Karya Tajuddin
Noor Ganie
KAMPUNG GUNTUNG
LUA. Hampir
setiap kali kota Banjarbaru diguyur hujan lebat rumah kami pasti kebanjiran.
Maklumlah, rumah kami berada di dataran yang paling rendah, dan terletak persis
di samping sungai. Meskipun banjir tersebut tidak berlangsung lama, hanya
sekedar numpang lewat, namun hal itu cukup membuat kami kerepotan. Sebelum air
benar-benar surut, kami harus bergotong royong membersihkan lantai rumah dari
endapan lumpur yang dibawa air bah.
Pada
saat melakukan pembersihan kami harus ekstra waspada karena sering ada ular
berbisa terjebak di dalam rumah kami. Ular berbisa masuk terbawa arus air bah
dan terjebak di dalam rumah kami. Selain dipenuhi dengan endapan lumpur rumah
kami juga dipenuhi dengan ranting kayu dan rerumputan.
Setelah
beberapa tahun direpotkan oleh masalah banjir, ayahku kemudian membangun rumah
baru di samping rumah lama. Rumah baru kami dibangun bertingkat dua. Jika
banjir datang, kami sekeluarga tinggal naik ke lantai dua.
Pembangunan
rumah bertingkat dua tidak hanya disebabkan karena masalah banjir, tetapi juga
karena masalah pertambahan anggota keluarga. Selama delapan tahun tinggal di
kampung Guntung Lua keluargaku bertambah sebanyak 5 orang, yakni 2 adik baru, 1
nenek (orang tua ayahku), dan 1 orang paman (adik ibuku).
Selama
ini rumah kami cuma dihuni 4 orang, yakni kakakku Taberi (sudah almarhum),
adikku Sri Dartika, dan adikku Mahyuddin Noor. Nenekku sebelumnya tinggal di
Bungur, Benua Padang, Kabupaten Tapin. Namun, seiring dengan usia beliau yang
semakin menua, ayah kemudian mengajaknya ikut bergabung ke rumah kami.
Sementara itu, pamanku ikut bergabung ke rumah kami setelah beliau bercekcok
dengan istrinya di Tabunganen, Kabupaten Barito Kuala.
Rumah
baru kami sengaja dibangun bertingkat dua, selain karena alasan sering terendam
banjir, juga karena alasan lahan yang sempit. Sehingga tidak ada pilihan lain
selain membangun rumah ke atas, tidak membangun rumah ke samping. Lahan kami
pada mulanya cukup luas, namun karena kesulitan ekonomi sebagian tanah dimaksud terpaksa dijual
kepada tetangga.
Pada
tahun 1966—1969, jalan masuk ke kampung Guntung Lua masih berupa jalan tanah.
Jalan beraspal cuma sampai di ujung Jalan Sintuk saja. Di ujung jalan Sintuk
ini dulunya adalah tempat pembuangan akhir sampah produksi warga kota
Banjarbaru, dan kebun pisang. Sekarang di atasnya sudah dibangun Madrasah
Zamzam Jailani.
Guntung
Lua, nama ini berasal dari dua kata, yakni guntung dan lua. Guntung adalah
istilah dalam bahasa Banjar, artinya hulu mata air sungai yang berada di bawah jurang. Selain dialiri oleh
sungai kemuning, kampung Guntung Lua juga dialiri oleh sungai kecil berair jernih yang hulu mata
airnya berada di bawah jurang, namanya juga sungai Guntung Lua.
Sementara
itu istilah Lua berasal dari nama pohon, yakni pohon Lua yang tumbuh di bawah
jurang. Pohon Lua dimaksud sangat besar, dan diyakini sebagai pohon yang
ditinggali oleh sekelompok jin. Jin dimaksud konon bertugas menjaga sebutir
intan pusaka berukuran sangat besar yang berada di dalam tanah di dekat sumber
mata air sungai Guntung Lua. Selain menjaga intan besar dimaksud mereka juga
menjaga ribuan butir intan lain yang berukuran paling kecil 5 karat.
Seorang
malim, yakni paranormal yang mampu
melihat keberadaan intan yang masih berada di dalam tanah, pernah melakukan
survei untuk mengetahui kandungan intan yang terpendam di dalam tanah di dasar
sungai Guntung Lua. Hasil survei menunjukkan jumlah butiran intan yang
terpendam di sana sangatlah banyak.
Nah,
didorong oleh hasil surveinya itu, maka malim
yang bersangkutan bermaksud untuk menjadikannya sebagai lokasi pendulangan
intan terbuka.Namun, sebelum rencananya itu diekspos ke publik, salah seorang
jin penunggunya segera melakukan penampakan. Jin itu menampakan dirinya di
hadapan malim dalam wujud seorang
wanita berparas jelita.
Jin
wanita itu memperingatkan malim agar
jangan coba-coba menjadikan kawasan yang berada di bawah pengawasannya itu
sebagai lokasi pendulangan intan terbuka. Semua intan yang terpendam di kawasan
ini adalah milik raja jin, sehingga sama sekali tidak boleh diambil oleh siapa
saja. Jangankan bangsa manusia, bangsa jin saja tidak boleh mengambilnya.
“Bangsa
manusia silakan mendulang intan di tepi kiri dan kanan sungai Kemuning dari
Timur ke Barat, karena hak raja kami atas intan-intan yang ada di kawasan itu
sudah dilepaskan dengan sukarela,” ujar jin wanita itu menjelaskan kepada Malim.
Sungai
Guntung Lua berair sangat jernih. Saking jernihnya maka kilatan sisik ikan puyau, saluang, senggiringan dan
ikan-ikan lainnya yang sedang berenang di dasar sungai dapat dilihat dengan
jelas dari atas tebingnya. Setiap hari, aku, kakakku, dan teman-teman
sekampungku memancing ikan, menangguk, menjala, menguras, memutas, atau bahkan
menembak kerumunan ikan yang hidup di dasar Sungai Guntung Lua tsb.
Pelaku
penembakan ikan ini, bukan aku dan kakakku, tapi adalah seorang oknum polisi. Mula-mula ikan
diberi makan dengan taburan ampas nyiur, setelah ikan berkumpul, lalu ditembak
dengan senapan laras panjang. Darr! Ikan-ikan yang terkejut mendengar bunyi
tembakan ada yang langsung mati, tapi ada juga yang cuma pingsan. Ikan-ikan itu
lalu dipunguti dengan menggunakan tangguk atau serokan.
Selain
di Sungai Guntung Lua, kegiatan memancing ikan, menangguk, menjala, menguras,
dan memutas itu, kami lakukan di Sungai Kemuning. Ikan-ikan dimaksud tidak bisa
ditembak karena air di Sungai Kemuning selalu keruh berwarna kuning. Air Sungai
Kemuning memang selalu keruh berwarna kuning, karena di hulu sungai ini, masih
banyak orang mendulang intan.
Ritual
memancing ikan di Sungai Kemuning ini kami lakukan pada setiap pagi antara
pukul 06.00-07.00 wite. Ikan yang diperoleh adalah ikan puyau atau bisa juga ikan saluang.
Sore hari antara pukul 15.00-16.00 wite. Ikan yang diperoleh adalah ikan senggiringan. Bila memancing malam hari
antara pukul 19.00-21.00 Wita, ikan yang diperoleh adalah ikan lele berukuran
besar.
Sepulang
sekolah, sehabis makan siang, antara pukul 14.00-15.00, kami biasanya menangguk
atau menjala ikan di sepanjang Sungai Kemuning. Dari rumahku di Guntung Lua,
kami menyisir ke timur sampai ke jembatan Bina Marga di Kampung Sumber Adi
Banjarbaru I. Lain kali kami menyisir ke barat sampai ke dekat jembatan kembar
di Loktabat Banjarbaru Utara.
Kegiatan
menguras dan memutas ikan baru kami lakukan pada musim kemarau. Tapi, tanpa
dikuras dan diputas, ikan-ikan di Sungai Kemuning tidak jarang timbul sendiri
ke permukaan air, dan bila sudah begini maka kami tinggal memungutinya dengan
tangguk atau serokan. Ikan-ikan itu sempoyongan dan terpaksa timbul ke
permukaan karena kualitas air pada musim kemarau sangatlah buruk.
***
DIPUJI GURU
SEBAGAI CALON PENGARANG BERBAKAT DI MASA DEPAN. Ketika pindah ke kampung Guntung Lua aku sudah duduk di bangku Kelas II SDN
Mawar Kencana Sekolahku terletak di bilangan Jalan Mawar, Banjarbaru III.
Sekolah ini termasuk sekolah favorit di kota Banjarbaru. Kepala Sekolahnya
bernama Pak Roem, beliau dikenal sebagai sosok pendidik yang sangat disiplin
begitu pula halnya dengan guru-guru SDN Mawar Kencana Banjarbaru III yang
lainnya.
Setiap pagi aku jalan kaki sejauh 1,5 kilometer dari kampung
Guntung Lua menuju ke sekolah. Bagi anak kecil seusiaku (7 tahun) jarak itu
cukup melelahkan untuk ditempuh. Supaya tidak terlambat datang ke sekolah, aku
harus melangkahkan kaki-kaki kecilku dengan cepat. Jika terlambat hukumannya
tidak boleh mengikuti mata pelajaran pada jam pertama.
Hukuman itulah yang kuterima ketika pada suatu hari aku datang
terlambat ke sekolah.Aku dilarang masuk
ke ruang kelas selama satu jam pelajaran. Aku sangat traumatis dengan
pengalaman buruk ini, aku takut Bu Guru melaporkan kasus ini kepada ayahku.
Ayahku pasti marah besar karenanya.
Guru SDN Mawar Kencana yang masih tetap kukenang hingga sekarang
ini adalah Bu Laila. Beliaulah orang pertama yang memberi nilai sembilan untuk
mata pelajaran mengarang. Nilai itu merupakan nilai tertinggi yang pernah
beliau berikan untuk seorang murid dalam pelajaran mengarang.
“Ibu perkenalkan, Tajuddin Noor, calon pengarang berbakat dari
sekolah kita,” ujar Bu Laila dengan bangga di depan kawan-kawanku sekelas.
Spontan kawan-kawanku bertepuk tangan memberi aplaus untukku. Aduh, bangganya
diriku. Inilah untuk kali yang pertama aku merasa tersanjung. Terima kasih, Bu
Laila.
Aku masih ingat, hari itu kami ditugaskan Bu Laila menulis
karangan tentang kerja bakti di sekolah Pujian Bu Laila mematahkan reputasi
seorang kawan yang selama ini selalu menonjol dalam pelajaran mengarang. Selama
ini ia membanggakan dirinya sebagai orang yang dapat dengan mudah menyelesaikan tugas mengarang di sekolah.
Rahasia suksesnya itu menurutnya karena ia rajin membaca komik silat.
Wah, aku merasa keder juga, karena untuk mengikuti kiatnya itu
berarti aku juga harus rajin membaca komik silat seperti dirinya. Hal ini tidak
mungkin aku lakukan karena itu berarti aku harus mengeluarkan uang untuk
menyewa komik silat di taman persewaan komik. Uang untuk menyewa komik
silat itulah yang tidak kumiliki.
Boro-boro mengeluarkan uang untuk menyewa komik silat, uang untuk beli jajan
saja belum tentu ada.
Belakangan, Bu Laila memperingatkan kawanku itu agar jangan
terlalu banyak membaca komik silat, Jika karangannya masih berbau cerita komik
silat, maka karangan itu akan diberi nilai nol, tak peduli meskipun karangannya
itu sangat menarik.
Peringatan Bu Laila itu ada kaitannya dengan sikap para guru
ketika itu, yakni agak alergi dengan komik. Komik dinilai sebagai bahan bacaan
berbahaya bagi anak sekolah. Setiap siswa yang tertangkap tangan membawa komik
ke sekolah akan mendapat peringatan keras. Komik yang dibawanya ke sekolah akan
dirampas dan baru dikembalikan jika yang mengambilnya adalah orang tua siswa
yang bersangkutan.
Aku pernah membaca karangan teman sekelasku itu. Pengaruh komik
silat yang dibacanya membuat karangannya menjadi tidak logis. Dalam karangannya
itu diceritakan bahwa di suatu kampung telah terjadi banyak kasus pencurian
ayam. Pencuri ayam dimaksud diceritakan sebagai seorang yang sakti mandraguna,
sehingga untuk menangkapnya maka pak kepala kampung kemudian menugaskan seorang
pendekar silat yang sudah barang tentu juga harus sakti mandraguna. Cerita
dimaksud tidak logis, karena tindakan kejahatan yang dilakukan tokoh antagonis
cuma sebagai maling ayam.Cerita dimaksud baru logis jika tokoh antogonisnya
bukanlah maling ayam tapi perampok rumah gadai.
Keberhasilanku mengukir prestasi pada mata pelajaran mengarang
menaikkan gengsiku di mata kawan-kawan sekolah. Selama ini mereka memandangku
dengan sebelah mata karena nilai berhitungku selalu jeblok.
Dulu, pelajaran mengarang termasuk pelajaran yang dianggap
penting, karena merupakan salah satu tugas yang harus dikerjakan sebagai bagian
dari ujian nasional untuk mata pelajaran bahasa Indonesia. Boleh jadi berkat
keterampilanku dalam mengolah kata-kata menjadi sebuah karangan maka aku
berhasil meraih nilai 9 (Sembilan) dalam ujian
nasional mata pelajaran bahasa Indonesia. Nilai inilah yang tercantum dalam
ijazahku ketika lulus SD pada tahun 1971.
(Bersambung...)
***
Berminat
membaca cerpen-cerpen lainnya dalam? Silakan membacanya di buku Masa Lalu di Banjarbaru. Pembelian
buku bisa melalui nomor 08195188521.
0 comments:
Post a Comment