Wednesday, November 14, 2018

Kamus, Kepunahan Bahasa, dan Kita



Mahmud Jauhari Ali

Ada berapa bahasa di dunia ini sejak zaman Nabi Adam as hingga sekarang?

Saya pikir jika pertanyaan itu ditujukan kepada manusia, tak ada yang bisa menjawabnya dengan benar.  Pada masa ini saja, masih belum ada kepastian ada berapa bahasa di Indonesia. Tapi, untunglah pertanyan itu tidak harus dijawab meski salah sekalipun.

Mungkin akan lebih ideal jika kita menyoal bahasa-bahasa yang nyaris punah. Dan perkara yang terakhir ini bukan hanya persoalan yang menjadi bahan pemikiran orang-orang di negara Indonesia. Konon di pulau yang dipercayai sebagai tempat induknya bahasa-bahasa Austronesia, yakni Taiwan , bahasa-bahasa yang nyaris punah sedang mendapatkan perhatian serius oleh pihak pemerintah setempat. Lalu, bagaimana di negara kita?

Mau tidak mau. Suka tidak suka. Satu hal yang perlu dicatat bahwa Indonesia memiliki bahasa daerah dengan jumlah ratusan. Setidaknya itu yang dikatakan para ahli leksikostatistik dan dialektometri. Sebut saja Mahsun  yang merupakan seorang guru besar linguistik yang bergelut dalam pemetaan bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Kita mungkin patut bangga atas jumlah yang bisa disebut fantastis tersebut. Meski demikian, kita juga tidak boleh melupakan satu fakta yang tak terbantahkan berkaitan dengan hal itu. Apa? Bahwa, tak semua bahasa daerah aman.

Saya menggunakan kata “aman” dalam arti kelestariannya terjaga.  Lantas berapa yang tidak aman? Saya rasa dari sisi jumlah kita kesampingkan dulu. Sebab, hal terpenting ialah apa dan bagaimana sikap kita terhadap kasus itu. Ada baiknya juga kita perlu merenung sejenak, bagaimana kalau yang nyaris itu menjelma kepunahan? Akankah negara kita masih disebut sebagai pemelihara bahasa? Baik, sampai di sini saya pikir arah tulisan ini sudah jelas. Tertuju pada pelestarian bahasa-bahasa secara adil dengan memperhatikan skala prioritas sesuai kondisi empiris yang apa adanya.

Kepunahan. Jika dikaitkan dengan bahasa, cenderung kepada masyarakat pendukungnya. Dalam hal ini tentu tidak lain adalah para pengguna bahasa bersangkutan. Ada kasus menarik yang mungkin perlu diketengahkan di sini. Sebut saja bahasa Abal. Kita boleh bertanya, apa yang terjadi dengan bahasa itu? Di ujung Kalimantan Selatan, tepatnya di Kabupaten Tabalong dulunya ada sebuah kerajaan bernama Abal. Nama itu sekaligus juga menjadi sebutan masyarakat setempat dan bahasa yang mereka gunakan. Saya sengaja tidak menuliskan dua kata, yakni “hingga sekarang” di ujung kalimat terakhir tadi. Satu alasan saya, bahasa itu sudah tidak dipakai secara luas di sana.

Masyarakat Abal sebenarnya adalah orang-orang dari salah satu suku Dayak yang faktanya masih ada dengan segala ragam kehidupan mereka. Ya, benar, bahwa mereka masih lestari. Realitas yang memperihatinkan terletak pada bahasanya. Menurut cerita langsung dari salah seorang dari mereka, dulu bahasa Abal digunakan sebagai bahasa perantara di lingkungan Kerajaan Abal. Seiring perkembangan zaman, orang-orang Dayak Abal memeluk agama Islam. Entah atas alasan apa, setelah mereka menjadi muslim, semua kebudayaan Abal termasuk bahasa, mereka tinggalkan. Sebagai gantinya, mereka menggunakan bahasa Banjar, yakni sebuah bahasa  yang dipakai di wilayah Kesultanan Banjar. Padahal, Islam tidak pernah memperkarakan bahasa apa pun. Tidak ada larangan dalam hal penggunaan bahasa mana saja di dalam ajaran agama ini. Alhasil, hanya dua orang yang masih bisa menggunakan bahasa Abal. Mereka itu pun sudah renta. Bisa kita bayangkan kalau mereka sudah tiada di dunia ini, apa yang akan terjadi.        

Itu hanyalah satu contoh bahasa yang nyaris punah di Pulau Kalimantan. Apa dan bagaimana sikap kita dalam hal ini? Apakah tidak peduli? Ah, saya rasa yang paling mudah adalah berdoa agar bahasa-bahasa yang ada tidak punah. Itu benar. Doa adalah ibadah. Karena, memang diawali dengan doa, kemudian usaha. Nah, usaha inilah yang akan coba saya bahas.

Ada ragam usaha yang mungkin dilakukan dalam hal tersebut di atas. Dari pemikiran-pemikiran para ahli, lahirlah berbagai-bagai solusi yang dikupas di kampus-kampus atau di seminar-seminar kebahasaan. Kita patut menyambut gembira atas semuanya.  Setidak-tidaknya, ada upaya penyelamatan bahasa meski hanya sebatas kosakata yang dimuat dalam kamus bahasa tertentu. Mengenai kamus, memang terkesan sederhana. Terdiri atas susunan kata-kata atau ungkapan disertai makna masing-masingnya. Akan tetapi, kamus dapat menjadi  upaya terakhir yang bisa dilakukan untuk mendokumentasikan bahasa menjelang kepunahannya.

Di Kalimantan Selatan sendiri, ada kamus yang memuat kosakata yang disusun dan diterbitkan Balai Bahasa Kalimantan Selatan. Sebut saja ada kamus Indonesia-Banjar Dialek Kuala, Kamus  Bahasa Banjar Dialek Hulu-Indonesia, Kamus Bahasa Indonesia-Dayak Deah (Deyah), dan Kamus Dwibahasa Indonesia-Dayak Halong. Berikut akan saya paparkan secara singkat kamus-kamus tersebut.

Kamus Indonesia-Banjar Dialek Kuala
Kamus ini disusun dalam waktu yang relatif lama, yakni sejak 2001—2008 dengan beberapa kali pergantian tim penyusunnya dan diterbitkan pada tahun 2008. Di dalamnya memuat 9.075 lema bahasa Indonesia-bahasa Banjar dialek kuala disertai contoh penggunaan kosakatanya. Adapun pemimpin redaksinya adalah Muhammad Mugeni dengan redaksi pelaksana yang terdiri atas Muhammad Mugeni, Yuliati Puspita Sari, Yuti Mahrita, Rissari Yayuk, dkk. Mereka berlatar pendidikan bahasa. Di samping itu, ada salah seorangnya, yakni Yuliati Puspita Sari yang telah mendapatkan pelatihan leksikografi awal dan lanjutan di Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Jakarta.




Kamus  Bahasa Banjar Dialek Hulu-Indonesia
Berbeda dari kamus kamus Indonesia-Banjar Dialek Kuala,  kamus ini disusun lumayan singkat, antara 2007—2008. Selain bersumber dari data-data yang berhasil dikumpulkan di lapangan, penyusunannya juga bersumber dari kamus bahasa Banjar yang sudah ada, yakni Kamus Bahasa Banjar-Indonesia Edisi III yang disusun oleh Abdul Djebar Hapip. Sedang  pemimpin redaksi kamus ini adalah Muhammad Mugeni dan redaksi pelaksana terdiri atas Musdalipah, Siti Akbari, Jahdiah, dkk. 




Kamus Bahasa Indonesia-Dayak Deah (Deyah)
Ada dua versi penyebutan nama suku Dayak ini, yakni Deah dan Deyah. Khusus di Kalimantan Selatan, penutur asli bahasa ini mendiami lima buah desa utama di Kabupaten Tabalong, yakni Desa Kinarum, Pangelak, Kaong, Bilas, dan Mangkupom. Selebihnya mendiami wilayah Kalimantan Tengah, khususnya di Kabupaten Barito Timur.  Kamus ini memuat sekitar 4.744 entri yang terdiri atas 3.106 lema dan 1.638 sublema.  Ketua penyusunan kamus ini adalah Yuiati Puspita Sari dengan anggota Musdalipah, Wahdanie Rakhman, dkk. Adapun tahun terbit kamus ini berangka 2013.




Kamus Dwibahasa Indonesia-Dayak Halong
Suku Dayak Halong merupakan salah satu Suku Dayak yang bermukim  di berbagai desa dalam wilayah Kabupaten Balangan (Pegunungan Meratus-nya), Kalimantan Selatan. Kamus ini terbit tahun 2017 dengan memuat 3.458 lema dan 3.036 sublema. Tim penyusunnya terdiri atas  Yuliati Puspita Sari, Musdalipah, dkk.




Selain kamus-kamus yang memuat kosakata di atas, di Kalimantan Selatan juga ada kamus-kamus yang memuat ungkapan. Sebut saja Kamus Pamali Banjar, Kamus Mitos Banjar, dan Kamus Peribahasa Banjar yang ketiganya disusun oleh Tajuddin Noor Ganie.  Bahkan, ada satu lagi kamus yang jarang ada di dunia, yakni Kamus Mimpi Urang Banjar yang juga disusun olehnya.

Memperhatikan realitas kebahasaan yang demikian adanya, secara jujur saya merasa prihatin sembari berharap ada upaya yang lebih baik lagi daripada yang sudah dilakukan. Di samping itu semua, ada yang tak bisa kita abaikan. Apakah itu? Pencegahan. Kata orang bijak, mencegah lebih baik daripada mengatasi. Upaya pencegahan ke arah kepunahan tentu lebih baik dan bijak daripada mengatasi masalah kepunahan bahasa. Hal sederhana yang dapat kita lakukan dalam pencegahan ini ialah menggunakan bahasa Indonesia, daerah, dan mungkin asing secara baik, benar, dan santun. Ini merupakan bentuk nyata pemertahanan bahasa mana pun di dunia.

Sebagai penutup, saya  ingin mengatakan satu hal. Bahwa kita semua perlu mengambil pelajaran dari kasus bahasa Abal seperti tersebut di atas. Karena ditinggalkan penuturnya, maka eksitensi bahasa tersebut sedang dalam keadaan yang sangat memperihatinkan. Tentu kita tidak menginginkan hal serupa terjadi pada bahasa kita, ‘kan?  

Sumber foto: koleksi pribadi 

0 comments: