Wednesday, March 10, 2021

Penjual Kerbau, Sebuah Cerpen Gerson Poyk


Akhirnya kami tiba di kaki Gunung Inerie. Capeknya bukan main! Setelah aku dan Rofinus mengikat kerbau kami di sebuah tempat yang penuh dengan rumput-rumput kering, kami membaringkan badan sambil memandang langit malam yang terang bersih. 

Kami terbaring di atas daerah yang kering di Pulau Flores. Jika mata memandang puncak Gunung Inerie, jangan diharapkan ada hutan yang lebat dengan pohon-pohonan subur seperti yang terdapat di pegunungan Ruteng di Flores Barat, dari mana kerbau kami dibawa untuk dijual di pedesaan sekitar gunung yang kering itu.

"Aku tidak mengerti, mengapa daerah ini, suka berpesta pora menyembelih berpuluh-puluh ekor kerbau," kataku.

"Tidak jarang sampai ratusan," katanya dengan suara bangga memberi komentar atas adat pesta pora kampung halamannya.

"Barangkali dahulu daerah ini subur karena gunung api Inerie.”

Ya, ia lahir di salah satu dusun di kaki gunung ini. Dan ia tahu betul bahwa di sini orang-orang sangat membutuhkan kerbau untuk pesta. Setelah aku tamat dari sekolah rendah, dua tahun lamanya aku berkebun dan memelihara kerbau ini, dan setelah cukup besar aku ketemu Rofinus, seorang lelaki dewasa buta huruf, yang bisa diajak menjadi penunjuk jalan dan pembantu seorang pedagang kerbau berusia empat belas tahun.

Kemudian kami diam. Kemudian rupanya kami lama tertidur kecapean dan kaget karena ada bunyi huru-hara, O, tidak! Setelah kami bangun, ternyata bunyi itu adalah bunyi stoom kapal dan rantai jangkar yang terbongkar. Sebuah kapal KPM sedang berlabuh di Pelabuhan Almere, sebuah pelabuhan kecil dekat dengan gunung api Inerie dari mana hasil bumi diangkut ke Jawa.

"Aku lapar, Rohnus," kataku, "Di sini tidak ada air," katanya.

"Di samping beras, kita bawa juga ubi dan jagung, dan dendeng, bukan? Bakar saja semuanya, dan besok sajalah kita minum air," kataku kepadanya bila bangun memandang malam dan alam sekitar.

Bulan menyinari Gunung Inerie, menyinari laut dan menyinari daun-daun lontar. Sayup-sayup di pantai sana, kapal KPM berkelip-kelip dengan lampunya dan sibuk membongkar dan memuat muatan. Bunyi motor bot kadang-kadang ditelan oleh gelepar daun lontar yang ditiup angin malam. Alam di sekitar kaki gunung itu bagaikan sebuah halaman yang sangat bersih karena rumputnya sudah dicukur gundul oleh kemarau dan di atas rumput-rumput itu bertumbuhlah pohon lontar yang lurus-lurus perkasa menantang kekeringan.

"Apakah tidak ada ladang di sekitar sini?" tanyaku.

"Tentu ada, tetapi aku tak tahu, apakah di ladang itu ada pondok dengan penghuninya," katanya sambil bangun berdiri memandang alam sekitar.

"Cobalah aku ke lembah sini!" katanya.

Aku tinggal sendirian menjaga kerbauku. Tidak lama kemudian Rofinus kembali.

"Ada sebuah gubuk kecil di ladang itu," katanya, "tetapi tidak ada orangnya."

"Apakah tidak ada air?" tanyaku.

"Mata air ada di tengah-tengah kali kering dekat ladang itu. Dan dalam gubuk itu aku melihat beberapa periuk tanah. Kita bisa ke sana!" katanya.

Tidak lama kemudian kami telah berada di dalam gubuk itu. Kerbau kami diikat ke pagar dan kami mulai dengan mengurus makan malam, Rofinus menuju ke mata air yang terletak di pasir-pasir di tengah-tengah sungai kering, sementara aku membakar dendeng. Setelah nasi kami matang, di luar terdengar derap langkah-langkah kuda yang berhenti di sekitar gubuk kami.

Seorang laki laki turun dan terus melongok ke bawah atap. "Siapa kalian?" tanya dia.

"Kami penjual kerbau yang kemalaman di sini dan singgah untuk masak makam malam dan menginap di gubuk ini," kata Rofinus

"Ya," katanya

"Tidak ada orang ketika kami datang di sini," kata Rofinus.

"O, mungkin ia pulang ke kampung. Tetapi tidak apalah. Cuma saya harapkan Saudara-saudara teliti dengan api supaya gubuk ini tidak terbakar."

"Terima kasih, kata Rofinus. “Terima kasih," katanya.

Sementara itu pengiring laki-laki berkuda sejumlah tiga orang telah turun dari kuda mereka masing-masing. Mereka memasuki gubuk dan duduk bersama kami. Kemudian yang seorang bertanya, "Pak Guru, sebaiknya kita nginap di sini saja."

Mendengar itu aku agak lega. Ternyata ketua rombongan itu orang baik-baik, sehingga aku berani bertanya padanya!

"Baru datang dari mana, Pak Guru?"

"Baru lihat orang-orang menggali saluran dan memeleh kali," katanya.

Kemudian jawabnya disambung dengan pertanyaan, "Berapa kerbau yang kalian bawa?"

"Cuma satu ekor," kata Rofinus. "Kerbau itu milik adik saya ini, dan saya pengawalnya."

Pak Guru itu memandang aku dan matanya seolah-olah tidak percaya.

"Apa yang kalian bawa untuk dimakan malam ini?"tanya dia.

"Tidak ada apa-apa, cuma ini," kata Rofinus menunjuk pada nasi di periuk tanah dan dendeng bakar.

Kami membawa ketupat kacang ijo, sambal tomat dan juga dendeng. Ada juga moke, jangan takut. Marilah istirahat malam ini, sambil tawar menawar kerbau, katanya. Malam itu kami seakan berpesta di gubuk itu. Untuk pertama kalinya aku minum moke yang kadar alkoholnya keras dan sudah tentu aku mabuk. Aku terapung-apung, tetapi aku tidak terlepas daripada harga yang telah kupegang erat-erat.

"Maaf Pak Guru, saya tidak bisa turunkan lagi harga saya sudah tentukan itu," kataku.

“Begini," demikianlah bunyi mulut bapak guru itu pada mulanya. “Dengan harga yang demikian itu, anak bisa membeli kain tenunan sini. Kain itu ditukar dengan kambing dalam perjalanan pulang, dan kambing itu dijual di kota! Itu! Bapak kasih jalan."

Walaupun Rofinus mengorek pantatku, sebagai isyarat supaya jangan tergoda oleh bujukan pembeli, aku berpikir bahwa ара yang diceritakan oleh bapak guru itu benar. Aku pernah membeli kambing dan membawanya ke kota. Jalannya kambing lebih cepat daripada kerbau. Lagi pula bau keringat kerbau sangat membikin aku mabuk. Mengantarkan kerbau berjalan di depan, aku harus mengeluarkan banyak tenaga untuk mencambuknya, sedang jenis binatang yang kedua ini jika sudah berjalan di depan, kita hanya mengikutinya dari belakang. Dan jika binatang itu mogok, bisalah aku dan Rofinus memikulnya.

Tetapi kerbau tidak boleh mogok. Itulah perhitunganku. Syukurlah aku telah sampai ke sini, dengan menempuh perjalanan kali yang memakan waktu tiga minggu. Karena semua itu aku menyetujui saja. Ini bukan karena aku mabuk. Aku masih bisa berhitung!

“Baik, baik, “ kata Pak Guru itu. "Dan besok, nanti anak-anak saya ke kampung untuk mengambil kambing dan beras, garam dan moke untuk selamatan di gubuk ini," katanya.

"Ada hari besar apa, Pak Guru?" tanyaku.

"Kita harus mengadakan pesta kecil, karena saya membeli kerbau baru," kata Pak Guru. "Itulah adat kami di sini, Nak.

Dan kerbau yang saya beli itu akan dipotong lagi untuk pesta," katanya.

"Pesta adat, Pak Guru?" tanyaku.

“Tidak, kita menggali saluran hanya dengan pesta. Kita potong kerbau, banyak orang diundang makan-makan, dan setelah itu ramai-ramai angkut batu dan batang batang pohon lontar memeleh sungai satu-satunya di sini dan yang saluran...."

Banyak lagi ceritanya, tetapi karena aku makin oleng maka lambat laun suaranya menghilang barulah aku terbangun ketika kurasa kepalaku digoncang-goncang dan telingaku diserbu oleh bisikan Rofinus.

"Kita rugi, di tempat lain kita bisa menjualnya tiga kali dari harga mereka. Kita rugi, bangun, kita lari malam-malam."

Mendengar itu aku bangun. Semua sudah tidur ngorok mabuk moke.

"Tidak bisa, aku sudah ambil keputusan," kataku kepada Rofinus.

"Itu bukan keputusan," kata Rofinus sambil mendorong badanku keras-keras.

"Jadi apa?" bisikku.

"Itu ocehan orang mabuk moke. Kecil-kecil sudah mau minum!" comelnya.

"Itu taktik mereka untuk membeli kerbau kita dengan harga murah! Mereka licik."

"Kecil-kecil tapi pedagang kerbau," kataku.

"Akh, dengarlah saya. Bangun!" lalu dia menarik tanganku. Aku dan Rofinus bangun. Dengan segala buntelan barang-barang kami, kami berjalan menjingkat-jingkat melangkahi orang-orang yang sedang ngorok mabuk itu. Kami segera mendatangi kerbau tetapi sang kerbau telah lenyap dicuri orang....

"Aku curiga pada orang-orang itu," kata Rofinus.

“Sementara mereka minum-minum dengan kita, orang, orang mereka membawa lari kerbau itu. Pintar benar!" Rofinus menghunus parangnya, tetapi aku menegurnya.

"Kerbau hilang, kerbau hilang!" teriakku. “Hoooi bangun, kerbau hilang!" teriak Rofinus. Dan apa yang disebut Pak Guru itu serta anak buahnya bangun, “Kerbau hilang, kerbau hilang." teriakku.

Kita harus berterus terang Pak Guru. Anak ini baru belajar dagang. Kasihan dia. Kasihanilah kami, kata Rofinus. “Saudara tentu curiga pada kami. Tidak apa," kata orang yang disebut guru itu, sambil memandang Rofinus. "Saudara tentu tidak percaya bahwa seorang guru yang memimpin pembangunan bendungan," katanya.

“Kita bukan bicara soal guru, kita bicara soal kerbau!” kata Rofinus.

“Apa boleh buat! Sebelum saya menyerahkan uang kepada Saudara-saudara mestinya kerbau itu dijaga baik-baik. Itu kesalahan Saudara-saudara!" katanya.

Aku menarik tangan Rofinus ketika mereka menunggangi kuda. Kemudian mereka berangkat meninggalkan aku dan Rofinus.

"Tidak ada harapan lagi!" kataku. "Tak apalah, kita masih mempunyai uang sedikit untuk pulang."

“Akh!" Rofinus mengangkat parang lalu membelah tanah!

“Mari kita mandi dahulu, sebelum kita laporkan kehilangan itu pada polisi!” katanya.

Lalu kami turun ke kali kering di mana ada mata air di tengahnya

Langkah kami lemas, kepalaku pening, hatiku sedih. Sudahlah! Aku menghibur diriku. Tetapi Rofinus tidak sadar. Parangnya yang tajam telah memutuskan beberapa pohon di jalanan menuju kali kering.

Ketika kami tiba di kali kering itu, mata airnya telah disumbat oleh seekor kerbau, kerbau kami! Rupanya talinya diikatkan ke pagar yang lapuk tadi malam. Buset!

Rofinus menggendong aku, memutar-mutarkan badannya lalu terputar-putarlah aku dan dia seperti gasing. Melihat yang demikian, kerbau kami menguak. Aku pun turut menguak, Rofinus menguak. Nguak! Nguak! Nguak!

Dan di kejauhan bunyi stoom kapal mengucapkan selamat tinggal....

Sumber cerpen: Balai Pustaka, Jakarta 1975


Sekilas tentang Gerson Poyk



Gerson Poyk lahir pada 16 Juni 1931 di Namodele, Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, Hindia Belanda, dan meninggal dunia pada 24 Februari 2017 di Depok, Jawa Barat. 

Dia dikenal sebagai wartawan dan sastrawan. Sebelum itu dia pernah menjadi guru sekolah menengah di Ternate, Maluku Utara, dan Bima, Nusa Tenggara Timur. 

Dirinya meraih sejumlah penghargaan di bidang sastra dan jurnalistik, seperti SEA Write Award, penghargaan sastra Asia Tenggara dari Kerajaan Thailand, dan Anugerah Jurnalistik Adinegoro. Poyk juga memperoleh Lifetime Achievement Award dari surat kabar Kompas berkat pengabdiannya di dunia sastra.

-------------------------------------------------------

Sumber tulisan: Odah dan Kuli Kontrak (Sepilihan Cerpen Klasik Indonesia)

Sumber ilustrasi: Pixabay

Sumber foto: Wikipedia


0 comments: