Saturday, December 19, 2020

Abdul Wachid BS, Selain Banyak Menulis Puisi, juga Menulis Cerpen. Berikut Salah Satu Cerpennya



Sudah menjadi rahasia umum seorang Abdul Wachid Bambang Suharto banyak menulis puisi. Meskipun demikian, dirinya juga menulis cerpen. Dilahirkan di Blubuk, Lamongan, Jawa Timur, 7 Oktober 1966, pria ini menamatkan pendidikan SD dan SMP di Pesantren Modern Muhammadiyah Babat, Lamongan. Setelah itu, ia melanjutkan SMA di Yogyakarta. Setamat dari SMA, kuliah di Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto, Yogyakarta (tidak tamat). Kemudian masuk ke Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra UGM hingga lulus. Pada tahun 2004 menyelesaikan pendidikan S2 Ilmu Sastra UGM dan meraih gelar doktor dari Universitas Sebelas Maret Surakarta. Kini mengajar di Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

Nah, berikut salah satu cerpennya berjudul “Suwung” masuk dalam antologi
bersama Perempuan Bermulut Api (2009) dan dimuat pula dalam buku SOSOK-SOSOK INSPIRATIF: ANTOLOGI BIOGRAFI DAN KARYA CERPENIS YOGYAKARTA.


Suwung

Abdul Wachid BS

“MENGAPA harus nonton Kamasutra?” Aku jengah dengan ajakan istriku. Rasanya ini hanya sindiran belaka. Malam demi malam lewat. Tanpa kasmaran. Dingin memahat.

“Aaah, kau pasti suka. Aku perlu hiburan, Mas. Selingan! Dari pada dapur, penganggur, dan kutak-kutek di rumah begini. Ayolah!” Rengeknya manja.

“Kau nanti pasti akan menggelepar usai nonton, Mas. Seperti ikan Mas Koki membutuhkan air. Dan aku akan menjadi airmu. Renangi aku, ya?” Dia tersenyum. Nakal.

Aku membalas senyumnya. Hampa.

***

Malam ke entah dari pulang-balikku sebab kerja di luar kota, aku datang dengan perasaan kelelakian yang bertalu-talu di dada. Kuketuk pintu. Sepi. Tak ada sahutan, selain kunci pintu yang diputar. Lalu, senyap. Ia kembali tidur menghadap tembok.

Aku tahu pasti apa yang telah terjadi. Ia telah berkata lewat napasnya. Penantian ini suatu pengorbanan terbesar dari hidupnya. Hidup perempuan. Maka perempuanlah makhluk yang paling merasa setia menjaga cinta. Di rumah. Segalanya tak ada yang menjamah. Suci. Imut-imut seperti anggur yang baru dipetik.

Orang luaran rumah, sepertiku, tak punya cinta. Cintanya, kata dia, diobral di mana-mana. Seperti sopir truk gandengan, yang jalan malam, yang kerap kusalip di jalanan. Kutengok. Ah! Memang di tengah duduk antara sopir dan kernetnya, ada bidadari.

“Kamu, paling juga begitu!” Ketus istriku. Ya, mungkin saja, mahasiswi-mahasiswi itu sedemikian bodohnya, cuma tertarik dengan seorang dosen. Pegawai negeri sipil. Yang gajinya cuma bisa untuk makan separuh bulan. Selebihnya? Jadi pengamen di seminar-seminar. Atau, kalau aku, jadi “tukang obat” di kelas-kelas yang ditinggalkan dosen senior. Apalagi, ketambahan dengan penelitian Iip Wijayanto yang sensasional itu. Puiih! 95% mahasiswi di Yogya telah ambrol keperawanannya. Istriku kian meradang dengan baca hasil jajak itu.

“Nah, benar kan, kata Bu Inung. Tetangga sebelah itu, suaminya jatuh cinta pada mahasiswinya! Dia itu sudah tua, Mas. Sedang kamu? Masih muda. Thuk-mis pisan. Lengkap toh?”.

Baru aku tahu dari istriku, kalau suami Bu Inung begituan. Kapan hari Bu Rohali juga bilang, suaminya telpon-telponan sama Bu Eva. Waaah. Betapa hebatnya pengaruh berita-berita selebritis di TV itu. Semua orang telah merasa jadi selebritis. Dan, aku, kian meringis. Kelelakian ini berdentum keras. Tapi peluru yang muntah hanya selongsong lepas.

Aku tak habis pikir. Mengapa kasih sayang tanpa bara cinta di malam begini masih ada nyala cahaya. Mungkin saja istriku penggemar berat Erich Fromm. Dalam The Art of Loving, Fromm memang menghibur diri bagi orang-orang yang setia sepertinya. Katanya, kualitas cinta itu tidak ditentukan oleh kualitas seksual.
Sebaliknya, kualitas seks ditentukan oleh kualitas cinta. Seperti makanan yang enak, kalau perasaan lagi nggak ngeh, ya hambar juga.

Bila petasan telah berletusan dari mulut istriku yang mungil itu, ia akan berangkat tidur. Mendengkur. Mungkin kali ini juga begitu? Tapi, tidak! Di sudut ranjang ada setumpuk baju, koper, dan perhiasan. Dia menangis. Aku tak mengerti. Ambyar sudah keinginan yang berloncatan sejak di jalanan tadi. Dari pada bertengkar, aku ke dapur. Di meja, banyak sekali buah-buahan. Rasa lapar berganti mengarah ke lapar perut. Tak ada nasi. Tapi aku makan buah-buahan itu. Sendiri.

***

“Mas. Mas! Eva bilang, Endang punya masalah besar lho!” Ia bersandar di pundakku. Suatu sore yang membetah diri di beranda. Angin tak kedengaran.

“Ada apa?” Buyar lamunanku pada baris sajak Goenawan Mohamad itu. Ia bilang, Bu Endang lagi ramai dengan suaminya. Tapi Endang kalau cerita memang seru. Katanya, pacarnya itu hebat. Sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Endang
bagai pacar ketinggalan perahu. Tidak seperti lelakinya, dirundung ragu.

Aku tertegun. Di beranda angin kedengaran lagi. Tapi, di dadaku jadi gemuruh. Beranda ini memang sepi. Tak cuma di beranda, di rumah ini selalu sepi. Bagaimana tidak? Sepuluh tahun aku dan dia menjadi suami istri. Istriku sarjana ekonomi, yang entah sebab nasib, sulit mencari kerja. Kami kerap berdebat
soal ini. Sebab setianya padaku, ia harus cepat lulus, jadinya nilainya jelek. Dan aku tanpa disalahkan pun, kerap merasa salah sendiri. Aku memang sering merasa bersalah. Bahkan sejak kecil.

Di keluarga sebab anak pertama, aku dituntut serba bisa. Mulai dari memasak, sampai terima tamu. Waktu menginjak remaja, sebab aku pembawaannya banyak omong, banyak teman wanitaku suka. Tapi oleh Bulik dan Paklikku tempat indekos,
diadu-adu ke orang tua di dusun, bahwa aku suka pacaran. Untungnya saat kuliah ketemu dengan istriku. Perempuan ini memang luar biasa. Santun. Tahu tata krama. Bijak. Dan penuh nasihat. Sampai-sampai aku tak tahu, bagaimana cara menasihati seorang istri, tatkala kawan dosen ada yang minta pendapat cara menaklukkan istri. Nasib baikku, aku juga bisa lulus.

“Orang yang bermula dari kata” ini, dan betah di rumah sebab pengangguran terselubung, mendadak berubah menjadi manusia-pergi. Aku senang dengan hiburan baru ini, kerja. Setidaknya dengan begini aku merasa lebih memiliki arti dalam hidup. Istriku yang dulu susah-payah bikin roti dan dititipkan dari toko ke supermarket, kini nyaman di rumah, nonton TV, dan merangkai kembang. Rumah bersih. Dan lampunya terang. Ia yang dulu sangat introvert dengan tetangga. Kini agak nyambung dengan omongan Eva, Titi, Endang. Untung pula aku hidup di
perkampungan yang agak rapat.

“Kok nglamun sih! Mas!” Aku tergagap. Terus-terus, Endang bagaimana ya, tanyaku. Ia melanjutkan, katanya suaminya tahu. Suaminya yang tentara itu harus berhadapan dengan tentara juga? Pacar Bu Endang kan tentara? Seru banget ya, jadinya. Bisa pistol-pistolan!

Aku kelu dengan kata-kata istriku, pistol-pistolan itu.

Tatkala Berita Malam menyiarkan perang Irak-Sekutu Amerika yang penuh ledakan itu, justru aku tiarap. Tak ada ledakan di sini. Selain bersipunggung. Dan dengkur. Sedang aku bangga dan bersyukur, memiliki istri yang meledak-ledak, sekaligus
tidak menuntut. Bijak. Tapi, aku, lelaki.

***

Buah-buahan yang tadi malam kumakan, ternyata menyisakan sakit perut yang berkepanjangan bagiku. Sehingga tengah malam aku bangun, menuju kamar kecil. Tatkala pintu kamar kecil kubuka, istriku ternyata ada di dalamnya. Terperanjat. Ia
sedang menenteng gelas dengan tangan kanannya, berisi seperti teh. Tapi bukan teh kukira. Dan di tangan kirinya ada yang membuat jantungku berdentum. Mau lepas.

Tapi? Aku lelaki. Mendadak aku kian berdebar merindu Kamasutra. Kembali ingin bercinta di bangunan seperti kuil tua, bersama reinkarnasi kekasihku. Bidadari sepiku.

Kedaulatan Rakyat, 6 Juli 2003

Sumber tulisan: Buku SOSOK-SOSOK INSPIRATIF: ANTOLOGI BIOGRAFI DAN KARYA CERPENIS YOGYAKARTA

Sumber foto: pps.iainpurwokerto

0 comments: