Tuesday, November 19, 2019

Palui dan Dugal, Bagaimana jika Diterjemahkan ke Bahasa Indonesia?


Sebenarnya dari judul di atas kita bisa memahami   arahnya bukan hanya ke bahasa Indonesia. Boleh saja diterjemahkan ke bahasa Inggris, Jerman, Jawa, atau lainnya.

Mengapa tidak? Toh di dunia ini begitu banyak bahasa. Di Kalimantan ini saja, misalnya,  jumlahnya waw sekali. Ada bahasa Kenyah, Iban, Banjar, Ngaju, dan banyak lagi.

Di paragraf atas sengaja saya sebut Kalimantan sebagai salah satu tempat hidup dan berkembangnya bahasa-bahasa di dunia. Kesengajaan ini sangat terkait dengan judul di atas.

Benar, Palui dan Dugal merupakan dua contoh kisah yang pengarang masing-masingnya menggunakan  bahasa daerah, yakni Banjar. Kisah Palui sudah begitu tersohor seantero Kalimantan Selatan.

Hal itu tidak mengherankan karena kisah-kisahnya dipublikasikan di salah satu media terbesar se-Kalimantan bagian Indonesia (Sabah, Sarawak, Persekutuan Labuan, dan Brunei Darussalam tidak termasuk di dalamnya). Tentunya masyarakat Banjar sudah tidak asing lagi dengan si Palui.

Berbeda dengan Dugal. Saya sendiri baru menemukan karakter ini di salah satu media sosial. Anda juga bisa menemukannya di mesin pencari daring (online).

Terlepas dari kepopuleran tersebut, ada pertanyaan terkait dengan kebahasaan dan kesemestaan. Apakah itu?

Jika bahasa yang digunakan dalam keduanya adalah bahasa Banjar, pastinya tidak semua orang di luar Kalimantan Selatan memahami dan menikmatinya, 'kan? Lantas bagaimana solusinya?

Termudah adalah dengan menerjemahkannya ke dalam bahasa yang lebih luas penggunanya. Salah satunya adalah bahasa Indonesia. Lalu, apakah jika sudah diterjemahkan akan selesai begitu saja?

Nah ini pertanyaan yang secara jujur membuat saya bingung menjawabnya. Mengapa bisa demikian?

Satu hal yang saya dan Anda boleh mengerti bahwa sebuah kisah akan lebih dapat dinikmati jika dibahasakan dalam bahasa tertentu. Sebaliknya akan terasa kering jika dibahasakan dengan bahasa lainnya.

Ya, sebuah bahasa tentu erat kaitannya dengan budaya dan sosial setempat. Maka tidak heran sebuah kisah akan berubah rasanya jika bahasanya pun berbeda.

Ah, topiknya sudah mulai serius nih. Dan, saya perlu asupan gizi terlebih dahulu sebelum melanjutkannya pada waktu yang belum diketahui. Mungkin besok, atau entah?

Semoga saja, esok hari bisa berlanjut. Sampai jumpa!


0 comments: