Friday, January 18, 2019

CERPEN MASA LALU DI BANJARBARU (Bagian 2)




Karya Tajuddin Noor Ganie

IKAN BERJANGGUT DAN SAPI BERKEPALA DUA. Suatu hari, terbetik berita seorang peneliti ikan yang bekerja di Kantor Dinas Perikanan menemukan ikan berjanggut. Mendengar berita itu aku dan teman-teman sekelas segera berlarian ke kantor dimaksud yang terletak di Jalan Jenderal Soedirman. Benar saja di sana kami melihat ada seekor ikan berukuran cukup besar berada di dalam akuarium. Bentuknya seperti ikan gabus, namun uniknya di bawah rahangnya  tumbuh beberapa helai  janggut berwarna putih.

Penemuan ikan berjanggut itu membuat Kantor Dinas Perikanan menjadi ramai dikunjungi orang. Aku sendiri, hampir setiap pulang sekolah menyempatkan diri singgah di sana untuk melihat ikan berjanggut. Aku tidak ingat lagi sampai berapa lama ikan berjanggut itu dipamerkan di serambi depan kantor dimaksud.

Beberapa tahun sebelumnya, Kantor Dinas Peternakan yang terletak di sebelah Kantor Dinas Perikanan juga sempat membuat heboh warga kota Banjarbaru. Salah seorang dokter hewan yang bekerja di sana menerima laporan dari seorang peternak sapi binaannya bahwa induk sapi miliknya melahirkan anak sapi berkepala dua.

Sayang sekali, sapi berkepala dua itu tidak berumur panjang. Bangkai sapi berkepala dua iyu kemudian diawetkan dengan air keras dan dipajang sebagai koleksi pameran di serambi depan kantor dinas dimaksud. Selama beberapa hari warga kota Banjarbaru silih berganti berdatangan untuk melihatnya. Aku tidak tahu apakah kantor dinas dimaksud masih menyimpan sapi berkepala dua yang diawetkan itu.

Dulu, setiap kali Kantor Wilayah Departemen Penerangan Kalimantan Selatan menggelar pameran pembangunan di lapangan Dokter Murjani, ikan berjanggut dan sapi berkepala dua itu selalu ikut dipamerkan sebagai ikon di stand milik Kantor Dinas Perikanan dan Kantor Dinas Peternakan.

Selain mengunjungi ikan berjanggut dan sapi berkepala dua, aku, setiap pulang sekolah selalu meluangkan waktu bermain-main di kebun binatang Minggu Raya. Lokasinya persis di kawasan Taman Air Mancur DAWN Van Der Pijl sekarang ini. Koleksi yang ada di kebon binatang ini tidaklah banyak, cuma seekor buaya, seekor ular pyton, beberapa ekor burung, dan beberapa ekor monyet.

Puluhan tahun kemudian di kota Banjarbaru kembali dibangun kebon binatang, yakni sebagai bagian dari Taman Idaman. Dulu, di lokasi ini juga pernah ada taman bunga, namun karena tidak dipelihara sebagaimana mestinya, maka taman itu  akhirnya menjadi padang semak-semak yang banyak dihuni ular berbisa.  

***

UDIN ATRET DAN ANAI. Dulu di kawasan Pasar Bauntung Banjarbaru ada gedung bioskop bernama Sederhana Theatre. Aku sering ditertawakan teman-teman karena kata theatre kulafalkan menjadi tehe atre.

“Sederhana Tehe Atre,” ujarku.

“Hahaha, dari pada tehe atre lebih baik tahi atre saja,” komentar seorang teman.

“Hahaha, atau tahi atret sekalian!” teman yang lain menimpali.

“Hahaha,” mereka tertawa terbahak-bahak.

“Lebih pas lagi Udin Atret!”

“Hahaha, ya ya ya Udin Atret lebih pas!”

“Udin Atret!,” teriak mereka ramai-ramai mengolok-olokku.

Aku lalu menonjok temanku yang mengolok-olokku Udin Atret. Ia menangkis tonjokanku dan tangan kami pun beradu. Selanjutnya kami pun berkelahi saling cakar, saling tinju, dan saling tendang satu sama lainnya. Teman-teman yang lain bukannya melerai, sebaliknya malah memprovokasi agar kami terus berkelahi .

Olok-olok Udin Atret adalah olok-olok yang paling kubenci, karena merupakan olok-olok yang menurutku paling kasar di dunia. Betapa tidak? Udin Atret merujuk kepada seorang pengidap sakit jiwa yang biasa mondar-mandir di kawasan Pasar Bauntung Banjarbaru. Orang gila itu memang bernama Udin, sama seperti namaku. Sedangkan atret  artinya mundur (untuk becak, gerobak, atau mobil). Mengapa orang gila itu dipanggil Udin Atret?.

Beginilah ceritanya.

Udin Atret berusia sekitar 40 tahun. Tubuhnya pendek dan kurus kering. Ciri khas penampilannya adalah mengenakan sarung dan kopiah butut. Ia hidup menggelandang di kawasan Pasar Bauntung Banjarbaru. Pekerjaan utamanya adalah sebagai pengemis. Setiap pagi hingga siang menjelang ia duduk di emperan sebuah toko di los pasar ikan. Berbeda dengan pengemis lain yang bisanya cuma menadahkan tangan, Udin Atret mengemis sambil melantunkan ayat-ayat suci Al Qur’an.

Udin Atret akan berhenti mengemis jika los pasar ikan sudah sepi pembeli. Ia lalu berdiri, dan  mulutnya segera berbunyi menirukan suara menderum mesin mobil yang dihidupkan.

“Drum dum, drum dum, drum dum. Tit tit tit,” ujar Udin Atret menirukan bunyi mesin mobil dan bunyi klakson. Ia rupanya sedang berfantasi tengah mengendarai sebuah mobil mewah berkeliling Pasar Bauntung Banjarbaru.

Orang-orang yang sudah terbiasa melihat kelakuan ganjil Udin Atret yang demikian itu akan saling berpandangan satu sama lainnya, lalu tersenyum simpul sambil membuat isyarat tanda miring dengan telunjuk tangan di dahinya.

Tidak jarang di antara mereka ada yang iseng berteriak.

“Awas, Din. Ada orang di depan. Atret dulu nanti tertabrak!”

“Ya, atret, Din. Atret. Terus. Terus!” yang lain menambahkan sambil berlagak sebagaimana layaknya tukang parkir sedang memandu pemilik mobil yang akan ke luar dari tempat parkir.

Udin Atret lalu memundurkan langkahnya mengikuti panduan yang diteriakkan oleh tukang parkir dadakan.

Hahaha, semua orang yang melihat adegan humor itu tertawa terbahak-bahak.

“Sama!” teriak seseorang.

Tidak hanya aku saja yang dibuat tak nyaman dengan keberadaan Udin Atret di pasar Bauntung Banjarbaru. Tetapi semua orang yang bernama Udin akan dipanggil Udin Atret oleh teman-temannya yang suka iseng atau suka berolok-olok.

Selain Udin Atret, di Pasar Bauntung Banjarbaru, masih ada warga lain yang juga sakit jiwa, yakni Anai. Anai berusia sekitar 20 tahun. Tubuhnya tinggi dan gempal. Ciri khas penampilannya adalah mengenakan baju hijau, celana hijau, dan topi baja sebagaimana layaknya seorang tentara. Sayang sekali ia rupanya tidak memiliki sepatu tentara, sehingga kemana-mana ia cuma mengenakan sepatu kets untuk olahraga. Berkaitan dengan uniform yang dikenakannya maka beredarlah gosip bahwa Anai sakit jiwa karena gagal dalam tes fisik dan mental untuk menjadi tentara.

Anai tidak selalu berada di Pasar Bauntung Banjarbaru. Ia kadang-kadang terlihat berjalan kaki ke arah Guntung Payung, Landasan Ulin, atau bahkan ke Astambul. Sering kali ada orang iseng yang menanyakan di mana ia berada selama beberapa hari sehingga tidak terlihat di Pasar Bauntung Banjarbaru. Anai tidak jarang menjawabnya dengan tangkas : Siap, Komandan. Aku ikut latihan. Mau naik pangkat.

He he he, meskipun mengaku sering ikut latihan untuk keperluan naik pangkat, namun tanda pangkat di bahu Anai tidak pernah berubah, tetap kopral. 

“Anai, katanya ikut latihan supaya naik pangkat. Kok, pangkatmu tetap kopral?

“Siap, Komandan. Aku tidak lulus.”

“Hahaha, kapan lulusnya, Nai.”

“Siap Komandan. Aku tidak tahu.”

Ha ha ha.…

Di Pasar Bauntung Banjarbaru ada seorang gadis anak pedagang kelontongan yang rupa-rupanya ditaksir Anai. Jika gadis yang bersangkutan berada di tokonya, maka Anai akan berdiri di depan toko itu. Anai lalu menyanyi. Gadis penjaga toko  itu tidak takut  kepada Anai, begitu pula halnya dengan para pembeli. Sehingga kegiatan jual beli di toko itu tetap berlangsung sebagaimana mestinya. Anai memang tidak pernah berbuat ulah yang membuat orang lain menjadi takut kepadanya. Ia cuma menyanyi. Hanya itu.

Tapi, sekali waktu, gadis penjaga toko tsb menjerit histeris. Orang-orang yang tengah berada di sekitar toko langsung mengarahkan pandangan matanya ke arah suara jeritan. Usut punyai usut ternyata Anai lupa menutup risliteng celananya, dan pistolnya tampak melongok di sana. Hehehe.

Anai rupanya frustrasi karena gadis yang ditaksirnya tidak pernah memberikan respon sebagaimana yang diharapkannya. Padahal ia sudah bersusah payah menarik perhatian dengan cara saban hari menyanyi di depan toko milik gadis pujaannya. Pengeluaran pistol yang dilakukan secara demostratif itu merupakan usahanya yang paling ekstrim. Sejak kejadian itu Anai kena cekal alias tidak boleh lagi berada di sekitar toko milik gadis yang ditaksirnya. Orang tua gadis selalu sigap mengusirnya dari tempat kejadian perkara.   

***

RITUAL MALAM DI GEDUNG BIOSKOP SEDERHANA THEATRE BANJARBARU. Setiap malam Bioskop Sederhana Theatre menjadi tempat berkumpul para pencandu filem, ada yang membeli tiket masuk, tetapi tidak sedikit yang berusaha masuk ke dalam gedung bioskop dengan cara menyerobot (tanpa karcis). Aku termasuk ke dalam kelompok yang ke dua ini (kelompok penyerobot).

Begitulah, setiap malam sehabis shalat Isya aku dan kakakku sudah berada di sekitar gedung bioskop. Dari rumah kami jalan kaki ke sana karena jaraknya cuma 500 meter. Meskipun jaraknya begitu dekat, aku tak pernah berani berangkat sendirian. Bukan karena takut bertemu orang jahat atau bertemu hantu, tapi aku takut karena mataku waktu itu terkena penyakit rabun senja (bahasa Banjar kaur hayaman).

Begitu senja tiba, maka mataku tak bisa lagi melihat dengan jelas, semuanya terlihat gelap. Apa lagi jalan menuju ke gedung bioskop tidak dilengkapi dengan penerangan listrik yang memadai. Lampu listrik yang dipasang di tiang-tiang listrik di sepanjang jalan bukanlah lampu merkuri yang terang benderang tapi cuma lampu bohlam yang bersinar kuning temaram.

Setiap kali berangkat menuju ke gedung bioskop, aku selalu berjalan dengan tertatih-tatih. Tanganku berpegangan erat pada tangan kakakku. Keadaanku ketika itu  tak ubahnya seperti orang buta yang dituntun saja. Situasinya akan lebih parah lagi ketika aku dan kakakku pulang dari gedung bioskop sekitar pukul 24.00 wite. Bagiku, jalan sepertinya gelap semua, tanpa penerangan sama sekali.

Begitu tiba di kawasan gedung bioskop, kami berdua langsung berdiri di samping kiri atau kanan pintu masuk ke gedung bioskop. Dari tempat yang strategis itulah kami mengamati orang-orang yang sedang mengantri di depan pintu masuk ke gedung bioskop. Inilah posisi yang menurut kami paling strategis. Setiap kali kami melihat ada om-om atau bapak-bapak yang kami kenali sedang ikut mengantri di sana, maka kami akan menyapanya atau sekadar memberi isyarat agar beliau berkenan mengajak kami untuk masuk ke dalam gedung bioskop dengan berpura-pura sebagai anak kemenakan mereka.

Taktik ini cukup manjur, karena om-om atau bapak-bapak yang kami kenal itu sulit untuk menolak permintaan kami. Beliau khawatir kami akan bercerita kesana kemari bahwa om ini atau bapak itu adalah orang yang pamurunan (bahasa Banjar, artinya kurang lebih raja tega). Stigma pamurunan dalam konteks tidak mau mengajak serta kemenakan menonton filem termasuk perilaku yang ketika itu bisa merusak citra diri om-om atau bapak-bapak dimaksud.   

Namun, taktik ini tidak bisa dipraktekkan jika filem yang diputar pada malam itu adalah filem untuk tujuh belas tahun ke atas. Para porter karcis yang bertugas di pintu masuk bioskop ini pasti akan bertindak tegas melarang anak di bawah umur menonton filem untuk tujuh belas tahun ke atas. Jika membandel maka petugas porter akan memanggil penjaga keamanan  yang sangat disegani oleh siapa saja, yakni Polisi Milter. Keberadaan Polisi Militer sebagai komponen penjaga keamanan merupakan salah satu keistimewaan Bioskop Sederhana Theatre Banjarbaru ketika itu. Setiap kali menghadapi kasus semacam ini aku biasanya menyesali diri mengapa usiaku tidak cepat-cepat naik menjadi tujuh belas tahun ke atas.

Boleh jadi, karena faktor kesulitan ekonomi yang dihadapi secara merata oleh segenap warga kota Banjarbaru ketika itu, maka membeli karcis untuk menonton filem dianggap sebagai pemborosan yang amat nyata. Dari pada dipakai untuk membeli karcis menonton filem di bioskop, uangnya lebih baik dibelikan beras atau lauk pauk untuk keperluan makan sehari-hari.

Setiap malam suasana di sekitar bioskop Sederhana Theatre selalu eksplosif. Begitu pintu masuk ditutup dan filem mulai diputar, maka anak-anak bengal yang berada di luar akan mulai berbuat ulah menggedor-gedor pintu bioskop dengan batu atau alat penukul lainnya sehingga menimbulkan kegaduhan luar biasa yang membuat para penonton di dalam bioskop menjadi terganggu karenanya.

Tidak tahan dengan teror gedoran semacam itu, maka petugas biasanya akan mengalah dan membuka pintu bioskop. Sudah barang tentu orang-orang yang berada di luar bioskop akan segera berebutan masuk ke dalam bioskop begitu pintu dibuka oleh petugas jaga. Mereka para penonton gratisan ini harus rela menonton sambil duduk di lantai yang jaraknya sekitar satu meter dari layar putih. Pulang dari gedung bioskop mata mereka akan berkunang-kunang dan leher mereka terasa pegal-pegal karena terlalu lama mendongak.

Bila pintu masuk gedung bioskop tak kunjung dibuka oleh petugas jaga, maka anak-anak bengal Banjarbaru akan  melakukan berbagai usaha lain untuk membuka paksa pintu masuk yang sudah dikunci rapat oleh petugas jaga. Anak-anak bengal Banjarbaru ketika itu tidak segan-segan melengkapi diri dengan sejumlah peralatan yang dapat digunakan untuk membobol pintu masuk gedung bioskop, seperti obeng, pisau belati, atau parang. Sekali waktu aku bahkan mendengar mereka membawa linggis dan membobol dinding beton toilet bioskop yang tidak dijaga petugas.

Suatu malam aku mengalami nasib nahas, ketika itu suasana di luar gedung bioskop sedang chaos atau kacau balau. Dua kelompok anak bengal terlibat cekcok, mereka saling melempar batu, dan tanpa sempay berkelit sebutir batu nerujung runcing melayang ke arahku dengan cepat, dan crap… menancap di kepalaku.

Darah segar langsung muncrat dari kepalaku, tak lama kemudian aku pingsan. Ketika siuman aku sudah berada di rumah. Kakakku bercerita tubuhku yang pingsan dibopong ramai-ramai oleh teman-teman sekampung menuju ke rumah. Peristiwa nahas itu membuat kami berdua dimarahi habis-habisan oleh kedua orang tuaku.

Menonton film termasuk hiburan yang ketika itu sangat digemari oleh warga kota Banjarbaru. Selain menonton filem di bioskop Sedehana Theatre, warga kota Banjarbaru juga sering diberi kesempatan untuk menonton filem gratis yang diputar oleh Jawatan Penerangan. Meskipun filem yang diputar oleh instansi pemerintah ini adalah filem yang itu-itu juga, warga kota Banjarbaru tak pernah melewatkan kesempatan menonton filem gratis ini. Filem yang sering diputar adalah filem binatang purba yang menyerang dan membuat kerusakan di sebuah kota. Belakangan baru aku tahu binatang purba dimaksud adalah dinosaurus.  

(Bersambung...)

***
Berminat membaca cerpen-cerpen lainnya dalam? Silakan membacanya di buku Masa Lalu di Banjarbaru. Pembelian buku bisa melalui nomor 08195188521.


0 comments: