Friday, February 8, 2019

BANJIR, Cerpen Korrie Layun Rampan dalam Nyanyian Lara


Karena bosan selalu menderita disapu banjir Ciliwung, Pono memutuskan untuk mengadu untung ke luar Jawa. Rumah yang dibangunnya di bantaran kali dijualnya, dan uang hasil penjualan rumah itu digunakannya untuk ongkos menuju Samarinda.

Saat ia menemukan pekerjaan, uang itu masih tersisa, dan ditambah dengan uang yang ditabungnya dari gaji yang tak terpakai, ia melamar Minah dari Kampung Lempunah. Karena pekerjaannya sebagai penebang di hutan HPH di Sungai Nyuatan, Minah diboyongnya ke camp tempatnya bekerja. Selama setahun di camp Pono sudah mempu membeli sebidang ladang dari Kepala Kampung Sentalar. Letak ladang itu cukup strategis, berada pada sebuah tanjung sungai yang memanjang. Bagian hulu tanjung, sungai membentuk lekukan sehingga air memusar saat membentur tebing sungai. Bagian hilirnya tercapak sebuah teluk yang bagus sekali dijadikan tempat pemandian dan tambatan rakit jamban.

Pono merasa senang dengan ladang yang didapatnya dari keringat sendiri. Ladang itu digarapnya jika tiba gilirannya mendapat cuti. Tanahnya subur dan apa saja yang ditanam cepat sekali tumbuh dan menjadi pohon yang segar menghasilkan buah.

Dahulu ia pernah menggarap tanah, sebagai petani penggarap saat masih tinggal di tepi Kali Serayu. Akan tetapi banjir sering memusnahkan apa yang sudah dikerjakan selama berbulan-bulan. Akhirnya Pono meninggalkan desa mengadu untung di Jakarta. Ia terdampar di tepi Ciliwung dan bekerja serabutan hingga menemukan pekerjaan tetap sebagai sopir perusahaan. Penghasilannya lumayan, dan dengan kehematan yang dipaksakan ia akhirnya mampu membangun sebuah rumah di bantaran kali. Namun banjir selalu datang mengganggu, membuat Pono harus hengkang, di samping ia harus berjuang dengan kerja baru karena ia sendiri terkena rasionalisasi. Taklah mudah bagi tenaga yang tidak memiliki ijazah dan keahlian khusus untuk menemukan pekerjaan di Jakarta. Atas kebaikan hati kawannya Mista ia akhirnya tiba di Samarinda.

Pono membangun rumah di ladang yang baru di belinya itu. Istrinya membawa kedua orang tuanya dari Lempunah, ke rumah baru mereka di tepi Sungai Nyuatan di Kampung Sentalar, tak jauh dari camp HPH.

Jika dilihat dari hilir maupun dari hulu rumah itu seperti sebuah istana di dalam kerajaan dongengan. Atapnya dari genteng monier, dindingnya dari bata yang dibuat sendiri, dan fondasinya dipasang dari batu kali yang diambil di udik Sungai Anau, jauh di hulu Desa Sentalar. Bangunan itu memang lain dari bangunan biasa di daerah itu karena bentuknya bukan rumah panggung. Menurut kepala desa, ketinggian fondasi sudah cukup untuk menghindari luapan banjir, karena banjir tertinggi di daerah itu paling-paling mencapai satu atau satu setengah meter di atas permukaan tanah yang rata. Pono membangun rumahnya dengan membentuk tanah seperti bukit meninggi dan di atas bukit itu bangunan itu didirikan.

Masyarakat desa itu merasa kagum akan pilihan Pono pada arsitektur rumah itu. Ia menggambari sendiri bagaimana membagi ruang dan membentuk bubungan atap, bagaimana ornamen kusen, daun pintu, dan jendela. Sebuah rumah yang megah, dan mengundang decak. Beberapa orang warga desa itu bahkan ingin meniru bentuk bangunan yang dibuat Pono.

Tiga tahun lamanya ia membangun rumah itu. Sebenarnya membangunnya tidaklah lama, akan tetapi biaya bangunannya membutuhkan waktu, membuat bangunan itu terseret-seret dalam penyelesaiannya. Namun, saat benar-benar selesai, rumah itu sungguh membawa kenikmatan bagi penghuninya, dan kedua orang mertuanya merasa tenang tinggal di situ, terutama karena satu-satunya anak mereka, Minah, telah mulai mengandung.

Pono merasa ia harus lebih giat bekerja demi istri dan anaknya yang akan lahir. Pada hari-hari terakhir sering ia harus menginap beberapa hari di barak pedalaman, karena harus menyelesaikan pekerjaan penebangan. Pohon-pohon keruing dan meranti yang lebih dekat ke arah camp sudah habis dibabat, tinggal pohon-pohon Borneo atau kamper yang jauh di pedalaman hutan di sela-sela bukit dan lembah yang cukup sulit dicapai dengan alat berat. Namun pohon-pohon itu harus ditebang dan dibawa ke penumpukan log di camp tepi Sungai Nyuatan.

Mengingat istri, rumah, dan anaknya yang akan lahir, Pono merasa seperti mendapat tenaga baru. Tanah ladang yang tadinya tersisa telah diubahnya menjadi lahan yang berguna ditanami palawija. Bahkan di sekeliling rumahnya ditanaminya dengan sayur-mayur yang setiap seminggu sekali dibawa mertuanya ke camp atau ke kota kecamatan. Bahkan kadang mertuanya menjual sayur-mayur itu hingga ke Long Iram dan Melak. Lumayan untuk menambah belanja.

Membayangkan hidupnya kini bersama istri yang setia dan telaten membantu di belakang suami, ia merasa suatu tuah yang tak bertara. Beberapa tahun ia mengabdi pada tanah di sepanjang Kali Serayu yang tandus dan setiap musim digilas banjir Jakarta, rasanya hidup di rumah sendiri yang dibangun dengan keringat perjuangan, sangat membesarkan hati. Hidup jadi berguna, bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi terutama berguna untuk anak turunan. Ia membayangkan anaknya yang lasak, sehat, dan cerdas yang akan dilahirkan istrinya, sungguh suatu anugerah. Bukankah Allah Ta’ala telah membimbingnya kepada suatu perjuangan yang memperlihatkan dimensi baru di dalam hidupnya. Sama saja apakah orang tinggal di Jawa atau Sumatera, Irian, atau Sulawesi. Bahkan Jakarta yang memberinya banyak pelajaran dan kemudian rumah yang dibangunnya di Desa Sentalar saat ia bekerja di camp penebangan HPH di pedalaman, memberinya pengetahuan tentang hidup yang sebenarnya.

Saat ia berangkat terakhir ia ingat ia berpesan kepada istrinya agar lebih hati-hati menjaga diri. “Bulan-bulan sekarang ini waktunya hujan banyak turun dan mungkin akan banjir,” ia ingat ia berkata. “Kandunganmu harus membuat kau hati-hati.”

Istrinya diam tersenyum manja.

“Mas Pono juga harus hati-hati, Nah,” ia berkata waktu itu. “Sementara kau baru pertama kali ini mengandung.”

“Ya. Tapi ‘kan ada Ayah dan Ibu.”

Pono merasa aman karena istrinya ada bersama kedua orang tuanya sendiri. Dengan bantuan orang sekampung, tentu mereka akan dapat terhindar dari segala bencana. Apalagi letak rumahnya yang berada di tanah genting, orang-orang dari bagian hulu dan hilir dapat dengan mudah tahu apa yang terjadi pada mereka.

Saat ia naik ketinting manuju camp ia merasa semangatnya makin bertambah. Dengan uang gaji yang terakhir nanti ia akan menambah luas kebun kacang tanah dan kacang hijau. Kedelai dan ubi jalar juga sangat kurang pemasoknya. Jika uang sudah ditangan, dan ia dapat giliran cuti barang seminggu, ia akan mengupah orang-orang desa mengerjakan kebun itu. Penyelesaiannya akan dapat diawasi oleh mertuanya, dan hasilnya akan dapat dipaneni beberapa bulan lagi.

Pono merasa gairahnya bertambah.

Ketika ia mendapat bagian menebang di bagian yang jauh ke dalam, ia merasa harus menyelesaikan pekerjaannya lebih cepat dari seharusnya. Ia dapat masuk ke kawasan pokok-pokok pohon yang akan ditebang kemudian baru alat-alat berat menyusulnya untuk menarik kayu gelondong yang telah ditebang. Dengan demikian kerja lebih efisien dan waktu dapat lebih diperpendek.

Akan tetapi pada hari ketiga ia mondok di barak hutan, alat-alat berat amat sulit melewati kedalaman air yang makin naik, dan banjir menampakkan gejala yang makin meninggi. Karena hujan makin menjadi-jadi, beberapa bagian hutan telah berubah menjadi arus sungai yang menderu mencari bagian palung yang merendah ke arah aliran sungai yang hidup. Arus sungai-sungai kecil itu begitu deras dan menderu-deru menuju sungai yang lebih besar.

Pekerjaannya amat terganggu. Terutama pengangkutannya sama sekali lumpuh. Tak ada alat berat yang mampu berjalan di dalam banjir atau melewati lurah yang telah terisi dengan air. Untuk pulang ke camp juga susah karena kendaraan-kendaraan pengangkut tertahan lebih seratus kilometer di tepi sungai yang sedang meluap.

Selama seminggu Pono bersama regunya tertahan di hutan penebangan. Pekerjaan tidak dapat dilakukan dengan baik karena hujan turun tak menentu, dan gerimis hampir tak henti sepanjang hari. Pada hari kedelapan rombongan itu memutuskan untuk pulang, karena persediaan makanan sudah habis, sementara kiriman dari camp di bawah tak kunjung tiba.

Segala peralatan mereka tinggalkan di barak penebangan.
Hampir sore baru rombongan itu bertemu dengan penjemput yang juga berjalan kaki karena kendaraan tidak bisa melewati jembatan darurat yang jebol dilanda banjir. Bahan-bahan makanan yang dibawa ditinggal di pinggir kali di dalam kendaraan yang memuatnya. Esok harinya baru mereka tiba di camp dan Pono merasa sangat terperanjat karena air telah meluap begitu tinggi.

“Bagaimana tak tinggi,” pimpinan camp berkata, “kalau hujan terus-menerus turun di pehuluan sungai. Mungkin banjir akan lebih lama.”

Camp yang dibangun di atas bukit itu terasa dekat dengan bibir air.

Dengan merasa was-was Pono minta izin untuk menghilir melihat istrinya dan kedua mertuanya di rumah. Ia pun segera menghilir dengan ketinting menuju Desa Sentalar. Hatinya makin was-was setelah melihat permukaan air jauh di atas tebing sungai. Jika di musim kemarau tebing-tebing kedua sisi sungai tampak tinggi, kini tebing itu tak kelihatan lagi. Yang muncul hanya pucuk-pucuk gelagah yang terbuai-buai karena arus air yang deras serta rimbunan pohon-pohon tepi air serta kaitan suluran rotan yang kadang menahan kampar kayu yang hanyut dari hulu.

Jarak antara camp itu dengan rumah dapat ditempuh kurang dari dua jam. Ingin rasanya Pono terbang dengan ketinting itu untuk dapat melihat keadaan rumah dan keluarganya. Melihat tingginya permukaan air pasti rumahnya kebanjiran.

Dari agak kejauhan Pono dapat melihat ke arah rumahnya. Ia kaget luar biasa karena tampak rumahnya yang bagaikan sebuah benteng di tengah lautan sedang diterjang oleh ribuah gelondong kayu yang dihanyutkan pengusaha HPH yang berasal dari udik sungai. Kayu-kayu gelondong itu tidak lagi mengikuti arus sungai yang berkelok ke arah tanjung, tetapi menerabas lewat tanah genting dari tanjung yang panjang. Air tampak berderu-deru dengan gelombang yang meninggi melewati kawasan genting itu, dan kayu gelondong itu dengan sesukanya membentur dinding rumah. Dengan kekuatan air dari hulu yang begitu deras dan berat ribuan kubik kayu gelondong, Pono melihat rumahnya seperti sebuah pohon yang sedikit demi sedikit tercerabut akarnya dan segera tumbang.

Ketinting Pono terhalang oleh ribuan gelondong yang mendobrak tembok rumahnya itu. Dengan gugup ia melompat meninggalkan ketintingnya, naik ke atas kayu gelondong yang terus menggelesor menghilir dalam terabasan tanah genting itu—tempat  rumahnya didirikan—dan segera ia berlari di atas kayu gelondong ke arah rumah. Masih sekitar dua puluh meter dari rumah, ia melihat rumah itu ambruk, dan dari dalam masih ia dengar suara teriakan seorang wanita. Teriakan Minah.

“Tolong! Tolong! Tolong! Mas Pono, toloooongngng. . . !”

Orang-orang di kampung itu juga berdatangan dengan perahu dan berusaha menolong dengan menahan penghiliran kayu-kayu gelondong itu. akan tetapi tenaga mereka tidak mampu menahan kekuatan alam yang terus menggusur rumah itu seperti sebuah kapal perusak yang mendobrak mangsanya, seakan menyeterika kawasan itu dengan gerusan kayu oleh dorongan derasnya arus banjir.

Rupanya Minah bersama kedua orang tuanya telah pindah dari kamar bawah ke plafon rumah, karena banjir telah hampir mencapai pinggiran bawah atap.

Hanya beberapa detik kejadian itu berlangsung, dan teriakan Minah tak terdengar lagi, sebab rumah itu telah roboh dan terhanyut ke dalam arus sungai yang lebih dalam di bagian hilir. Kayu-kayu gelondong itu seperti itik-itik yang tanpa dosa berenang di air yang membuat mereka bersuka. Kayu-kayu mati itu terus menghilir mengikuti arus sungai seperti pasukan yang menang perang.

Dengan badan manggigil Pono melompat ke lunas ketintingnya. Dengan SSB kepala desa ia melaporkan kejadian itu kepada camat dan polisi di kecamatan. Akan tetapi lebih sepuluh hari pencarian dilakukan, jisim ketiga penghuni rumah itu tak juga ditemukan. Bahkan setelah sebulan kemudian banjir itu surut seluruhnya dari kawasan dataran rumahnya, Pono belum juga menemukan jasad tiga orang yang dicintainya, empat bersama bayi yang dikandung Minah.

Di bekas rumahnya dan seluruh ladang kebunnya tampak bersih setelah banjir reda. Tak sepokok tanaman pun yang tersisa, kecuali lumpur dan tunggul kayu yang mulai membusuk. Fondasi rumahnya ikut tercabut dan di tempat itu hanya ada lumpur yang kotor dan butek. Mirip sebuah kawasan kuburan massal yang diratakan untuk menghilangkan jejak.

Selebihnya kosong. . . .

Mata Pono menatap kekosongan itu  dengan perasaan yang kosong. . . .

Dadanya perih! Perih. . . sekali!


Jakarta, 11 Februari 1996

(Hadiah untuk Jailani Djenung dan kelahiran Kecamatan Nyuatan yang beribu kota di Dempar)

0 comments: