Saturday, May 9, 2020

Kabut Asap Belum Membumbung, Media Asing Sudah Soroti Potensi Karhutla Indonesia




Musim kemarau identik dengan musim kabut asap di Indonesia. Hal itu wajar karena saat kemarau berlangsung, sering terjadi kebakaran hutan dan lahan di negara ini. Alhasil, Kabut asap menyebar hingga ke kota-kota, bahkan ke mancanegara. Sebutlah ke Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura.

Maka terkenallah kaya Indonesia sebagai negeri pengekspor asap tebal. Lalu bagaimana dengan tahun ini? Sebuah tahun yang diselimuti pandemi global virus dari Cina.

Saat ini, belum terlihat jelas adanya kabut asap di Indonesia. Meski demikian, sebuah media asing asal Jepang, Kyodo News, menurunkan berita seputar kabut asap dalam kaitannya dengan penanganan Pneumonia Wuhan (COVID-19).

Dalam laporannya itu, Sabtu (9/5/2020), dikatakan bahwa asap dari kebakaran di Indonesia dapat menambah lonjakan penyakit pernapasan

Asap dari kebakaran hutan dan lahan gambut di Indonesia dapat mempersulit upaya negara untuk memerangi virus corona baru, karena pemerintah tidak memiliki rencana darurat untuk penyakit pernapasan tambahan di tengah pandemi yang sedang berlangsung.

Seperti terlansir media tersebut, Wiendra Waworuntu, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan RI, mengatakan Jumat bahwa gejala infeksi pernapasan akut yang disebabkan oleh asap dari api mirip dengan gejala COVID-19.

Lonjakan simultan penyakit pernapasan dari kedua penyebab tersebut bisa menjadi "sakit kepala" utama bagi otoritas kesehatan Indonesia. Penelitian menunjukkan bahwa "ada korelasi antara tingkat kematian yang tinggi dan tingkat polusi yang tinggi di daerah yang terkena dampak COVID-19," kata Waworuntu.

Dikabarkan pula oleh sumber yang sama, kabut dari kebakaran hutan dan lahan yang disebabkan oleh praktik pertanian tebang dan bakar ilegal, sebagian besar untuk perkebunan kelapa sawit, terjadi setiap tahun di Indonesia.

Hingga Kamis, setidaknya 765 titik api telah terdeteksi di negara itu, meskipun jumlahnya lebih rendah dari 1.222 setahun sebelumnya, menurut pihak berwenang setempat.

Bulan ini, sebagian besar wilayah di negara kepulauan "akan memasuki awal musim kemarau, termasuk daerah di mana kebakaran hutan dan lahan gambut biasanya terjadi," kata Miming Saepudin, Kepala Prediksi Cuaca dan Peringatan Dini, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika.

"Kami telah memperkirakan bahwa musim kemarau akan mencapai puncaknya pada bulan Agustus, mencakup 64,9 persen dari negara ini," kata Saepudin.

Mengutip media di atas, beberapa ahli khawatir kabut asap akan menghambat upaya untuk mengurangi pandemi COVID-19 yang telah menginfeksi 13.112 orang dan membunuh 943 pada hari Jumat (8/5/2020).

Situasi mungkin menjadi lebih buruk karena kemungkinan kekurangan masker wajah N95. Saat ini, masker bermutu tinggi hanya dapat digunakan oleh pekerja medis, sementara anggota masyarakat telah diperintahkan untuk mengenakan masker bedah normal.

Namun Waworuntu mengatakan masker N95 juga diperlukan untuk orang yang terkena asap dari kebakaran hutan, karena masker biasa tidak akan efektif untuk menyaring asap.

"Mungkin ada kelangkaan masker N95 pada Juni, Juli dan Agustus ketika musim kemarau mencapai puncaknya, sementara kita harus bersaing dengan negara lain untuk mendapatkannya," katanya.

Selain itu, "kami belum merancang rencana darurat untuk menangani infeksi pernapasan akut yang disebabkan oleh kebakaran hutan dan COVID-19, sementara sebagian besar sumber daya manusia di bidang kesehatan telah difokuskan untuk menangani COVID-19," tambahnya, mencatat perlunya strategi untuk mencegah bencana.

Sebagai informasi tambahan dari media asing tersebut bahwa pada tahun 2019, kebakaran menghancurkan lebih daripada 1,6 juta hektar lahan di seluruh negeri, sebagian besar di pulau Kalimantan dan Sumatra, naik dari sekitar 630.000 hektar di tahun sebelumnya.

Kebakaran tahun lalu mengakibatkan infeksi pernapasan akut bagi sekitar 900.000 orang. Kabut asap telah berdampak pada kualitas udara tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di Malaysia, Singapura dan sejauh Thailand dan Filipina.

Lantas, apakah kita sebagai orang Indonesia sudah menyiapkan resiko dari dampak kebakaran hutan dan lahan tahun ini?

0 comments: