![]() |
Ilustrasi: Pixabay |
Wow gila! Judul apaan itu? Setan alas banget tu! Dunia sastra yang cengeng berhadapan dengan dunia pemerintahan? Mimpi kalleeee!!!!
Sastra, 'kan bentuk kelemahan jiwa? Orang-orang yang putus cinta terlunta-lunta dalam perasaan galau dan mencurahkannya lewat sastra, misalnya, puisi. Bener ga? Mungkin ya, mungkin enggak.
Okey, serius nih, apakah memang sedemikian lemah dan menjijikkannya sastra itu? Pada masa Belanda berkuasa atas kerajaan-kerajaan dan rakyat masa itu, dunia sastra bergeliat. Saking kuatnya geliat sastrawan dalam menentang penjajahan, sampai-sampai Belanda melabeli karya sastra yang isinya membangkitkan semangat nasionalisme, sebagai bacaan liar. Ya, LIAR!!!!
Hal tersebut dimaksudkan agar masyarakat tidak membaca karya sastra yang berlabel tersebut. Bacaan-bacaan liar sangat dilarang beredar luas.
Nah, itu pada masa penjajahan. Bagaimana pada masa pascakemerdekaan?
Kita mengenal W.S Rendra. Sastrawan besar Indonesia ini sangat lantang dalam menyuarakan kritik terhadap pemerintah, khususnya era Orde Baru. Begitu pula dengan Widji Thukul yang sangat berani melawan pemerintahan pak Harto.
Karena penentangannya itulah hingga kini keberadaan Widji tidak jelas. Kemungkinan dilenyapkan pemerintah masa itu. Oh, entahlah?
Lantas, bagaimana dengan sastra masa setelahnya? Terutama semenjak Joko Widodo berkuasa?
Konon, entah benar atau tidak, dunia sastra kekinian tak seberani dulu. Itu katanya. Katanya lho ya?!
Tapi, kalau diperhatikan secara saksama, memang sih napas sastra kekinian kurang kencang dalam menyuarakan kondisi rakyat, baik lewat puisi, cerpen, novel, maupun lainnya. Suara sastra jauh di bawah suara-suara para demonstran. Bahkan, dalam hal urun-rembuk terkait isu-isu nasional, paling banter hanya mendiang Radhar Panca Dahana seorang yang dianggap mumpuni memberikan pandangannya di depan publik oleh pihak televisi, contohnya.
Waaah sayang sekali ya? Semoga ke depan para sastrawan berani bersuara lantang di alam demokrasi ini.
0 comments:
Post a Comment