Saturday, October 26, 2019

Benarkah Puisi hanya Bunyi bagi Masyarakat Pembacanya?


Konon, puisi bisa menggugah jiwa masyarakat pembacanya. Yang semula malas beribadah misalnya, tergugah jiwanya menjadi ahli ibadah setelah ia membaca puisi genre religi. Atau, yang sebelumnya gemar mencuri, setelah membaca puisi tentang kesedihan korban pencurian, ia pun berhenti melakukan perbuatan tercela itu.

Tapi, bagaimana dengan sebagian masyarakat yang mengaku tidak dapat memahami kandungan makna puisi?

Suka tidak suka, pertanyaan di atas memang sebuah kenyataan di lapangan. Tidak sedikit orang yang mengatakan bahwa puisi itu sulit sekali dipahami.

"Sudah kubaca sih, tapi ga ngerti isinya."

Lebih kurang seperti itu yang diungkapkan sebagian pembaca puisi.

Dalam hal ini, kita jangan dulu membahas soal interpretasi terhadap kandungan puisi. Sebab, masyarakat di luar dunia puisi, lebih akrab dengan memahami isi puisi daripada menafsirkannya.

Karena alasan itulah, banyak orang yang menganggap bahwa puisi hanya dipahami penulisnya dan kaum penyair saja. Sementara orang lain tidak bisa mendapatkan apa-apa dari pembacaan puisi.

Namun, ada sebagian orang yang meski tidak memahami isi puisi, mereka memilih untuk menikmati bunyi indah dari puisi yang dibacanya. Ya, mungkin seperti saat seseorang tidak memahami bahasa dalam irik sebuah lagu, tapi dapat menikmati iramanya.

Bagian di atas itu sebenarnya khusus puisi yang sukar dipahami. Memang ada kerja interpretasi di dalamnya.

Nah, berbeda lagi ceritanya pada puisi-puisi yang mudah dipahami semisal karya-karya Taufiq Ismail. Orang akan dengan mudah menangkap maknanya.

Berikut contoh puisi yang mudah dipahami.

SEORANG TUKANG RAMBUTAN PADA ISTRINYA
Karya Taufiq Ismail

“Tadi siang ada yang mati,
Dan yang mengantar banyak sekali
Ya. Mahasiswa-mahasiswa itu. Anak-anak sekolah
Yang dulu berteriak: dua ratus, dua ratus!
Sampai bensin juga turun harganya
Sampai kita bisa naik bis pasar yang murah pula
Mereka kehausan datam panas bukan main
Terbakar muka di atas truk terbuka

Saya lemparkan sepuluh ikat rambutan kita, bu
Biarlah sepuluh ikat juga
Memang sudah rezeki mereka
Mereka berteriak-teriak kegirangan dan berebutan
Seperti anak-anak kecil
“Hidup tukang rambutan! Hidup tukang rambutani”
Dan menyoraki saya. Betul bu, menyoraki saya
Dan ada yang turun dari truk, bu
Mengejar dan menyalami saya
“Hidup pak rambutan!” sorak mereka
Saya dipanggul dan diarak-arak sebentar
“Hidup pak rambutan!” sorak mereka
“Terima kasih, pak, terima kasih!
Bapak setuju karni, bukan?”
Saya mengangguk-angguk. Tak bisa bicara
“Doakan perjuangan kami, pak,”
Mereka naik truk kembali
Masih meneriakkan terima kasih mereka
“Hidup pak rambutan! Hidup rakyat!”
Saya tersedu, bu. Saya tersedu
Belum pernah seumur hidup
Orang berterima-kasih begitu jujurnya
Pada orang kecil seperti kita.

1966

0 comments: