Friday, February 1, 2019

Novel Atheis, Lebih Baik Berhati-Hati daripada Tersesat


Atheis atau yang dalam bahasa Indonesia baku adalah ateis, merupakan sebuah novel karangan Achdiyat Karta Mihardja yang diterbitkan Balai Pustaka pada tahun  1949. Secara singkat novel ini mengisahkan  kehidupan Hasan yang seorang muslim muda dan diharapkan keluarganya agar terus berpegang teguh pada agama Islam. Meski demikian, di tengah perjalanan hidupnya malah meragukan agamanya sendiri. Hal itu karena pergaulannya dengan Rusli dan Kartini yang menganut ajaran Marxis (filsafat materiasme historis dan dialektisnya Karl Marx). Ditambah lagi adanya pemgaruh seorang penulis nihilisme ( sebuah pandangan filosofi bahwa dunia ini, terutama keberadaan manusia di dunia, tidak memiliki suatu tujuan) bernama Anwar. Novel ini sudah masuk dalam UNESCO Collection of Representative Works.

Secara gamblang penulisnya ingin mengatakan perlu kehatian-hatian dalam mencerna paham-paham atau ajaran-ajaran yang menyimpang dari keyakinan dalam agama Islam. Ketika berhadapan dengan yang demikian itu, maka idealnya segeralah meminta petunjuk dari-Nya agar tidak terjerumus dalam kesesatan.   

Tokoh dalam novel ini adalah Hasan, Rusli, Kartini, Raden Wiradikarta, Ibu Hasan, dan Anwar. Berikut ringkasannya.

Hasan merupalan seorang putra pensiunan mantri guru bernama Raden Wiradikarta di kampung Panyeredan. Sebuah kampung  di lereng gunung Telaga Bodas. Sebagai anak satu-satunya yang masih dari keluarga Raden Wiradikarta, sejak kecil Hasan mendapat didikan agama secara mendalam. lburiya selalu melatih Hasan menghafal ayat-ayat Alquran. Oleh karena itu, sejak kecil ia .sudah dapat menghafal shahadat, shalawat, Surat Al-Ikhlas, Al-Fatihah, dan sebagainya.

Setelah menamatkan sekolahnya, Hasan berusaha melamar Rukmini untuk menjadi istrinya. Akan tetapi, temannya itu telah dijanjikan untk seorang kaya di Jakarta (dulu Batavia). Kemudian orang tua Hasan memintanya menikah dengan Fatimah dan ia menolak permintaan itu.

Ketika Hasan meningkat dewasa, ia mengikuti jejak orang tuanya, berguru di Banten, mendalami syariat dan salah satu ilmu terikat. Lalu dia pindah ke Bandung untuk bekerja sebagai pegewai pemerintah pendudukan Jepang.

Semenjak menganut ajaran spritual Islam, Hasan semakin rajin melalukan ibadat. Sebagai akibatnya, pekerjaan kantornya sering terbengkelai. Dari teman-temannya sekantor, dia mendapat gelar "Pak Kiai". Selain itu, kesehatan badannya tidak pemah diperhatikan, bahkan hidupnya dikendalikan oleh hal-hal yang tidak rasional. Misalnya, ia pernah mandi sampai 40 kali semalam, tanpa menggunakan handuk sebagai pengering badannya. Tidak mustahil, akhirnya, ia terkena penyakit TBC. Ia pernah juga berpuasa tujuh hari tujuh malarn terus-menerus, dan selama tiga hari tiga malam mengunci diri di dalam kamar tanpa makan, minum, dan tidur. Hasan adalah produk pendidikan lingkungan yang tertutup, fanatik. Ia berkernbang menjadi manusia yang fanatik, sempit pandangan hidupnya, dan kurang memiliki pengalaman.

Saat di Bandung itulah, Hasan bertemu sahabatnya sewatu kecil dulu, yakni Rusli. Temannya ini memperkenalkannya dengan  seorang gadis bernama Kartini. Awalnya, Hasan yang mengetahui Rusli dan Kartini adalah pengikut ajaran Marxis yang ateis itu, hendak mengembalikan keduanya ke agama Islam. Akan tetapi sayang, dia tidak dapat mengatasi argumentasi Rusli yang tentunya sangat menolak agama. ,

Bahkan, Hasanlah yang malah mulai meragukan keimannnya. Lambat laun, dia pun kian sekuler. Bisa dikatakan kehadiran Rusli dan Kartini menyebabkan perubahan pada diri Hasan. Kehidupan Rusli dan Kartini, menurut Hasan, serba menarik. Hasan jatuh cinta pada Kartini. Ia ingin berumah tangga dengan Kartini. Rasa cinta itu yang memupuk kelemahan Hasan dan merupakan awal dari segala perubahan hidupnya. Ia berusaha menyenangkan dan menarik Kartini, bahkan ia rela mengorban- kan segalanya: Imannya luntur, hubungan dengan ayahnya menjadi putus. Hanyutlah Hasan dalam kehidupan yang dianut oleh Kartini dan kawan-kawannya: modern, bebas, dan berdasar- kan paham marxis.

Walaupun banyak tingkah laku Kartini yang bertentangan dengan ajaran agama Islam, Hasan tetap mencintainya. Semua gerak-gerik dan tingkah laku Kartini diterimanya dengan senang, dengan harapan agar Kartini tetap menjadi miliknya.

Ditengah-tengah kembang-kempisnya harapan Hasan untuk dapat hidup bersama Kartini, muncullah Anwar yang menaruh hati juga pada Kartini. Perasaan cemburu Hasan menutupi segala kelemahannya. Kini tidak ada pantangan lagi bagi Hasan, seperti bioskop, makan masakan cina, bergaul dengan wanita yang bukan muhrimnya, mengikuti pertemuan yang memperdalam marxis, bahkan menyangkal adanya Tuhan.

Perkawinan yang mereka lakukan ternyata tidak membuahkan kebahagiaan. Kartini meneruskan kebiasaan hidup bebas, pergi tanpa suaminya. Terjadilah pertengkaran, yaitu ketika Hasan menunggu kedatangan Kartiri. Saat itu Kartini datang bersama-sama dengan Anwar. Memuncaklah kemarahan Hasan. Kartini ditempelengnya dan terjadilah perpisahan. Dalam perjalanan hidup selanjutnya, Hasan akhirnya insyaf kembali ke jalan yang benar, jalan agamanya. Mendengar ayahnya sakit parah, Hasan mengunjungi ayahnya tetapi diusir oleh ayahnya. Ayahnya meninggal. Sejak itu ia telah kehilangan segala-galanya, ayah, istri, bahkan tujuan hidupnya.

Dan, dalam keadaan sakit-sakitan, Hasan seorang jurnalis dan menyerahkan suatu tulisan berisi riwayat hidupnya kepda seorang jurnalis. Sang jurnalis ini bersedia menerbitkan karya Hasan itu bilamana terjadi sesuatu kepada Hasan.
Tak lama setelah itu, Hasan keluar rumah dan tertembak oleh patroli Jepang. Dia akhirnya meninggal seusai mendapatkan siksaan. Kata terakhir yang terucap dari mulutnya adalah "Allahu Akbar".

Disarikan dari berbagai sumber.

 Tentang Penulis Novel Atheis



Achdiat Karta Mihardja lahir di Cibatu, Garut, Jawa Barat, 6 Maret 1911—meninggal di Canberra, Australia, 8 Juli 2010 pada umur 99 tahun dan lebih dikenal dengan nama pena singkatnya Achdiat K. Mihardja.

Ia berpendidikan AMS-A Solo dan juga Fakultas Sastra dan Filsafat Universitas Indonesia. Ia pernah bekerja sebagai guru di perguruan Taman Siswa, redaktur Balai Pustaka, Kepala Jawatan Kebudayaan Perwakilan Jakarta Raya, dosen Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1956-1961), dan sejak 1961 hingga pensiun dosen kesusastraan Indonesia pada Australian National University, Canberra, Australia.

Achdiat juga pernah menjadi redaktur Harian Bintang Timur dan Majalah Gelombang Zaman (Garut), SpektraPujangga BaruKonfrontasi, dan Indonesia
  

0 comments: