Sebuah Epilog
Oleh Tajuddin Noor Ganie, M. Pd.
Apostrof menurut Zaidan dkk (1994:35) berasal dari bahasa Yunani apostrophe. Istilah ini merujuk kepada gaya bahasa yang berisi sapaan kepada benda, tempat, konsep abstrak, gagasan, orang yang telah mati (tapi dianggap seolah-olah masih hidup, ada, dan mampu memahami apa yang dikatakan), atau orang yang tidak berada di tempat (inabsentia). Di berbagai negara di Asia Tenggara, apostrof lebih banyak dihubungkan atau dikaitkan dengan makhluk gaib yang tidak kasat mata yang disapa secara inabsentia dalam tradisi pelisanan mantra di berbagai negara di Asia Tenggara, terutama sekali di negara-negara yang yang dihuni oleh suku bangsa Melayu.
Dalam tulisan ini apostrof merujuk kepada makna yang lebih terbatas lagi, hanya berlaku dalam tulisan ini saja, yakni puisi yang berisi hujatan, kritikan, sapaan, seruan, dan ungkapan simpatik atau tidak simpatik, yang ditujukan kepada seseorang yang hadir atau tak hadir (inabsentia) sebagai lawan bicara atau lawan dialog ketika puisi dimaksud dilisankan secara retorik (dibacakan dalam acara baca puisi di panggung, disiarkan melalaui corong radio, atau melalui tayangan di layar televisi), atau dituliskan dalam teks yang pasif (rubrik puisi di sebuah koran/majalah, atau dalam buku-buku kumpulan puisi).
Penguasa negeri yang dimaksud dalam tulisan ini tidak mesti seorang kepala negara atau kepala pemerintahan setingkat presiden atau setingkat perdana menteri di negara-negara Asia Tenggara, tetapi juga kepala daerah atau kepala pemerintahan di berbegai strata yang ada di negara-negara Asia Tenggara. Saya lihat, cukup banyak puisi dalam antologi bersama ini yang menjadikan penguasa sebagai apostrof yang dihujat.
Meide Chandra dari Banten menulis puisi berjudul Kesaksian Batu Nisan di Tanah Penguasa Negeri Tersandera yang berisi hujatan terhadap penguasa negerinya yang saling berkolusi untuk mengurangi hak-hak anak negerinya untuk hidup makmur di negeri yang sesungguhnya sangat kaya raya ini.
Lagi-lagi kabar itu terdengar
Tergurat di bait-bait lusuh surat kabar
Petaka yang menikam nurani benamkan gusar
Di retak-retak rasa memantik murka
Oleh aberansi tak henti suguhi lakon-lakon banci
Sembunyi di ketiak penguasa gadaikan harga diri
Di lembar-lembar uang panas lakumu yang culas
Sementara di sana, di antara dengkuran bilik desa
Si miskin masih saja ratapi cermin
Menatap diri tangisi hari kemarin
Dipenggal bilur-bilur takdir mereka
Air mata itu letih menjadi angin lalu
Setiap hari terjurai deraian duka
Mengemis iba di antara besi-besi keranda tua
Hujamkan luka semakin menganga
Dan getir hidup jadi candu sisa usia
Merajah di sekujur daksa yang bindam
Mereka,
dan nyawa yang lenyap dicabik taring-taring kuasa
Masihkah kalian bungkam samarkan buram?
Tentang mereka dan nasi aking dilahap nikmat bersama garam
Atau batu-batu nisan yang menjadi saksi acuhmu tuan
Tak peduli lenguh nadi sekarat
Direnggut maut melawan kalut
Tanggalkan sejenak jas dan dasi yang kau semat
Itu semua tak lebih setenggak madu sesaat
Tak cukupkah harta demamkan jiwa?
Dibungkam agitasi iblis tertawa sinis
Berbagi laksa pintu-pintu gratis
Tak sadar dibuai perangkap sadis
Dan ajal, kelak buatmu menangis
Lailatul
Kiptiyah dari Jawa Timur menulis puisi berjudul Duka Bangsa yang berisi hujatan terhadap penguasa negerinya yang
tidak bersungguh-sungguh menjalankan amanat bangsanya sehingga segenap anak
bangsa yang hidup di negeri ini hidup dalam kedukaan yang berkepanjangan (duka
abadi anak bangsa).
DUKA BANGSA
Beribu
tunas menjelma
di setiap ruas tanah bangsa
riuh anak-anak mengaji
meruap di gubuk-gubuk miskin
sepanjang tepi kali
Beribu
ton sampah
beribu drum limbah
menderaskan arus nestapa
memegungkan sumur luka
menenggelamkan rumah demi rumah
Di
dusun-dusun mimpi
tangisku adalah tangis sepi
setelah rubuh pilar-pilar
penupang bagi beranda-beranda belajar
Beribu
kuntum kusuma
mekar di pepucuk pohon bangsa
mengantar anak-anak perempuan pergi
ke benua-benua terasing
menguyupkan rindu ibu kala fajar menyingsing
Oh, kini beribu doa luruh dari mata
meratap jauh ke langit duka bangsa
April 2012
Keberadaan orang miskin yang semakin lama semakin bertambah banyak di negeri ini merupakan fenomena yang menggejala sebagai dampak langsung dari kegagalan rezim penguasa negeri dalam mengelola sumber daya ekonomi bagi kepentingan memakmurkan anak negeri. Fikrah Syailah Adam dari Maluku Utara (Indonesia) menulis puisi berjudul Orasi Orang Miskin yang berisi hujatan terhadap penguasa negerinya (Pimpinan) yang mengabaikan kesejahteraan rakyat, sehingga semakin hari semakin banyak saja warga negerinya yang nasibnya terpuruk menjadi orang miskin.
ORASI ORANG MISKIN
Beribu teriakan dari kolong jembatan
Orasi mencari kehidupan
Berteriak menjerit miskin
diri mengadu nasib nyawa
Kepada pimpinan
diri menagih janji suara
Jelata di tanah rumah
Sumpah hilang arah
Tumpah segala darah
Mana suara anda?
Berilah kami cinta
Ternate, 9 maret 2012
Mening Alamsyah dari Jawa Barat menulis puisi berjudul Berhenti yang juga berisi hujatan terhadap penguasa negerinya yang sudah tak lagi memiliki hati nurani. Ia biarkan anak negerinya hidup miskin, menderita, dan kelaparan. Gugatan tentang kemiskinan juga disuarakan dengan lantang oleh M. Abd Rahim dari Jawa Timur melalui puisinya berjudul Miskin. Puisi ini berisi hujatan terhadap penguasa negerinya yang mengabaikan keadilan social terhadap warga negerinya. Negeri ini kaya kaya raya, tetapi anak negerinya masih banyak yang hidup miskin papa karena para penguasa negeri ini telah salah dalam mengurusnya.
Kemiskinan membuat anak negeri menjadi tak mampu untuk membayar SPP sehingga ia tak bisa mengenyam pendidikan di sekolah formal. Abdul Rani dari Kalimantan Barat menulis puisi berjudul Sajak Seberang yang berisi hujatan terhadap penguasa di negeri seberang (padahal dimaksudkannya adalah di negeri sendiri) yang mengabaikan tanggung jawabnya di bidang pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan bagi anak negeri. Akibatnya banyak anak negeri yang tidak memperoleh kesempatan untuk mengikuti pendidikan yang layak di lembaga-lembaga formal persekolahan yang ada di negerinya. Tema yang sama juga ditulis oleh Nenny Makmun dari Jawa Tengah (Indonesia) dengan puisinya berjudul Aku Ingin Sekolah yang berisi hujatan terhadap penguasa negerinya yang tidak kunjung berhasil membuat kebijakan di bidang pemerataan pendidikan. Anak orang miskin masih sulit mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah formal karena tak mampu membayar SPP yang semakin tahun semakin tak terjangkau saja.
AKU INGIN SEKOLAH
dengan tentengan tongkat penusuk sampah
tercecer gelas plastic yang penuh menyembul
di antara sela tas plastik besar teronggok
ikut tersenyum katika anak- anak sebaya
tertawa riang menunggu lonceng belajar berdentang
bocah dekil pun tengah membayangkan
andai dirinya melekat seragan merah putih
berlari di lapangan sekolah
tanpa beban dengan uang SPP yang menjulang
sebersit senyum tersirat saat menyaksikan
anak-anak sebayanya berlarian berebut bebaris
masuk menyongsong masa depan
sementara lihatlah dirinya betapa kumuh
setelah dari pagi bergelut sampah
bermandikan terik matahari
berpuas asap udara yang tercemar dimana-mana
andai bapak ibuku tidak miskin
pasti aku bisa sekolah seperti mereka
untuk mengubah nasib ? mengurai mimpi
menerjang badai ketidakberdayaan
akan kebijaksanaan bangsa
akankah ada yang dengar jeritan hatinya!
Aku ingin sekolah! Aku ingin sekolah!
Jakarta, 23 April 2012
Sunthi Fatimah dari Kalimantan Timur menulis puisi yang berisi hujatan terhadap penguasa negerinya yang bersekutu dengan para pengusaha perusak hutan. Judulnya Kepasrahan Alamku. Kahar Al Bahri yang juga berasal dari Kalimantan Timur menulis puisi bertema sama dengan judul Catatan Satu Jam Tiga Puluh Menit. Melalui puisi ini Kahar Al Bahri menghujat para kroni penguasa negeri yang ikut andil merusak kelestarian alam di negerinya. Perbuatan tidak terpuji berdampak pada rusaknya masa depan anak negeri yang hidup di masa depan nanti.
CATATAN SATU JAM TIGA PULUH MENIT
Mari lupakan masa depan
Kita sudah terpesona merusak masa depan itu
mengobrak abrik alam liar sepanjang waktu
membuat planet ini jadi panas
sampai kita tidak tau kita berada dimana sekarang
tanah tak bisa digarap dan semua hilang tak berbekas
seperti petani yang menangis di atas tanahnya sendiri
kita sudah terpesona oleh sudut pandang yang aneh
oleh sebuah paham yang cuma tau tebang babat gali jual dan ludes seketika
lalu kemana kita harus berpindah
dan membiarkan populasi kita mati seperti kecoa yang diinjak pada pagi hari
karena kita tidak mampu memanipulasi suhu bumi
kita tidak bisa memanipulasi curah hujan
kita tidak bisa mengatur panas matahari
kita tidak bisa mengatur retak retak bumi
dan kita tidak mampu meratakan
dan merapatkan semua hal-hal yang sudah retak oleh kuasa-kuasa modal
mari kita lupakan masa depan
karena kita tidak bisa merapatkan cairan-cairan es
kita tidak bisa mengatur tuhan
dan kita tidak mampu menekan naiknya permukaan air
kita ini bukan siapa-siapa
kita hanya manusia
kita yang Cuma sok tahu hari ini
kita cuma tau bahwa kemarau melumpuhkan produksi petani
kita cuma tau bahwa banjir itu menyebabkan lapar
kita cuma tau bahwa atmosfir yang mengatur hidup kita sudah kacau balau
kita cuma tau,
kita cuma tau,
kita cuma tau dan
kita tidak bertindak
bahwa kita tidak mampu merekayasa planet ini lalu
terlanjur menyerahkan kepada politik
memilih mereka yang tidak bermoral dan membiarkan orang-orang tersebut
tidak melakukan apa-apa
lalu untuk apa seminar-seminar gleser
lalu untuk apa Pertemuan G-20
lalu untuk apa asia-eropa meeting
lalu untuk apa carbon meeting
lalu untuk apa teknologi-teknologi canggih-canggih itu
lalu untuk apa semua itu
kita harus menemukan jalan,
kitaharus menemukan jalan dan mulai berteriak bahwa ini sudah
cukup,
cukup dan
cukup
kitaharus menemukan jalan
hentikan gali-gali itu
hentikan tebang-tebang itu
hentikan babat-babat itu
hentikan keruk-keruk itu
hentikan tebang-tebang itu
hentikan babat-babat itu
hentikan keruk-keruk itu
hentikan, hentikan
bahwa bumi semakin panas
membuat kita sakit dan terus menerus terjangkit malaria
bumi semakin tidak produktif
kita akan Cuma menderita lapar dan ini memiskinkan kita
segera
karena kita pembuat kabar itu
baik atau buruknya mari bekerjasama
kita tidak boleh pasrah kitaharus tetap berusaha
harus berteriak
hentikan Rio tinto
hentikan Freeport
hentikan Newmon
hentikan Kaltim Prima Coal
hentikan Exxon
hentikan Cevron
hentikan Arutmint
hentikan Kideco
hentikan Kitadin
hentikan Nusa Halmahera
hentikan Broken Hill Poperty
hentikan British Petroleum
hentikan…….
hentikan robot-robot investasi yang bernama modal
hentikan …..
tanpabanjir
tanpa longsor
tanpa krisis pangan
tanpa menghilangkan rawa-rawa
tanpa menghilangkan sungai
tanpa menggusur gunung
tanpa merusak hutan
tanpa penindasa hak asasi manusia
hentikan,
hentikan
Mari jabat erat tanganku
Kita satu jalan di planet ini
Keraitan Desember 2011
Puisi
yang dikutipkan di bawah ini merupakan satu-satunya puisi yang berisi hujatan
tidak langsung terhadap penguasa negeri yang ditulis oleh penyair di luar
negara Indonesia, yakni Marsli ON (Malaysia). Ada 4 judul puisi Marsli ON yang
dimuat dalam antologi puisi bersama ini, yakni Maraja Lawak (1), Maharaja Lawak
(2), Maharaja Lawak (3) dan Maharaja Lawak (4). Berikut ini dikutipkan 2 judul
di antaranya.
MAHARAJA LAWAK (1)
OTAKNYA
yang kosong melemparkan kata-kata yang dijalin menjadi cerita. Logikanya
adalah tepok tangan pendengar atau penonton yang selalu dicandui oleh ketawa.
Dengan bohongnya dia memperalatkan peristiwa menjadi hiburan yang benar-benar
ceria. Hatinya yang kelabu dan akalnya yang keliru dibasuh dengan
air popular. Sebelum dirinya dilenyapkan menjadi badut atau monyet di pentas.
November
21, 2011
MAHARAJA
LAWAK (2)
Dia
adalah monyet yang terlalu berlebihkan gembira kerana mendapat barang
mainan dan kostium baru. Pentas adalah dunia keduanya yang lebih dicintai
melebihi segala yang pernah dia cintai sepanjang hidupnya. Kata dia
ucap tanpa dibasuh dengan akal dan fikir. Kawan dan lawan adalah bahan dunia
lawaknya yang tidak pernah susut. Malah berlebihan dibuka celana dan kuncinya
jika muncul kisah lain yang boleh mendatangkan lawak yang penuh dengan
cerca. Dia memang memilih menjadi pelawak dan merelakan akal cerdiknya
bertukar menjadi segumpal kertas yang ringan dan kumal. Atau perasaan
manusianya disunglap menjadi kehendak yang memberhalakan rasa serakah.
Atas nama lawak, segala dia halalkan. Demi gelar dan tawa khalayak yang selalu mencandui hiburan yang nipis dan kosong. Dan bangsanya yang terpaksa menjadi pendengar, merintih perlahan-lahan di dalam kebodohan yang dipaksa mereka menerima.
November 22,
2011.
Kecuali puisi Marsli ON (Malysia) di atas, maka semua puisi lainnya yang dikutipkan atau dibicarakan secara sekilas dalam epilog ini ditulis oleh para penyair Indonesia. Fakta ini bisa jadi berarti bahwa hanya penguasa negeri di Indonesia saja yang bermasalah dalam pandangan para penyair pengisi antologi puisi bersama lima negara di Asia Tenggara ini. Sementara itu para penyair di Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, dan Thailand, tidak merasa perlu menulis puisi yang berisi hujatan terhadap para penguasa di negerinya masing-masing.
Bisa jadi memang tidak ada yang perlu dihujat, karena para penguasa di negeri mereka memerintah dengan adil sesuai dengan aturan main ketatanegaraan yang berlaku di negara mereka. Mereka, para penguasa negeri itu, masih berada di jalur yang benar, tidak menyimpang, tidak lalim, tidak represif dan tidak semena-mena dalam menjalankan pemerintahannya, sehingga tidak perlu dihujat melalui aksi turun ke jalan (demontrasi) atau melalui puisi. Tapi bisa jadi, para penyair di empat negara Asia Tenggara lainnya itu berpikir 7 kali jika harus menulis puisi hujatan bagi para penguasa di negeri mereka, karena risikonya sangat besar, masuk penjara, atau dikucilkan dalam pergaulan social di negaranya masing-masing.
Demikian catatan serba sedikit yang mampu penulis suguhkan ke hadapan khalayak pembaca sekalian. Salah khilap mohon maaf.
Biodata Tajuddin Noor Ganie (TNG)
Tajuddin Noor
Ganie (TNG) (lahir di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 1 Juli 1958; umur 62 tahun) adalah sastrawan dan budayawan Indonesia yang berkonsentrasi pada budaya Banjar.
Sumber foto dan biodata penulis: Wikipedia
0 comments:
Post a Comment