Tuesday, April 6, 2021

Puisi-Puisi Hanna Fransisca di Buku Kalimantan dalam Puisi Indonesia


Tentang Dewi Pemintal dan Petani

Aku ingin menenun benang-benang embun,
jadi pelindung, agar kau tak lagi panas di ladang
menanam benih
Lalu waktu biarkan terhenti,
lantaran aku ingin memandangmu
sebentar saja.

Aku ingin terbang sebelum panas turun,
dan menghalau matahari
agar kau tak letih ditelan sunyi sendiri.

Lalu waktu biarkan terdiam,
lantaran aku ingin berlabuh
di luas hatimu.

Kuciptakan telaga dari air mataku,
lantaran aku mencintaimu.
Begitulah ribuan gurun bermunculan sejak itu,
dari masa silam yang mengurungku.
Kusembunyikan bening berkilau,
batas setapak ke langit rumahmu.
Aku gadis penenun sederahana,
yang memintal jiwa menjadi cinta.

Kini izinkan aku membangun jembatan pelangi,
tempat gadis penenun bertemu dengan petani.
Atau aku akan terus bernyanyi sunyi,
sampai tiba saatnya kau meminta sayap,
untuk menurunkan Dewi Langit,
menuju kebunmu yang bercahaya.

Jakarta, 12 Mei 2009


Gigi Angin

Menunggumu,
di runcing tegak palem aku meminta dingin
Tapi daun itu menunjukkan padaku,
sigi angin yang menyuruhku selingkuh.

Dari celah pelepah
aku tangkap panas, dan
merah kulitku terbakar sedih.

Di terik tajam siang nanti
tulang-tulangku akan rapuh

Cuaca sore mesti lebih gemetar,
dan mengantar malam yang pasti mati.

Di persimpangan jalan,
dalam dekap didih debu
berbatang palem lain ikut tegak menjelma diriku.

Di manakah air, di manakah awan, di manakah rindu.
Hujan telah lama menjelma petir,
Petir menjelma dirimu
Dan hatiku hangus tak keruan.

Di bawah palem, tubuhku kuyub,
gigi angin menerbangkan cintamu
pada malam yang dingin.

Menunggumu,
di bawah palem
aku meminta mati.

Jakarta, 30 Juni 2009


Doa Sebelum Malam

Warna emas pernah tumbuh di pucuk rumah kita
Tanah wangi halaman yang diberkati dan
Bunga-bunga anggrek mekar di semua mimpi

Rumbai dedaunan tempat kita berdiri selalu hijau,
Berduyun menghias diri dengan mahkota bunga.

Ranum malam yang indah, udara yang ramah.
Mari berpesta dengan keheningan,
bersama sahabat tercinta,
Seratus kunang tersayang,
cengkerik bersayap sendiri,
simfoni katak yang menjelma ribuan sajak.

Mari menghormati kilau cahaya yang kelak hilang,
bersama malam yang merindukan matahari esok pagi.

Jakarta, 24 Juni 2009


Tentang Penyair

HANNA FRANSISCA lahir di Singkawang, Kalimantan Barat, dengan nama Zhu Yong Xia.
Menurut catatannya tentang dunia kreatifnya, ia menulis puisi di sela-sela kesibukan membantu ibunya untuk mencukupkan kebutuhan sehari-hari. 

Ia kemudian pindah ke Jakarta dan giat menulis dan membaca buku-buku sastra. Atas sajak-sajaknya yang unik dan indah itu Joko Pinurbo menulis, "Hanna Fransisca menyanggul sajak-sajaknya dengan jalinan kata-kata yang ia petik dan olah dari lingkungan imaji yang lain dan karena itu memberikan daya tarik tersendiri. Singkawang telah digubahnya menjadi lahan puitik yang terbuka dan menggoda, yang menawarkan kekayaan dan kedalaman makna." 

Karyanya yang berupa puisi dan cerpen dimuat di berbagai media massa, di antaranya di Kompas, Koran Tempo, Suara Merdaka, Malang Pos, dan sejumlah majalah sosial. 

Aktif di organisasi sosial dan profesi, Lions Club Jakarta Kalbar Prima. 
--------------------------------------------------------

Sumber tulisan: Kalimantan dalam Puisi Indonesia

Sumber ilustrasi: Pixabay

0 comments: