Saturday, February 8, 2020

Teror Nyata untuk Rakyat dan Lingkungan Adalah Omnibus Law Cilaka?


Disebut Cilaka karena kepanjangannya adalah cipta lapangan kerja (Cilaka). Begitulah orang menyebut rancangan undang-undang ini. Dan, jika dicocok-cocokkan, maka agaknya berkaitan dengan prediksi yang ditimbulkan jika RUU itu disahkan.

Apa prediksi tersebut? Berdampak buruk bagi rakyat (khususnya buruh) dan lingkungan. Kok bisa begitu?

Realitas yang ada, Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja yang disusun dengan model Omnibus Law, sudah banyak mendapatkan kritik dari sejumlah pihak. Alasan terkuat karena isinya "dianggap" tak berpihak kepada buruh, rakyat, hingga lingkungan hidup.

Paling menonjol dalam hal ini di antaranya berupa kemudahan bagi perusahaan tambang melanjutkan dan meluaskan wilayah pertambangan.

Seperti terlansir CNN Indonesia, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Merah Johansyah, menyatakan aturan sapu jagat yang isinya memberi kemudahan bagi perusahaan tambang ini justru mengancam kehidupan rakyat dan lingkungan di sekitar lokasi pertambangan.

Baca Juga: Benarkah Partai Koalisi Pemerintah di Parlemen Alergi dengan Usulan Pansus Angket Jiwasraya? 

Masih dari sumber yang sama, Merah menjelaskan secara rinci argumentasi atas pernyataannya itu.

Pertama, kata Merah, akan terjadi pengusiran besar-besaran terhadap rakyat yang tinggal di sekitar wilayah pertambangan. Menurutnya, ini merupakan konsekuensi atas ketentuan tak ada pembatasan luas wilayah untuk perusahaan yang melakukan hilirisasi.

Masyarakat adat juga terancam ketika RUU Cilaka ini benar-benar berlaku. Merah menyebut banyak masyarakat adat yang tinggal di dekat wilayah pertambangan.

Padahal di Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara (Minerba), pertambangan yang statusnya operasi produksi dan(OP) dibatasi tak boleh sampai 15 ribu hektare.

Baca Juga: Terkait Pemulangan Eks ISIS, Din: Negara Punya Kewajiban untuk Melindungi

Lalu yang kedua, ancaman serius bagi rakyat dari RUU Cilaka ini adalah peracunan. Ia mengatakan peracunan ini terjadi karena pertambangan yang terintegrasi dengan hilirisasi itu bisa menambang seumur bahan tambang ada.

Menurutnya, kegiatan tambang yang dilakukan terus menerus sampai tambang habis atau nyaris abadi otomatis akan membuat pencemaran lingkungan tak berhenti.

"Pembuangan limbah kan terus terjadi selamanya. Selama ada bahan tambang itu. Penggunaan bahan kimia beracun akan terus digunakan untuk membantu proses penambangan," katanya.

Kemudian, Merah mengatakan ancaman ketiga dari aktivitas pertambangan yang diberi karpet merah lewat RUU Cilaka ini membuat pengungsian bencana sosial-ekologis. Menurutnya, bencana alam yang terjadi di Indonesia tak terlepas dari aktivitas tambang.

Baca Juga: Sebaiknya China Terima SAJA Tawaran 100 Juta Dolar AS dari Negeri Paman Syam untuk Perangi Virus Corona

Merujuk data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) terdapat 6 juta pengungsi akibat bencana alam dari 3.500 titik di Indonesia sepanjang 2019. Merah memprediksi jumlah pengungsi akibat bencana alam yang disebabkan aktivitas tambang naik 2 kali lipat pada tahun ini.

"Bisa 12 juta pengungsi sosial ekologis akibat dari banjir, tanda-tandanya sudah ada kan, akibat kegiatan tambang yang tidak terkontrol," tuturnya.

Lantas, apakah rancangan undang-undang ini masih perlu disahkan? Atau sebaiknya? Silakan Anda renungkan.

0 comments: