Wednesday, December 9, 2020

Iman Budhi Santosa (IBS), Sosok Inspiratif Sastra Indonesia



(Sebelumnya dimuat dalam buku Sosok-Sosok Inspiratif: Antologi Biografi dan Karya Cerpenis Yogyakarta)

Lahir pada hari Minggu Kliwon, tanggal 28 Maret 1948, di desa Kauman, Magetan, Jawa Timur. Agama yang dianut adalah Islam. 

IBS merasa soliter dalam hidup sehingga dianggap bahwa hidupnya sebagai “Dunia Semata Wayang”. IBS “kecil” tidak merasakan masa kanak-kanak sebagai masa bahagia atau penuh kenangan. Kakek yang pensiunan kepala
Sekolah Rakyat zaman Belanda dan ibunya yang menginginkan anak satu-satunya itu sukses, justru “menghukum” dengan cambuk “harus menjadi pandai”. 

Ketika anak seusianya riang bermain bola di alun-alun, IBS diharuskan ikut kursus mengetik (kegiatan yang tidak lazim untuk anak seusianya di masa itu). Tak heran, jika hingga kini kerapian dan keruntutan hasil ketikannya tidak jauh berbeda dengan desain grafis hasil komputer.

IBS mulai belajar menulis dan membaca secara formal di Sekolah Rakyat di Magetan, Jawa Timur, lulus pada tahun 1960. Selanjutnya belajar di SMP/SLTP di Magetan, lulus pada tahun 1963. Berkenaan orang tuanya pindah ke Yogyakarta, maka IBS ikut ke Yogyakarta. IBS melanjutkan belajar di Sekolah Menengah Kejuruan Yayasan Dana Pendidikan Perkebunan Muja-Muju 52 (SMK YDPP MM 52) di Jalan Kenari 65 Yogyakarta selama empat tahun dan lulus tahun 1968. 

Dalam usia 23 tahun, September 1971, IBS meminang gadis dari wilayah Purworejo bernama Sri Maryati.Pasangan IBS dengan Sri Maryati dikaruniai 4 anak, yaitu (1) Wisang Prangwadani, (2) Pawang Surya Kencana, (3) Risang Rahjati Prabowo, dan (4) Ratnasari Devi Kundari. 

IBS memulai karier pada tahun 1971, bekerja di lereng Gunung Ungaran, menjadi sinder perkebunan teh Medini sampai tahun 1975. Selanjutnya bekerja di pabrik gula Cipiring, Kendal, Semarang, Jawa Tengah. Belum ada tiga bulan, IBS pindah ke Dinas Perkebunan.

Sewaktu bekerja di Dinas Perkebunan Provinsi Dati I Jawa Tengah, ia mendapatkan kesempatan melanjutkan studi ke Akademi Farming, Semarang dan lulus pada tahun 1983.

Berikut cerpen pilihan karya IBS:

Kurban
Iman Budhi Santosa

KOMAR memang baru insyaf. Baru dalam sebulan ini dia jadi rajin bolak-balik shalat di masjid. Sebelumnya, ia lebih terkenal sebagai tukang mabuk dan gemar berjudi.

Karena itulah, banyak orang yang ragu tatkala ia ditunjuk oleh Ustaz Jamal menjadi penanggung jawab kurban. Ustaz Jamal adalah orang yang paling senang mengetahui Komar memutuskan berhenti dari kebiasaan buruknya. Terlebih kemudian, Komar jadi aktif terlibat dalam kegiatan masjid. Ia sering menyapu masjid setiap Hari Jumat. Ia juga dengan sukarela menawarkan diri menjadi penanggung jawab kurban untuk Lebaran Haji nanti.

“Kita beri kesempatan kepada orang yang mau bertaubat! Allah saja Maha Pengampun, apalagi kita yang cuma manusia,” begitu biasanya Ustaz Jamal menjawab orang-orang yang mempertanyakan penunjukan Komar sebagai penanggung jawab kurban.

Tapi, bukan satu-dua orang saja yang meragukan Komar. Bisa dibilang hampir dua per tiga dari penduduk kampung ini sama sekali tidak percaya dengan insyafnya Komar. Maklum, track record-nya sangat buruk.

Dahulu saat ada dana bantuan dari pemerintah kabupaten untuk membuat tanggul dan saluran irigasi ke daerah persawahan, penduduk kampung mempercayakan proyek tersebut kepada Komar yang mengaku mempunyai banyak kenalan kontraktor di kota. Ia malah berjanji jika ia yang mengelolanya, dana itu bisa dihemat dan biaya lebihnya akan dibelikan kubah untuk masjid kampung yang sejak berdiri memang tidak berkubah.

Hasilnya, masjid kini memang telah memiliki sebuah kubah kecil sederhana. Tetapi, tanggul dan saluran irigasi sama sekali tidak pernah dibangun. Uang itu raib entah ke mana. Hilang
tanpa pertanggungjawaban.

Komar sendiri bukan tidak mendengar suara miring tentang dirinya. Istrinya malah marah-marah waktu tahu Komar menawarkan diri menjadi panitia kurban.

“Kau cari penyakit saja!” Istrinya tidak meragukan insyafnya Komar. Ia tahu suaminya itu sudah mendapat hidayah dan sudah
membulatkan tekad untuk tidak mengulangi sifat buruknya, mabuk dan berjudi. Tapi, ia juga tahu bahwa banyak orang yang masih tidak percaya Komar insyaf. Ada saja suara miring yang bilang bahwa Komar pura-pura insyaf biar bisa menjadi panitia kurban, kemudian menjual hewan kurban itu, dan melarikan uangnya. Mendengar omongan seperti ini, istri Komar hanya bisa menebalkan kuping sambil merutuki kebodohan suaminya yang nekat menawarkan diri menjadi penanggung jawab pelaksanaan kurban.

“Kalau untuk kebaikan, bukannya kita harus berlomba-lomba?”

“Itu kalau orang lain, kalau kau harus beda. Kau itu bekas penjahat!” ucap istrinya tanpa tedeng aling-aling lagi. Komar tidak tersinggung. Memang semenjak bertobat, ia jadi semakin
sabar dan tidak cepat marah.

“Sudahlah, yang penting kan aku menyelesaikan amanah ini dengan baik. Setelah itu, orang-orang pun akan percaya kalau aku sudah bertobat.”

Istri Komar setuju juga. Jika berhasil, tentu orang-orang akan percaya bahwa suaminya itu benar-benar sudah bertobat.

***

Dua ekor sapi dan seekor kambing. Itulah yang didapat untuk kurban tahun ini. Sedikit lebih banyak dibanding tahun sebelumnya yang hanya seekor sapi dan empat ekor kambing.

Artinya, ada peningkatan ekonomi di kalangan warga kampung. Beberapa nama baru muncul di antara orang-orang yang berkurban. Narti, misalnya. Dia baru pulang menjadi TKW dari
Arab Saudi. Ia ikut berkurban satu dari tujuh bagian seekor sapi. Begitu pun Pak Udin. Anaknya ikut berkurban atas nama Pak
Udin. Konon anaknya kini sudah mendapat pekerjaan yang mapan di kota.

Ketiga ekor hewan kurban itu ditambatkan di tanah kosong di belakang rumah Komar. Karena ia yang menjadi penanggung jawab hewan kurban itu, maka setiap hari ia mempunyai kewajiban memberi makanan untuk ketiga ekor sapi itu. Komar memang bukan seorang penggembala. Tapi, setidaknya ia tahu bahwa sapi dan kambing makannya rumput dan tanaman. Namun, Komar tidak tahu bahwa ternyata tidak semua rumput mau dimakan oleh sapi dan tidak semua tanaman boleh dimakan oleh kambing.

Malapetaka pun menghampiri rumah Komar. Subuh itu, tinggal tiga hari menjelang Idul Adha. Betapa kagetnya Komar ketika menemukan hewan kurban yang berada di bawah penjagaannya hanya bersisa dua ekor sapi. Seekor kambing lagi sudah tergeletak tidak bergerak di salah satu sudut pekarangan.

“Ibu!!!” Komar memanggil istrinya dengan kepanikan luar biasa.

Agak tergopoh istrinya muncul dari pintu dapur. “Ada apa? Pagi-pagi sudah teriak-teriak!”

“Ini… ini…!” Komar tidak sanggup menjelaskan. Hanya menunjuk-nunjuk pada kambing yang sudah mati di depannya.

“Masya Allah! Bapak apakan kambingnya?”

“Mana aku apa-apain. Begitu aku keluar dia sudah kayak gini.”

Suami-istri itu memeriksa keadaan kambing. Tidak ada tanda-tanda luka luar.

“Kau salah kasih makan kali?”

“Aku hanya kasih makan daun ubi ini,” Komar mengacungkan daun-daun ubi yang ia kumpulkan kemarin sore.

“Sekarang bagaimana?” tanya istrinya.

Komar tidak tahu mau menjawab apa. Wajahnya pucat. Keringat dingin tiba-tiba memenuhi keningnya, padahal udara pagi
yang berembun masih terasa dingin.

“Kita harus menggantinya, Bu!” jawab Komar.

Istrinya melotot. “Uang dari mana?”

“Tapi, aku tidak bisa bilang kalau kambing ini mati. Aku pasti akan dituduh menjual kambing ini!”

“Cerita yang jujur ke Ustaz Jamal! Beliau pasti mengerti.”

Tadinya Komar sempat hampir setuju dengan usulan tersebut. Tapi, buru-buru ia berubah pikiran. “Tidak bisa! Ini pertama kalinya aku diberi amanah sama Ustaz Jamal. Aku bisa dianggap orang yang tidak amanah oleh Ustaz Jamal.”

“Lalu, bagaimana?”

Komar cuma diam.

***

Entah bagaimana ceritanya, soal kambing yang hilang itu menyebar dengan sangat cepat. Ada saja yang tahu bahwa kambing yang seharusnya masih ada di belakang rumah Komar itu sudah tidak ada lagi. Padahal, baik ia maupun istrinya tidak pernah bercerita kepada siapa pun.

Pagi itu juga, Komar pergi ke pasar. Ia tahu dengan berbekal uang tiga ratus lima puluh ribu hasil tabungan istrinya, mustahil
ia bisa mendapatkan pengganti sepadan untuk kambing yang hilang itu. Tapi, tetap saja Komar pergi ke pasar di kecamatan, menanyakan harga-harga kambing kepada hampir semua penjual kambing di pasar itu.

“Bagaimana?” tanya istri Komar begitu suaminya masuk ke dalam rumah sepulang dari pasar.

Komar tampak lesu. Istrinya nyaris bisa menebak apa yang terjadi, namun tetap juga ia menunggu jawaban dari bibir suaminya itu.

Komar tidak menjawab. Ia mengeluarkan uang istrinya yang masih utuh tidak bergerak. Istrinya menarik napas berat.

“Lapor saja ke Ustaz Jamal! Bicara sejujur-jujurnya,” ujar istri Komar pelan.

Entah Komar mendengar atau tidak. Ia malah ngeloyor masuk kamar tidur dan mengunci pintu.

***

Ustaz Jamal belum lama pulang dari rumah Komar ketika pintu rumahnya digedor keras. Ia tidak berhasil bertemu Komar. Menurut istrinya, Komar memang mengurung diri di rumah dua hari ini. Namun, setelah shalat Maghrib tadi, Komar pergi entah ke mana. Tadinya, istrinya mengira Komar pergi menemui Ustaz Jamal.

Istri Komar juga menceritakan perihal kambing yang hilang itu. Ustaz Jamal menyayangkan Komar yang tidak menceritakan
masalah tersebut kepadanya.

“Dia takut dianggap tidak amanah sama Ustaz dan warga,” begitu istri Komar memberi alasan.

Ustaz Jamal bergegas menuju pintu depan rumahnya yang terus digedor. Terdengar suara laki-laki yang memanggil namanya.

“Waalaikumsalam, ada apa?” ujar Ustaz Jamal saat membuka pintu dan menemui tiga orang warga yang biasa ikut shalat berjamaah di masjid kampung.

Napas ketiganya turun naik. Bajunya penuh peluh. Mereka tampak tergesa sekali. Tentu ada sesuatu yang penting dan darurat.

“Ko… Komar! Dia di menara masjid,” ujar salah seorang warga dengan napasnya yang tersengal.

“Dia loncat!” tambah yang lainnya.

“Jadi kambing,” tambah orang yang pertama tadi lagi.

“Pelan, pelan, tarik napas dulu, setelah itu baru cerita!” ujar Ustaz Jamal.

Ketiganya berusaha mengatur napas sebelum kembali mulai bercerita.

“Begini Ustaz, si Komar sudah ditemukan di menara masjid.”

“Baguslah kalau begitu. Suruhlah dia ketemu dengan ana. Katakan itu bukan salahnya,” kata Ustaz Jamal.

“Terlambat Ustaz, Komar sudah telanjur melompat.”

“Innalillah,” Ustaz Komar terperanjat mendengarnya.

“Kata Komar, selama dua hari ini ia sudah berdoa agar Allah menolongnya dari masalah kambing yang hilang itu. Dan, tadi
sore, ia bermimpi bahwa Allah menyuruhnya loncat dari menara masjid,” tambah bapak lain yang dari awal hanya diam.

Ustaz Jamal geleng-geleng kepala. Ia hanya bisa membayangkan betapa frustrasinya Komar hingga bisa berpikir seperti itu, kemudian nekat bunuh diri.

“Lalu, bagaimana kondisinya?”

Ketiga bapak-bapak itu saling pandang.

“Jadi kambing, Ustaz.”

“Apa?” wajah Ustaz Jamal penuh tanda tanya. Alisnya bertaut. Sama sekali tidak mengerti dengan apa yang baru saja ia dengar.

“Komar meloncat dari menara mesjid, namun tiba-tiba dia berubah jadi kambing. Seperti cerita Nabi Ismail.”

“Jadi kambing?” Ustaz Jamal ternganga, tak percaya.

Di luar malam hening. Hanya ada sayup-sayup suara takbir dari dusun-dusun sebelah. Malam itu, di desa ini takbir tak nyaring berkumandang. Orang-orang sedang sibuk membicarakan Komar yang berubah jadi kambing.

Republika, 14 Oktober 2012

Sumber foto: Facebook


0 comments: