Saturday, December 12, 2020

Jumri Obeng, Sastrawan Indonesia Asal Borneo yang Pernah Berkiprah dalam Sastra di Jakarta


Jumri Obeng lahir pada tanggal 9 Desember 1945 di Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara. Sastrawan, yang juga dikenal sebagai pengarang yang kerap mengangkat kehidupan masyarakat Dayak tersebut, mempunyai perjalanan karir yang sangat panjang. Sejak kecil Jumri memiliki hobi membaca buku-buku sastra, seperti karya Ernest Hemingway, Allan Poe, William Shakespeare, dan ratusan buku sastra lainnya. Ia menulis cerpen sejak kelas VI SD (pada saat itu bernama Sekolah Rakyat). Bekal berkeseniannya didapat dari bangku kuliah di Akademi Teater Solo.

Pada tahun 1964 Jumri Obeng sibuk di berbagai pementasan panggung sandiwara di Badan Musyawarah Kesenian Nasional (BMKN) Samarinda sebagai pemain. Sandiwara yang pernah dipentaskannya adalah "Lingkaran Setan", "Darah Mengalir di Sungai Ngayau", "Semuanya Bukan Penyelewengan", dan sejumlah sandiwara lainnya. Jumri memfokuskan diri dalam dunia teater karena ia ingin menggali unsur-unsur seni tradisi sebagai bentuk penyajian. Berdasarkan hal tersebut, ia membuat naskah panggung berjudul "Mamanda Urakan" bersama dengan Sattar Miskan. Naskah tersebut dipentaskan oleh para seniman Samarinda pada September 1996.

Jumri Obeng memutuskan untuk melanjutkan kariernya di Jakarta karena merasa kehidupan bersastra di Samarinda tidak memberikan masa depan yang cerah baginya. Di Jakarta ia bergabung dengan para seniman dan sastrawan di Taman Ismail Marzuki (TIM). Ia mulai menulis, membuat karya sastra, dan mengirimnya ke berbagai media massa hingga akhirnya menjadi wartawan magang di sejumlah media massa ibukota. Akan tetapi, perjuangannya di Jakarta masih belum membuahkan hasil yang memuaskan. Jumri memutuskan untuk kembali ke Samarinda.

Di kota asalnya, Jumri kembali membangun kariernya dalam bersastra sebagai bukti pengabdian kepada bumi kelahirannya. Langkah awal yang ia lakukan adalah mengirim cerita pendek dan cerita bersambung. Beberapa cerita yang pernah ia kirimkan, antara lain, adalah cerita bersambung "Kuyang" dan "Laila Manis Jembatan Mahakam" ke harian Manuntung. Jumri juga menyelesaikan buku Merah Putih di Langit Sanga-Sanga yang berisi profil Sanga-Sanga sebagai kawasan bersejarah, termasuk kisah pertempuran Merah Putih. Terakhir, Jumri Obeng menggarap biografi dua tokoh penting pada masa itu, yaitu H.M. Ardans, S.H. (Gubenur Kalimantan Timur) dan Jenderal TNI Faisal Tanjung (Panglima ABRI). Di tengah penggarapan biografi tersebutlah Jumri Obeng tutup usia.

Sebagai bukti hasil kerja keras Jumri di dunia sastra, tidak kurang dari empat puluh judul buku telah diterbitkan oleh berbagI penerbit di Jawa dan Sumatera. Jumlah tersebut belum termasuk ratusan cerpen dan esai yang tersebar di koran dan majalah di seluruh Indonesia. Beberapa karyanya pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis dan Malaysia. Jumri juga telah mengumpulkan sejumlah tradisi lisan berupa puisi lama dan mantra-mantra dari berbagai suku di Kalimantan Timur, antara lain, adalah tarsul (bentuk tradisi lisan masyarakat Kutai yang berupa seni berbalas pantun).

Jumri Obeng pernah bercita-cita membentuk Institut Kesenian Kalimantan Timur yang rencananya akan dibangun di Tenggarong. la juga berkeinginan membangun Pusat Dokumentasi yang berisi data dan karya sastrawan daerah serta sastra lama yang sebagian besar berisi mantra dan doa yang dimiliki oleh berbagai suku di Kalimantan Timur. Selain itu, ia juga bercita-cita membangun Pondok Seni, mengadakan Seminar Lamut, dan sejumlah keinginan lainnya. Berikut salah satu puisi karya Jumri yang termuat dalam buku Apa Kata Mereka Tentang 3 yang Tidak Masuk Hitungan (Budaya, 1975).

JANGAN MERINTIH
Karya Jumri Obeng

Jangan merintih.
meski hati semakin luka
nanti dunia semakin tua
ini gendang
palu
karena merintih
adalah kali yang tak bermuara
sia-sia

Penulis buku Ensiklopedia Wanita Indonesia setebal 200 halaman tersebut juga pernah menggelar sebuah forum seminar tentang eksistensi Hantu Suluh yang cukup memberikan kenangan dan nuansa monumental tersendiri bagi warga Tenggarong. Ketekunan Jumri Obeng melacak kekayaan budaya di pedalaman Mahakam sempat membuahkan beberapa buku serta sebuah lukisan. Lukisan itu tentang tempat kelahiran seorang putra Long Iram, Kutai Barat yang pernah menjabat sebagai Menteri Transmigrasi, yakni Ir. Siswono Yudhohusodo.

Kiprah Jumri Obeng dalam dunia sastra sudah mencapai tingkat nasional dan nama Jumri Obeng pun sudah diakui oleh Pamusuk Eneste sebagai salah seorang sastrawan Indonesia dalam buku LeksikonKesusastraan Indonesia.

Sumber: buku Biografi Pengarang Kalimantan Timur

0 comments: