik dari para elite apalagi buzzer bayaran, Din Syamsuddin menegaskan, "KAMI tidak mau melayani karena hal demikian tidak mencerminkan kecerdasan kehidupan bangsa seperti amanat konstitusi."


0 comments: