Monday, December 28, 2020

Pembahasan Orang-Orang yang Kenes


Asrul Sani


MENULIS tentang kesusastraan, ialah menulis perihal derita, kegembiraan, kepahitan, dan kemanisan yang telah dialami, pengalaman yang telah jadi kesadaran dan kemudian beroleh bentuk dalam kata yang membentuk kalimat dan kalimat yang menjadikan karangan. Tiada yang dapat mengingkari bahwa kesusastraan dan kata adalah kulit dan manusia. Kita tiada akan dapat menulis tentang kesusastraan jika pengarang-pengarang menyelesaikan deritanya dengan sebuah keluh atau ia berurai air mata ataupun mengepalkan tinju.Karena bagaimana murni pun perasaan yang menjadi sumber air mata itu, ia tak akan lebih dari air mata biasa: belum kesusastraan. Setiap puisi terdiri dari kata, kata yang liar dan kasar, kemudian dijinakkan oleh penyair dan dipatuhkannya kepada kehendaknya. 

Dan air mata penyair? Itu adalah urusannya sendiri. Jika baru tinggal pada air mata, publik tiada hak mencampurinya, karena ia hanya sekadar menjalankan kehidupan pribadinya. Air matai itu baru penting jika ia telah jadi puisi atau prosa. Pengarang baru jadi penting kalau ia mengarang. Jika pekerjaan ini tidak ia lakukan, maka tidaklah ia mencampuri kehidupan orang lain dan karena itu, tidak akan kita campuri. Mungkin sekali seorang pengarang adalah manusia yang termasyhur. Tetapi jika selidiki apa sebetulnya arti kemahsyuran seseorang, maka akan nyatalah bahwa ia tidak lebih dari suatu pendapat umum atau suatu kepatuhan umum yang tidak diucapkan terhadap suatu pendapat, suatu zaman zaman, suatu mode. Ada kata lain dekat sekali dengan kata ini, tapi sering orang kacaukan dengannya. Kata itu ialah "penghargaan", dan kata ini lebih lagi bisa dipercayai karena penghargaan terhadap seorang sastrawan adalah soal orang-seorang, dan darinya tak dapat diceraikan sebentar juga hasil pekerjaan pengarang itu, tulisan-tulisannya.

Jika orang menulis perihal kesusastraan, maka orang dapat menulis untuk dua golongan: untuk pengarang, dan untuk orang banyak. Untuk pengarang, karena ia dengan menulis telah mencampuri kehidupan kita. Dan karena itu, kita mau menyatakan kepadanya apakah ia dalam perbuatannya itu telah berlaku sewajarnya. Apakah ia jujur, apakah betul dasar kenyataan yang ia kemukakan dan sebagainya. Kita menentangnya atau menyertainya, karena ia menulis. Yang ditentang dan disertai ialah tulisannya.

Kita menulis untuk orang banyak karena kita mengakui bahwa orang banyak itu penting. Publik ini juga penting bagi seniman yang beranggapan bahwa tujuannya ialah hasil pekerjaannya itu sendiri, atau seniman yang beranggapan seni untuk seni. Sebab sebuah karangan belum lagi mencapai tujuannya jika ia baru berbentuk buku dan belum dibaca. Seperti juga sebuah lukisan belum lagi mencapai tujuannya, jika ia baru berbentuk benda dan belum lagi dilihat. Karena setiap hasil seni mengandung "beban", dan "beban" ini dikandungkan untuk dikeluarkan kembali. Jika dilihat dari sudut ini, maka benarlah bahwa dengan perjuangan yang telah ia lakukan dan ketinggian tingkat kejiwaannya. Watak Awal atau dokter dalam buku Belenggu, atau Raskolnikov atau Josef K. tidak akan beroleh bentuk dan hidup jika pembaca tak dapat mengeluarkannya dari perumusannya.

Pengeluaran isi hasil seni adalah rahmat karena di dalamnya terkandung keterharuan dan kenikmatan. Ia adalah "nafkah" kita waktu membaca buku. Kritik kesusastraan dalam hal ini membenarkan hak hidupnya sebab ia tidak saja menyatakan dan menyebarkan kesusastraan yang telah dibuat itu, tapi lebih-lebih karena ia adalah semacam pasukan-pasukan yang termaju ke depan yang akan membebaskan daerah-daerah baru bagi kita dan dengan demikian mempertinggi nafkah kita waktu membaca hasil kesusastraan. Majalah-majalah kesusastraan baru dapat menghalalkan kehidupannya jika ia mempunyai kecondongan-kecondongan seperti yang dilakukan oleh pasukan-pasukan terkemuka ini. la membantu orang banyak membentuk kesusateraan.

Tetapi, baik kita menulis bagi golongan pertama, baik bagi golongan kedua, selamanya yang menjadi pokok pangkal ialah vang telah dituliskan. Jadi, kita senantiasa berada di belakang pengarang, karena tiada mungkin dan tiada ada gunanya kita mendahului pengarang dalam membicarakan kesusastraan. Saya mengikatkan segalanya pada kata, kepada yang dituliskan, malahan sampsi saat ini ia saya pentingkan benar. Sebabnya ialah karena dalam kritik kesusastraan kita ada yang terbalik. Seperti juga dalam kehidupan politik, di mana tokoh lebih penting daripada pekerjaan, demikian juga kritik kesusastraan kita (sekiranya itu ada) lebih berpusat kepada pengarang dan tidak kepada karangan. Kalau orang mau membahas kesusateraan, maka yang orang pertengkarkan ialah pengarang dan sering bukan apa yang telah ia karang.

Jika seseorang menyerang pengarang lain, maka umumnya karangannya tidak lebih dari kekenesan dirinya sendiri. Barangkali ia tidak begitu lembut seperti biasa kita temui pada perempuan-perempuan pesolek. Ia mungkin sangat lantang dan keras. Tentu. Karena ia seorang yang "kesusahan", karena ia sedang diterorisir kekenesannya sendiri. Tiada akal yang lebih baik untuk memuaskan keinginan bersolek ini daripada menyerang orang lain dan mencoba menjaga dalam perkelahian ini supaya pakaian sendiri jangan kotor. Orang ini mencoba menyelamatkan diri di balik kelancaran tulisan dan dengan itu mengelakkan permintaan orang kepada alasan. Pertengkaran ini adalah pertengkaran burung merak. Merak yang memakai bulu burung lain karena untuk menyatakan kecantikan dirinya sendiri ia perlu perbandingan. Untuk menyelamatkan diri sendiri diangan-angankannya sifat yang diserangnya, sifat-sifat yang dalam pembicaraannya tidak ia beri alasan.

Hanya dari sudut ini dapat saya lihat tulisan- ulisan Sitor Situmorang yang ia siarkan dalam Mimbar Indonesia (pelbagai surat) dan "Gelanggang" (pelbagai catatan), hanya dari sudut ini dapat saya lihat ucapannya yang mengatakan bahwa Jassin telah berlaku sebagai anak stambul dalam tulisannya "Selamat tinggal tahun 1952". Hanya dari sudut ini dapat saya lihat ucapan Pramoedya Ananta Toer yang mengatakan bahwa para pembicara simposium di Amsterdam adalah pembicara-pembicara salon, hanya dari sini dapat saya lihat jika Jassin pada suatu saat dalam suratnya kepada saya yang kemudian ia siarkan dalam Zenith nomor dua tahun ini bahwa Rivai Apin adalah pengekor Camus. Segala yang mereka katakan itu tiada mereka beri alasan sama sekali, dan jika kita minta kepada mereka untuk mensitir bagian-bagian karangan pengarang-pengarang yang diserang, yang menyebabkan mereka beroleh pendapat seperti yang mereka tuliskan, maka saya kira tiadalah mereka akan dapat mengadakan, Jassin tidak dapat menyatakan karangan mana dari Rivai Apin yang dapat menunjukkan bahwa ia dalam tahun 1953 tidak akan bisa hidup jika tidak ada Camus. Apakah Saudara Situmorang dapat menunjukkan dalam tulisan-tulisan Asrul Sani, bahwa jika ia berbicara tentang keisengan adalah ia membicarakan keisengan dilihat dari sudut memiliki kulkas? Tiada seorang pun yang akan keberatan jika hal itu dituliskan dalam surat pribadi kepada kawan. Di sana berlaku hukum-hukum lain. Tetapi jika surat ini disiarkan, maka sifatnya berubah sudah. Demikan juga halnya dengan surat saya kepada Jassin yang ia siarkan dalam Zenith dengan tak ada persetujuan saya sendiri.

Karangan ini tidak saya maksud untuk menyambut berbagal hal yang dikemukakan oleh Saudara Situmorang atau Ananta Tour atau siapa pun. Saya sebut nama mereka sebagan contoh dari keadaan yang ada dalam kehidupan kesusastraan kita sekarang ini. Permainan kekenesan dengan tak ada alasan ini telah begitu jauh, sehingga tak memperjernih pandangan kita terhadap kesusastraan. Orang barangkali akan mengatakan bahwa ini adalah suatu praktik dari vorm en pent (gencerasi Mennoster Braak di negeri Belanda) yang diperjauh. Tapi biarpun begitu, hal ini cuma bisa berlaku jika pengarang menulis. la didasarkan pada tulisan, tulisan yang menjadi hak milik orang banyak. Jika Dirk Coster tidak menulis, maka du Perron juga tidak akan bicara tentang dia. Kita bicara tentang Chairil Anwar sebab ia menulis sajak. Dalam hubungan sajak-sajaknyalah akan kita cari di mana tempatnya dalam kesusastraan Indonesia, tidak dalam hubungan kehidupannya di Karawang atau Cikampek. Tentu pengetahuan tentang kehidupan yang ia jalankan akan memperjelas beberapa sajak-sajaknya bagi kita. Tapi tidaklah ia berubah tempat karena ia pernah tinggal di sana. Orang selalu mensenyawakan sajak-sajak Chairil dengan seorang revolusioner. Mungkin ia dalam kehidupannya, dalam perjuangannya, tapi dalam sajak-sajaknya ia adalah suatu contoh dari "konsekuensi kebebasan", konsekuensi harus dijalankan setiap orang yang mulai sadar akan harga dirinya, kesadaran yang membawa sertakan kesunyian. Kesunyian disebabkan bebasnya ia dari dan belum bebasnya ia untuk.

Tapi bagaimanapun harga Chairil dalam kesusastraan ialah harga dari sajak-sajaknya sendiri. Tidak usah ikut beramai-ramai ke kuburan Raden Saleh untuk memastikan bahwa ia seorang pencipta bangsanya dan mengganti "Ridder dan sebagainya" dengan "nasionalis". Barangkali ia memang nasionalis dan ia cinta kepada bangsanya. Dalam zaman ini sudah menurut cara-cara kini namanya itu, jika ia disebut pahlawan karena kita perlu pahlawan. Mau tidak mau ia harus jadi pahlawan karena ia sudah mati. Tapi ia pelukis. Atas nama ini ia masuk dalam sejarah. Oleh sebab itu, maka ia baru jadi orang besar jika telah nyata tempatnnya dalam seni lukis kita.

Dalam kesusastraan, orang harus diberi tempat atau dibuang sama sekali karena kegiatan-kegiatan kesusastraannya. Untuk ini kita harus mengemukakan alasan. Baik hal ini kita teliti kembali. Angkatan muda kesusastraan telah menyerang angkatan sebelumnya dengan sejadi-jadinya. Ia masih muda dan karena itu, pengetahuannya tidak cukup banyak. Tetapi ia tahu apa yang ia mau dan apa yang tidak ia suka. Yang ia tidak suka ini, ia kumpulkan dalam beberapa garis besar, dalam beberapa generalisasi, dan sesudah itu ia hanya memusatkan pikirannya kepada apa yang ia maui lagi. Senjatanya bukan alasan, tapi kegiatan. Akhir-akhirnya kesusastraan Indonesia sekarang ini terbiasa dalam kegigihannya ini. Sekarang juga masih gigih, tapi makin lama makin nyata bahwa dengan kegigihan ini saja ia belum lagi dapat melepaskan senjata seterus-terusnya. Orang tidak bisa dianggap angin, mereka punya tempat berdiri di bumi Tuhan ini. Bukan itu saja. Jika tiada lagi yang berani mengingkari kita, maka lucu sekali jika kita masih tinggal gigih. Kita akan kehabisan energi karena mengasyiki diri sendiri. Kita harus gigih dengan alasan-alasan yang lahir dari kenyataan-kenyataan, Pengeritik harus bekerja dengan kenyataan (tulisan atau ucapan yang diperuntukkan bagi umum) dan alasan. Kalau tidak, "percakapan" yang akan berlangsung adalah seperti percakapan berikut ini:

"Saya tahu siapa pengarang terbesar di negeri ini. Si Anu itu tidak penting sama sekali,"

"Siapa pengarang terbesar itu? Mengapa?"

"Ah! Saya segan berbicara tentang diri saya sendiri."

Bahwa seniman seorang pesolek adalah soal yang biasa. Sungguhpun begitu tidaklah dapat dibiarkan jika ia menyinggung hak bersolek orang lain dan tidaklah ia menjalankan kesusastraan lagi jika ia mencoba memasukkan keinginannya untuk bersolek itu dalam hubungan-hubungan sosial. Ini cuma bisa terjadi jika pengarang lebih menghargakan kedudukan lain daripada mempergunakan mediumnya sendiri, jika pengarang lebih menyukai untuk menjabat kedudukan penting daripada melakukan pekerjaannya:mengarang.


Siasat, 4 Oktober 1953

Sumber: Asrul Sani: Surat-Surat Kepercayaan dalam Kritik Sastra Indonesia Mencari Kambing Hitam: Sepilihan Esai dan Kritik Klasik Indonesia

 

Tentang Penulis



Asrul Sani (lahir di Rao, Sumatra Barat, 10 Juni 1927 – meninggal di Jakarta, 11 Januari 2004 pada umur 76 tahun) adalah seorang sastrawan, sutradara, dan penulis skenario film ternama asal Indonesia.

Di dalam dunia sastra Asrul Sani dikenal sebagai seorang pelopor Angkatan ’45. Kariernya sebagai sastrawan mulai menanjak ketika bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin menerbitkan buku kumpulan puisi yang berjudul Tiga Menguak Takdir. Kumpulan puisi itu sangat banyak mendapat tanggapan, terutama judulnya yang mendatangkan beberapa tafsir. Setelah itu, mereka juga menggebrak dunia sastra dengan memproklamirkan Surat Kepercayaan Gelanggang sebagai manifestasi sikap budaya mereka. Gebrakan itu benar-benar mempopulerkan mereka.

Selain itu, ia pun pernah menjadi redaktur majalah Pujangga Baru, Gema Suasana (kemudian Gema), Gelanggang (1966--1967), dan pimpinan umum Citra Film (1981--1982).

Sebagai sastrawan, Asrul Sani tidak hanya dikenal sebagai penulis puisi, tetapi juga penulis cerpen, dan drama. Cerpennya yang berjudul Sahabat Saya Cordiaz dimasukkan oleh Teeuw ke dalam Moderne Indonesische Verhalen dan dramanya Mahkamah mendapat pujian dari para kritikus. Di samping itu, ia juga dikenal sebagai penulis esai, bahkan penulis esai terbaik tahun ’50-an. Salah satu karya esainya yang terkenal adalah Surat atas Kertas Merah Jambu (sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda).

Sejak tahun 1950-an Asrul lebih banyak berteater dan mulai mengarahkan langkahnya ke dunia film. Garapan pertamanya di bidang film adalah skenario Pegawai Tinggi (1953). Debut pertama penyutradaraan filmnya adalah Titian Serambut Dibelah Tudjuh (1959). Ia mementaskan Pintu Tertutup karya Jean-Paul Sartre dan Burung Camar karya Anton P., dua dari banyak karya yang lain. Skenario yang di tulisnya untuk Lewat Djam Malam (mendapat penghargaan dari FFI, 1955), Apa Jang Kau Tjari, Palupi? (mendapat Golden Harvest pada Festival Film Asia, 1971), dan Kemelut Hidup (mendapat Piala Citra 1979) memasukkan namanya pada jajaran sineas hebat Indonesia. Ia juga menyutradarai film Salah Asuhan (1972), Jembatan Merah (1973), Bulan di Atas Kuburan (1973), dan sederet judul film lainnya. Salah satu film karya Asrul Sani yang kembali populer pada tahun 2000-an adalah Nagabonar yang dibuat sekuelnya, Nagabonar Jadi 2 oleh sineas kenamaan Deddy Mizwar.

Selain menulis puisi, cerpen, esai, naskah teater, dan skenario film, dia banyak menerjemahkan karya sastra mancanegara.

Sementara bergiat di film, pada masa-masa kalangan komunis aktif untuk menguasai bidang kebudayaan, Asrul, mendampingi Usmar Ismail, ikut menjadi arsitek lahirnya LESBUMI (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia) dalam tubuh partai politik Nahdhatul Ulama, yang mulai berdiri tahun 1962, untuk menghadapi aksi seluruh front kalangan "kiri". Usmar Ismail menjadi Ketua Umum, Asrul sebagai wakilnya. Pada saat itu ia juga menjadi Ketua Redaksi penerbitan LESBUMI, Abad Muslimin.


Sumber biodata penulis: Wikipedia


0 comments: