Thursday, January 2, 2020

Sastra dan Banjir


Sastra digerakkan oleh batin yang lengkap. Bukan sekadar kerja otak, tapi seluruh jiwa manusia yang dikenal dengan sebutan sastrawan. Itulah sebabnya, mata panah sastra tak sekadar mengenai wilayah kiri otak, tetapi juga di pangkal perasaan batin penikmatnya.

Maka, tak perlu heran ketika Anda melihat seseorang berlinang air mata saat membaca karya sastra. Mengenai perihal ini, tentu sifatnya umum. Saya pernah mendengar cerita dari seorang teman yang dikenal sebagai sastrawan tentang menangisinya seorang preman setelah membaca sebuah novel.

"Di Bawah Lindungan Kakbah" karya Buya Hamka membuat pria menakutkan itu terisak-isak.

Baik, itu soal efek sastra terhadap penikmatnya. Saya katakan penikmat karena hanya orang yang berhasil menikmati sastralah "yang" memiliki kesempatan mendapatkan efek tersebut. Jika sebaliknya, biasanya susah menamatkan pembacaannya (atau menyimaknya). Dengan kata lain berhenti membaca atau menyimak di tengah jalan.

Nah, efek itulah yang saya maksudkan pada judul di atas. Benar, sekilas memang antara sastra dan banjir tidak memiliki hubungan apa pun.

Sastra memang tidak bisa seperti bahan bangunan yang langsung dapat digunakan membuat gedung, misalnya. Akan tetapi, sastra mempunyai efek positif atau katakanlah manfaat terhadap masyarakat penikmatnya.

Salah satunya berkenaan dengan alam. Sastrawan sudah sering menghadirkan karya sastra yang bernapaskan pelestarian alam sebagai hunian manusia. Sebutlah sungai dan hutan. Seperti yang kita ketahui bahwa keduanya sangat dekat dengan banjir.

Ya, jika hutan rusak karena pembabatan luar biasa, bagaimana saat hujan tiba? Lalu kalau sungai "diamatikan" apa yang terjadi? Besar kemungkinannya adalah terjadi banjir yang besar.

Dalam hal ini, agaknya perlu dipertanyakan mengapa seakan suara sastrawan tentang alam melalui karya sastra kurang berefek? Apakah karena sastra belum membumi sehingga pesan yang disampaikan pun belum menyentuh jiwa seluruh masyarakat Indonesia?

Kemudian, apa yang perlu dilakukan? Tentu perlu ada upaya yang tepat, baik dari kalangan sastrawan sendiri, maupun pemerintah.

Semoga ke depan, akan terwujud.


0 comments: