Saturday, January 19, 2019

Lima Contoh Puisi Dimas Arika Mihardja


Dimas Arika Mihardja lahir di Pesisir Selatan Yogyakarta pada 3 Juli 1959 dengan nama Sudaryono. Ia mulai menulis puisi secara intens tahun 1980-an. Kemudian membukukan antologi puisi tunggalnya Sang Guru Sejati (1991), Malin Kundang (1993), Upacara Gerimis (1994), Potret Diri (1997) yang semuanya diterbitkan oleh Bengkel Puisi Swadaya Mandiri.

Sebagian besar puisinya dipublikasikan di media massa lokal dan nasional, serta dibukukan dalam antologi bersama Riak-Riak Batanghari (Teater Bohemian,1988), Percik Pesona 1 & 2 (Taman Budaya Jambi,1992,1993), Serambi 1,2&3 (Teater Bohemian,1992, 1993, 1994), Rendezvous (1993), Luka Liwa (1993), Pusaran Waktu (1994), Muaro (1995), Negeri Bayang-Bayang (1996), Mimbar Penyair Abad 21, Antologi Puisi Indonesia (1997), Angkatan 2000 (2000), dan Ketika Jarum Jam Lelah Berdetak (2003).

Penyair yang juga dosen Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Universitas Jambi ini merampungkan Program Doktor (S3) dengan disertasi “Pasemon dalam Wacana Puisi Indonesia” (2002). Kini, karya-karyanya terus hidup sebagai warisan berharganya.

Berikut Iima contoh puisi Dimas Arika Mihardja.  

Bulan Penuh Cahaya

Tiada bulan penuh cahaya kehausan, selain ramadhan
tiada bulan penuh cahaya kerinduan, selain ramadhan
tiada bulan penuh cahaya kekudusan, selain ramadhan.
Dalam gemilang bulan penuh cahaya
aku menggelinjang sendiri:
menggelepar ditampar misteri Ilahi
Seperti baling-baling berputar
sejarah kembali mendaur ulang ibadah hingga sajadah pun
basah oleh kilau cahaya

Setiap kali berkaca pada bening hati kurasa
dinding-dinding hati bercahaya
baling-baling iman bercahaya
ranting-ranting doa bercahaya
Aku tak kuasa berkata-kata
tapi terasa lidahku cahaya
Bibirku cahaya. Mataku cahaya.
Pikirku cahaya. Rasaku cahaya.
Jiwaku cahaya. Dinding hatiku cahaya.
Keping rinduku cahaya. Lengking cintaku cahaya!

Ya, Allah pencipta bulan penuh cahaya.
Akankah Kaupelihara lidah cahaya ini, bibir cahaya ini,
mata cahaya ini, pikir cahaya ini, rasa cahaya ini
jiwa cahaya ini?
Dari hari ke hari kususun batu-batu iman
hingga dinding-dinding hatiku cahaya.
Dari detik ke menit kususun remah kangenku
hingga keping rinduku cahaya.
Dari diri berlepotan dosa ini kupekikkan rasa cintaku
hingga lengking asmaraku cahaya.

Di relung bulan penuh cahaya ini, ya Ilahi Robbi,
aku saksikan ayat-ayat yang terpahat pada kitab bercahaya.
Segala makrifat bercahaya.
Segala isyarat bercahaya.
Aku pun mandi cahaya.
Dalam cahaya benderang kian tampak batin ini berjamur.
Kalbu ini dilekati benalu.
Jasad ini berlepotan debu.
Darah mengalirkan nafsu.

Bulan penuh cahaya
membongkar kenyataan-kenyataan yang sangat menyakitkan:
rinduku pada-Mu begitu mudah dipermainkan angin lalu
cintaku pada-Mu tak lahir dari rahim Iradat-Mu
jiwa ini La Ilaha Ilallah fanafanafanafanafana terasa
raga ini berlepotan noda.

Ya, Allah
jangan Kausiksa aku dengan cahaya benderang menyilaukan.
Aku tak sanggup
menyangga mata yang liar tak terkendali.
Aku tak sanggup
menyangga lidah yang menyebar fitnah;
Aku tak sanggup
mengolah alam pikir dan zikir atas ridha-Mu
rasa dan jiwa berhiaskan pengharapan semu.
Sugguh, aku tersiksa oleh terang cahaya-Mu.

Cahaya benderang-Mu, ya Allah,
telah mempermalukan aku.
Seperti Chairil Anwar, “Aku hilang bentuk remuk”
“Aku mengembara di negeri asing”
tapi sayang, “Aku tak bisa berpaling”.

Ya, Allah, rasanya aku tak layak berfatwa
seperti Rabiah Al-Adawiyah yang dengan sikap rendah hati,
tulus dan tanpa pamrih dalam doanya meminta, ”Jika aku berdoa mengharapkan terbukanya pintu sorga, ya Allah
maka masukkanlah aku di liang neraka hingga neraka penuh oleh dosa-dosaku, dan dengan begitu orang-orang lain leluasa dapat masuk ke dalam sorga.”

kini aku benar-benar menggelinjang sendiri.
Sendiri dipanggang api cahaya-Mu
abadi mendekap luka-luka ini.

Bengkel Puisi Swadaya Mandiri

Bulan Mengintai Jendela

bulan bugil bulat mengintai jendela
mama, ambilkan untukku 
temani bermimpi hingga subuh 
hinggap di seluruh tarian ilalang, mama 

ia berkaca di jendela kamar
yang gemetar 
yang ingin dilamar 
mama, mamaku sayang 
ďada berdegup kencang
saat berkencan 
sangat kencang
sampai gerhana segalanya 
berguncang 

pinangkan segera mama 
bagi anak lanang
yang mabuk kepayang 
yang dilanda smaragama saat purnama
bulat sempurna
hingga gerhana sepenuhnya
utuh menyeluruh

Merenda Senja

beranda dada menyediakan Nada Cinta
Romansa jingga, pendar percik pesona
Kau dan aku jadi sepasang angsa
Berenang di sungai batanghari
Menyusur dan menyisir pelangi
di hati, di kedalaman doa, di lengkung alis-Nya

Matahari merendah, mencium lembah
Kau dan aku jadi desah
Jadi doa
Jadi mahkota bunga
Bersama putik sari jadi buah

Matahari mendengkur
Kau dan aku mengukur kedalaman sumur setia
Menjadi tetes embun ...

Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, 2015


Jembatan Cahaya

senja mulai senyap, gelap menambah lengkap
batanghari serupa naga raksasa, berbaring miring
matanya terus mengerling Tanggo Rajo
sampan menghidupi nelayan
dan jembatan cahaya menghubungkan bibir bertaut
melafazkan cinta hakiki muara laut

cinta pada negeri Sepucuk Jambi Sembilan Lurah
Kota Beradat
dari Ujung Jabung hingga Sakti Alam Kerinci
cinta yang tumbuh sepanjang aliran sungai
mekar di belukar, bukit dan lembah
menyuburkan sawah-sawah

cahaya nyala di kubah Masjid Seribu Tiang, melafaz Al-Fallah
bergema suara dalam dentang Gentala Arasy
hingga sulur-sulur cahaya serupa jembatan gantung—Titian Arasy
jembatan penghubung saat dilanda bingung, "menyeberanglah di jembatan cahaya ini!"

Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Februari 2015


Hiruplah Indonesia Raya

Hiduplah tanahnya
Hiduplah lautnya
Bangsanya
Rakyatnya
Semuanya
: Merdeka

Berkarya yayaya
Bekerja ya ayo ya
Bongkar sarang narkoba bakar
Bongkar warung remang, bakar
Bongkar ruang korupsi, bongkar
Manipulasi bongkar
Raung dan jerit kumunafikan bongkar
Segala yang menyesatkan bongkar

Pasang gelombang laut
Pasang segala yang dibongkar

Bakar ubi, bakar jagung
Bakar segala sampah dan remah pembangunan

Tangkap segala sundal dan begundal
Para begal
Para perampok dan perompak laut

0 comments: