LAHIR di Kandangan, Kalimantan Selatan (HSS), 1 September 1952. Kini beralamat di Jalan Veteran Gg. Salatiga RT. 06, No. 48 Marabahan 70511, Kab. Barito Kuala, Kalsel. Sejak SMA sudah aktif berkesenian, dari pengelola majalah dinding, ilustrator, penulis puisi, penyanyi, hingga menerbitkan Buletin Haluan di era Departemen Penerangan. Kota Bahalap adalah bagian hidupnya, ia bermukim dari zamannya Riak Riak Barito hingga DKD sekarang.
Antologi yang memuat puisi-puisinya antara lain ialah, Riak-riak Barito (1979), Gardu (1979), Kuala (1984), Menatap Cermin (1988), Api (Antologi Puisi Penyair Deppen Kalsel, 1994), Bahalap (1995), Jendela Tanah Air (Antologi 50 Penyair Kalsel, 1995), Pelabuhan (1996), Rumah Sungai (1997), Jembatan Asap (1998), La Ventre de Kandangan (Antologi Penyair HSS, 2004), Sajak-Sajak Bumi Selidah (2005), Seribu Sungai Paris Barantai (2006), Cinta Rakyat (2007). lje Jela Bersastra di Tahun Emas, 2009), dan Doa Pelangi di Tahun Emas, (Antologi Penyair Kalsel, 2009). Aktivitas berkesenian membawanya ikut aktif pada Aruh Sastra Kalimantan Selatan, semisal yang pertama (Kandangan) dan yang keenam (Marabahan). Ia juga aktif dalam even di luar Pulau Kalimantan hingga pernah menginjak Johor Bahru, Malaysia dan Singapura pada festival Japin Sedunia Tahun 2001.
Piagam penghargaan yang pernah diterimanya: sebagai seniman sastra berprestasi dari Kepala Kanwil Depdikbud Provinsi Kalimantan Selatan (1990) dan Penghargaan dari Bupati Barito Kuala Tahun 1996 dan 2006. la banyak terlibat di organisasi kemasyarakatan/Aepemudaan, mulai sebagai Ketua RT, Ketua IKAPEN, Sekretaris LPM, Sekretaris DKD, dan di birokrasi mulai era Departemen Penerangan, Mawil Hansip, Dinas Pariwisata, Kesbanglinmas, Dinas Sosial, Dinas Kehutanan, dan sekarang sebagai Ketua Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Barito Kuala.
Berikut puisi-puisi Syarkian Noor Hadie.
Petualang lintas batas
tak ada yang menyapa
masukkan koin di dinding box stasiun
"agar encik punya kart,“ kata hindustan
subway bawah tanah
rancak gendang bening dan tepat waktu
menghalau ke hidung singa
Pantai Rafflesia, tetangga kedua penghijrah
kita telah sampai di Jurong
terimakasih Itai-Melayuku
(Singapura, Oktober 2001)
Hidup adalah sebuah jembatan gantung
adakah akan singgah di seberang atau putus
kapan lentera malam menyejuki jalan
pada lekuk papan yang lurus
atau badai yang lapar meniarapi punggung
di mana harus bertaut
yang akan singgah bila sampai – entah kapan
sebuah fatamorgana?
ataukah mimpi sepanjang malam
yang membutiri setiap detil
lorong demi lorong
yang merobek ruang dan waktu
mencampakkan rusuh dan mencium hakiki
di sinilah kau menemu diri
hampa dalam gemuruh pasir, tak berarti
hina dalam samudera dahsyat-Mu
Balada Penjangkar Sauh
menjangkar sauh menghimpit sepi
kau tabur riak malam dalam sendiri
matikan rindu, matikan api
angin laut menyibakkan urai rambutmu
sepanjang malam kami bercinta "
Bisikmu, di kala senja
" kami sepasang pengantin
ceritamu di ujung bulan
berbinar matanya endapkan luka
betapa teduh hidung bangirmu
betapa wangi napas tidurmu
bayangmu di mata kaca
menjangkar sauh menghimpit sepi
pengantinku telah menyeberang "
lirihmu,
sauhku terkepung sunyi
aku hanya sendiri
(Gilimanuk-Pantai Kita, 2004)
Perangkap
dibenaknya tasbih dan mesiu manjadi batu
kau lambai air wudhu antara ubun-ubun dan peluru
yang tak berujung pangkal
air itu kembali menjadi cakar
mengoyak mangsa
melaparkan dahaga
kukaih sajadah dengan selaksa cumbu
kering telah menuai bencana
harus kutumpahkan cakar ini walaupun dalam sejuta dosa
Kau telah terperangkap!
(Tretes, 2000)
Kemaruk
ingin menggantang dunia
asinmu tak pernah bertepi
walau mandi telah beribu kali
tak jua terhiraukan
dengan panci perakmu, berkilau
dan berkarat
kalau karam telah menyumbatmu
mata dan telinga
kemaruk dunia
berilah sahara permata emas soekarno hatta
atau "Keranda"
(Ramdhan 1425 Hijriyah)
Sumber foto: Facebook
0 comments:
Post a Comment