Berenang
dalam lautan puisi yang ditulis lebih dari seratus penyair dari lima negara
merupakan hal yang menyenangkan. Namun untuk menulis pengantar yang akan
menyelami makna dari sekian ratus puisi, bukanlah hal yang mudah. Meskipun
puisi merupakan kebajikan rohani yang menakik-nakik perasaan, mengurai arti dan
maknanya yang terdalam dari inti perasaan dan pemikiran bukanlah pekerjaan yang
gampang. Untuk itu dibutuhkan pembacaan yang berulang-ulang secara mendalam,
dengan penikmatan yang menyendiri, sehingga mampu ditemukan dan dipetik makna utuhnya sebagai sajak.
Sebagaimana dikatakan penyair Acep
Zamzam Noor, kata-kata puisi mengandung kerumitan¹ yang didasari oleh
pengalaman yang ditulis dalam puisi berlapis-lapis. Dengan demikian, pembacaan
harus mampu membuka lapisan-lapisan itu sampai ditemukan inti sajak dari
berbagai pelapisan yang menjadi bahan yang diikat satu dengan lainnya.
Pengikatan sajak menggunakan media
bahasa yang tidak saja bersifat diskursif dengan menyajikan kata-kata objektif
dengan objektivasi komunikasi verbal. Bahasa puisi berbeda dari bahasa prosa
yang bersifat denotatif, puisi menggunakan konotasi kata sehingga bahasa
menempati posisinya sebagai bahasa imajinatif. Dengan demikian kerumitan
dimulai ketika penyair menempatkan kata bukan hanya sebagai media komunikasi,
tetapi sebagai media kreasi. Kata-kata yang ditempatkan di dalam sajak bersifat
kreatif, sehingga menghasilkan pilihan yang membuahkan makna sejati dan agung.
Membaca puisi dari para penyair seperti A Amin Jamaluddin (Brunei Darusslam); Abdillah SM (Malaysia); Abdul Karim Amar (Indonesia); Abdul Salam HS (Indonesia); Abdul Rani (Indonesia); Abdul Razak Othman (Malaysia); Abdullah Awang (Malaysia); Abu Rahmad (Indonesia); Ach Nurcholis Majid (Indonesia); Adella Azizah MP (Indonesia); Ahmad MD Tahir (Singapura); Ahmad S. Zahari (Indonesia); Ahmad Wayang (Indonesia); Agni Kasmaranwati (Indonesia); Andi Wahyu/Andi Magadhon (Indonesia); Asmira Suhadis (Malaysia); Akhmad Zailani (Indonesia); Arsyad Indradi (Indonesia); Ali Syamsudin Arsi (Indonesia); Alya Salaisha (Indonesia); Azridah Ps Abadi (Malaysia); Azmi Taib (Malaysia); Dee Dyantry (Indonesia); Desinta Sy. Mahadewi (Indonesia); Dian Hartati (Indonesia); Dianna Firefly (Indonesia); Dina Kurniawati/Addien Sjafar Qurnia (Indonesia); Dinda Az-Zahra (Indonesia); dan Dimas Arika Miharja (Indonesia) yang hanya sebagian kecil penulis kenal, selebihnya merupakan nama-nama asing yang membutuhkan penyelaman secara serius untuk mengenal bahasa mereka.
Di antara nama yang penulis kenal ialah Agni Kasmaranwati, Arsyad Indradi, Dian Hartati, dan Dimas Arika Miharja. Nama yang terakhir ini sebenarnya nama pena Prof.Dr. Sudaryono, penyair birokrat yang bermastautin di Jambi. Beberapa tahun lalu penulis pernah diminta menulis pengantar kumpulan puisinya yang sebagiannya disertakan dalam buku Antologi Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia. Penyair ini menemukan bahasanya secara bersih, tanpa menanam kerumitan yang berseluk-belik, akan tetapi menulis secara lebih cerah di dalam sintaksis yang bermuatan isi yang intim dan renyah.
Sajak adalah inti bahasa. Itu
sebabnya para pemikir bahasa dan para penulis puisi sering merumuskan bahwa
puisi harus ditulis dengan bahasa yang efektif. Efektivitas bahasa, kata, dan
kalimat puitik yang khas efektif itu akan membuahkan tafsiran yang kaya. Letak
kekayaan tafsiran itu membuahkan makna tertentu yang pada ahirnya memgbuat
karya puisi itu jadi bersifat polyinterpratable
dalam menentukan makna isinya secara sastrawi.
Sebagai inti bahasa, sajak selalu
membuahkan persepsi dan penggambaran yang konkret. Dalam tataran tertentu,
sastra atau puisi, atau karya estetis tertentu selalu berupaya mengonkritkan
yang abstrak. Menurut Dr. Theo Huubers dalam bukunya Manusia Merenungkan Dirinya² memperlihatkan bahwa eksistensi berkaitan
dengan (1) persepsi mengenai objek jasmani dalam keadaan hadir dan penggambaran
mengenai objek jasmani dalam keadaan hadir (Dasein).
Dalam penggambaran objek real direpresentasi, dan karena direpresentasi hanya
muncul menurut sifat-sifatnya (Sosein).
(2) Objek persepsi lebih lengkap daripada gambaran. Dalam gambaran banyak data
yang ada dalam objak persepsi sudah hilang. (3) Objek persepsi dalam ruang yang
objektif, gambaran dalam ruang bayangan. (4) Dalam persepsi objek dapat diamati
selama beberapa waktu, sedangkan gambaran biasanya sulit ditahan. (5) Objek
persepsi tidak dapat dipanggil kembali sebagai objek persepsi, gambaran dapat
dibayangkan kembali. Dan, sebagaimana puisi-puisi yang diinginkan panitia
adalah puisi-puisi protes, hasilnya apa yang dicapai oleh para penyair dengan
persepsi dan pengamatan masing-masing yang kemudian ditulis dalam puisi yang
disertakan dalam buku ini, Menurut Naga Pamungkas, ada sejumlah puisi yang
harus disisihkan karena menggunakan kata-kata verbal yang terlalu kasar dan
profan. Namun para penyair El Adriani (Indonesia); ES Pernyata (Indonesia);
Fajar Sidik (Indonesia); Fanny Ys (Indonesia); Fikrah Syailah Adam
(Indonesia); Grasia Renata Lingga (Indonesia); Gabriel Kimjuan
(Malaysia); Hadi Mulyadi (Indonesia); Hanna Fransisca/Zhu Yong Xia (Indonesia);
Hasyuda
Abadi (Malaysia); Hesti Daisy (Indonesia); Heri
Sucipto (Kaltim-Indonesia); Herman
Mutiara (Singapura); Ibnu HS (Indonesia); Indah DP
(Indonesia); Idrisboi Boiboi (Malaysia); Isbedy Setiawan ZS (Indonesia); Jaya
Ramba (Malaysia); Kahar Al Bahri (Indonesia); Kamaria
Bte Buang (Singapura); Kamal Ishak (Malaysia); Khairul Arifin Angwa (Indonesia); Kony
Fahran (Indonesia); Korrie Layun Rampan (Indonesia); Kiki Rukiana (Indonesia);
Ladin Nuawi (Malaysia); Lailatul Kiptiyah (Indonesia); Lauh Sutan Kusnandar
(Indonesia); Mahmud Jauhari Ali (Indonesia); Mahabbah El-Ahmady (Indonesia); M
Abd Rahim (Indonesia); Mawar Marzuki (Malaysia); Marsli NO
(Malaysia); Maya
Brunei (Brunei Darussalam); Meidi Chandra (Indonesia); Mening (Indonesia); Muhammad Nurfarhan Hamzah (Malaysia); Muhammad Isaac Briant (Indonesia); Mohd Isa Abd Razak (Malaysia); Nadirah
Junior (Malaysia); N Athirah Al-Labuani (Malaysia); Nano L Basuki (Indonesia);
dan Nassury Ibrahim (Malaysia) telah
menemukan bahasa yang pas sehingga imajinansi kreatif dan suara-suara miris
maupun suara-suara yang melengking tinggi dari
mereka terwakili di dalam antologi yang cukup tebal ini.
Sebagaimana filsafat sebagai ibu ilmu
pengetahuan, maka puisi merupakan ibu sastra. Sebagai ibu puisi melahirkan
sastra dari imajinasi murni sebuah lihatan pengalaman fisik dan batin. Itu
sebabnya penyair Radhar Panca Dahana mengatakan di dalam menulis sastra dan
menjalani hidup sebagai sastrawan dibutuhkan integritas³ Sebagaimana integritas
adalah suatu sikap dan kemauan yang secara moral menegakkan harga diri. Sastra,
sebagaimana diamini bersama adalah karya estetik yang membawa sastrawan pada
dunia pengakuan. Penyair Indonesia seperti Chairil Anwar, Amir Hamzah, Rendra,
Subagio Sastrowardoyo, Sitor Situmorang, Afrizal Malna, Emha Ainun Nadjib, Gus
tf Sakai, Jamal D. Rahman. Agus R. Sarjono, Cecep Syamsul Hari, Ajamuddin
Tifani, Jamal T. Suryanata, dan lain-lain telah menegakkan integritas
kepenyairan, sehingga eksistensi mereka dapat ditakar dalam integritas
kesastrawanan.
Secara tematik, seperti dikatakan di atas, kumpulan ini pada awalnya hendak menghimpun karya puisi dengan tema perlawanan. Namun dalam perjalanan pengumpulan sajak, tema itu tak dapat dipertahankan, karena para penyair lebih ingin bebas menyatakan ide-ide jenial mereka. Maka disatukanlah tema-tema umum dan tema protes sosial di dalam antologi ini. Berkumpullah para penyair dari lima negara: Nenny Makmun (Indonesia); Nia Samsihono (Indonesia); Nina Rahayu Nadea (Indonesia); Norman Mohd Yusoff (Malaysia); Norgadis Labuan (Malaysia); Norjannah MA (Malaysia); Novy Noorhayati Syahfida (Indonesia); Nur Amanah (Indonesia); Nurfirman AS (Indonesia); Phaosan Jehwae (Thailand); Poul Nanggang (Malaysia); Praja Rahman (Indonesia); R Hamzah Dua (Malaysia); Rabeah Mohd Ali (Malaysia); Rama Putu Barata (Indonesia); Ramlee Jalimin Jainin (Malaysia); Ramli Jusoh (Malaysia); Ratna Dewi (Indonesia); Rahmat Ansyarif (Indonesia); Rahmat Heldy (Indonesia); Ramli Jusoh (Malaysia); Redia Yosianto (Indonesia); Remmy Novaris DM (Indonesia); Rezqie Hidayatullah (Indonesia); Roma DP (Indonesia); Rosnani Ahmad (Malaysia); Rosmiaty Shaari (Malaysia); Rita Asfiani/Fia Pradita (Indonesia); Rizky Mula Saputra (Indonesia); Rubiah Dullah (Malaysia-); Sabahuddin Senin (Malaysia); Sabrina WS (Indonesia); Saifun Arif Kojeh (Indonesia); Santi Nurmayanti (Indonesia); Sani La Bise (Malaysia); Suhana Bt. Sarkawi (Malaysia); Sukron Jayadi (Indonesia); Sulthan ARP (Indonesia); Indonesia); Sofyan Rh Zaid (Indonesia); Sunthi Fatimah (Indonesia); Taufik Walhidayat (Indonesia); Tajuddin Noor Ganie (Indonesia); Ummi Husnah (Indonesia); Usup Supriyadi (Indonesia); Utomo Priyambodo (Indonesia); Wahyu Yudi (Indonesia); Wahyu Wibowo (Indonesia); Zabidin Hj Ismail (Malaysia); Zani El Kayong (Indonesia); Zurinah Hassan (Malaysia); dan Zainal Abas (Malaysia) yang menyatakan di dalam pengucapan konkret mereka. Sajak-sajak yang terkumpul dari sekian banyak penyair ini berusaha menyampaikan berbagai ragam pemikiran kreatif yang dituangkan di dalam aneka ragam pengucapan yang sangat variatif.
Ini semuanya merupakan suara rakyat, suara bangsa. Dari sini, sesungguhnya, kalau ingin dibuat kajian model bahasa, struktur pikiran, atau struktur tema, kajian itu akan menghasilkan puluhan buku. Namun pengantar ini tidak akan membahas sajak-sajak itu satu per satu, karena mengingat ruang yang terbatas. Jika saja diadakan kajian struktuaralisme atau kajian semiotika—atau lainnya—antologi ini akan memberi materi yang amat kaya.
Untuk itu semua, penulis hanya
mengucapkan selamat membaca. Semoga antologi ini memberi sumbangsih yang
bermanfaat untuk masyarakat sastra, sastrawan, dan penyair dari 5 negara. Saya berharap semoga
antologi ini dilanjutkan dengan antologi-antologi berikutnya, baik antologi esai,
puisi, cerpen, fragmen novel, dan fragmen drama.
Samarinda, 29 Juli 2012
KORRIE LAYUN RAMPAN
Catatan:
¹Acep
Zamzam Noor, Puisi dan Bulu Kuduk, 2011,
Bandung: Nuansa, hlm. 21
²Penerbit
Kanisius, cetakan ke-4, Yogyakarta, 1996, hlm. 91.
³ Dalam Sebotol Coklat Cair, 2008, Jakarta: Koekoesan, hlm.45.
Biodata Korrie Layun Rampan
Korrie Layun Rampan (lahir di Samarinda, Kalimantan Timur, 17 Agustus 1953 –meninggal 19 November 2015 pada umur 62 tahun) adalah
seorang sastrawan berkebangsaan Indonesia. Korrie merupakan pencetus penyusun buku Sastrawan
Angkatan 2000 terbitan Gramedia Pustaka Utama yang memuat lebih dari seratus
sastrawan, terdiri dari penyair, cerpenis, novelis, esais, dan kritikus sastra.
Beberapa nama besar yang masuk dalam angkatan tersebut antara lain Afrizal Malna, Ahmadun Yosi Herfanda, Seno Gumira Ajidarma, Ayu Utami, Dorothea Rosa Herliany..
Sumber foto dan biodata penulis: Wikipedia
0 comments:
Post a Comment