Sunday, July 5, 2020

Satu Bukti Komunis sangat Intoleran: Buku-buku Demokrasi Menghilang dari Perpustakaan Hong Kong


Ilustrasi - Pixabay



Hasrat membaca itu baik. Buku-buku atau media lainnya menjadi kebutuhan pokok untuk memenuhinya. Bacaan tak sebatas jendela, tapi pintu lebar memasuki ruang wawasan tanpa batas. Sebab, dunia dan seisinya terus-menerus menyediakan beragam ilmu dan pengetahuan bagi manusia.

Lantas, bagaimana jika hasrat membaca harus dibatasi? Apalagi dikekang?

Jika itu terjadi, maka telah dimulailah stagnasi. Kemajuan terhenti. Tak ada lagi pembaruan pengetahuan yang kekinian dan terbarukan. Dan, hal buruk tersebut telah terjadi di Hong Kong.

Secara empiris, Hong Kong sudah memasuki rumah komunis terbesar di Asia. Partai Komunis Cina yang berkuasa di Cina daratan telah memaksa Hong Kong memasukinya untuk tunduk dan patuh pada aturan mereka. Perjanjian kebebasan kota itu selama 50 tahun sejak 1997 diabaikan dan dilanggar. Demokrasi pun dibunuh perlahan-lahan di sana. Salah satunya dengan menyingkirkan buku-buku demokrasi dari perpustakaan Hong Kong.

Ya, buku-buku yang ditulis oleh para aktivis demokrasi Hong Kong mulai menghilang dari perpustakaan kota, menurut catatan online, beberapa hari setelah Beijing memberlakukan undang-undang keamanan nasional yang kejam di pusat keuangan.

Sebutlah buku yang ditulis Joshua Wong. Seorang aktivis muda paling menonjol selama protes di Hong Kong selama lebih daripada setahun terakhir. 

Dalam sebuah laporannya, AFP mengatakan pencarian di situs Perpustakaan Umum Hong Kong menunjukkan setidaknya tiga judul karya Wong, Chan, dan cendekiawan lokal Chin Wan tidak lagi tersedia untuk dipinjamkan ke salah satu dari belasan outlet di seluruh kota.

Seorang wartawan AFP tidak dapat menemukan judul-judul itu di perpustakaan umum di distrik Wong Tai Sin pada Sabtu sore.

Departemen Layanan Budaya dan Kenyamanan kota, yang mengelola perpustakaan, mengatakan buku-buku telah dihapus sementara ditentukan apakah mereka melanggar hukum keamanan nasional.

Penggerusan demokrasi ini menyusul diberlakukannya Undang-Undang Keamanan Nasional baru Beijing di Hong Kong pada hari Selasa dan merupakan perubahan paling radikal dan berbahaya. Secara alami undang-undang tersebut telah menjadi teror menakutkan bagi warga Hong Kong, termasuk dalam hal pembacaan buku-buku tentang demokrasi. Padahal dunia internasional adalah alam kebebasan dan bukan alam pengisolasian seperti yang dipraktikkan Beijing.

Jika kita pahami, inti penyingkiran atau penghilangan buku-buku demokrasi di Hong Kong bukan sekadar membuat orang kehilangan kebebasan membaca, tetapi lebih daripada itu.

Apakah gerangan?

Adalah intoleransi terhadap perbedaan. Dengan perlakuan buruk terhadap buku-buku butuh, sebenarnya Beijing sedang menegaskan kepada dunia bahwa satu-satunya yang dijadikan ajaran hidup hanyalah komunisme. Sedang yang lainnya "tidak". Dengan redaksi lain, "Katakan tidak pada selain komunisme!"

Praktik intoleransi semacam ini sudah dibuktikan selama bertahun-tahun di Cina daratan, yakni undang-undang keamanan nasional yang serupa secara rutin digunakan untuk menghancurkan perbedaan pendapat.

Lalu, bagaimana jika situasi dan kondisi seperti itu merambah ke seluruh dunia?


0 comments: