Thursday, January 7, 2021

Situasi Sosial Politik Terkait Sastra di Borneo Selatan 1930—1942

 


Oleh Tajuddin Noor Ganie

 

Pada tahun 1909—1916, Alexander WF Idenburg menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia. Pada masa-masa inilah pemerintah kolonial Belanda mulai melakukan politik etis di tanah jajahannya. Sekolah-sekolah untuk kaum pribumi dengan kelas-kelas elite tertentu (kaum bangsawan, para birokrat, dan para hartawan) mulai dibuka di berbagai kota besar di Hindia Belanda (Ricklefs, 1994 : 236). 

Tapi, kebijakan Gubernur Jenderal Belanda itu hanya dilakukan secara terbatas di kota-kota besar di Pulau Jawa saja. Di kota Banjarmasin sendiri situasinya masih tetap seperti sedia kala. Terbukti,  sampai dengan tahun 1909, sekolah yang ada di kota ini cuma Sekolah Kelas II saja. Sekolah ini sendiri dibangun pada tahun 1906 oleh Johannes van Weert yang ketika itu menjadi Residen di Borneo Selatan (Borsel). 

Sampai dengan akhir masa jabatannya sebagai Residen Borsel pada tahun 1911, Johannes van Weert tidak juga membangun sekolah baru sebagaimana yang dilakukan oleh para Residen Belanda yang bertugas di Pulau Jawa. Pada tahun 1913, Residen LFJ Rycman membangun HIS (Holland Indische School), dan pada tahun 1937 Residen Moggenstrom membangun MULO (Midlebaar Uitgebreid Loger Onderwijs) (Saleh, 1979 : 22).

Masih berkaitan dengan politik etis ini pula, para birokrat Belanda yang berkuasa di Borsel (Kalsel) ketika itu, juga membiarkan sejumlah wartawan pribumi menerbitkan sejumlah surat kabar berbahasa Indonesia (Melayu) di daerah kekuasaannya. Surat kabar pertama yang diterbitkan oleh seorang wartawan pribumi, di Borsel ketika itu adalah Suara Kalimantan. Surat kabar ini diterbitkan di Banjarmasin oleh Anang Abdul Hamidhan pada tanggal 23 Maret 1930 (Artha, 1981:35).   

Gerak langkah Anang Abdul Hamidhan itu kemudian diikuti oleh para wartawan pribumi lainnya. Sehingga dalam tempo singkat tercatat ada 15 buah koran/majalah yang terbit di Borsel pada kurun waktu 1930-1942. Semua koran/majalah dimaksud  merupakan sarana yang efektif untuk menyebar-luaskan pikiran dan perasaan segenap anak bangsa yang tanah airnya sedang dijajah Bangsa Belanda. 

Pada kesempatan wawancara dengan penulis pada tanggal 20 Desember 1992, Artum Artha memaparkan bahwa selain memuat aneka jenis berita, hampir semua surat kabar yang terbit pada tahun 1930-an itu juga memuat karya sastra bergenre modern dalam bahasa Indonesia (Melayu). Contoh konkretnya, surat kabar Bintang Borneo edisi 15 September 1930, memuat sebuah puisi karangan Anak Martapura (nama samaran penyairnya) sebagaimana yang dikutipkan di bawah ini. 

BANGSAKU SADARLAH 

1
Bangun bangsaku janganlah malas
Bahana Merdeka sangatlah jelas
Bangsa tertindas asyik membantras
Bagi segala kungkungan yang pantas 

2
Ambilah haluan yang berbahagia
Arah tujuan ikutlah Jawa
Apa bila kita tidak seia
Amblas kita di dalam gelora 

3
Nah, sekarang Kalimantan dimaksud
Negeri kita mesti bersujud
Ngabdikan badan agar serajud
Nasihat ibu suatu rajud
 
4
Gayakan zaman sudah dirasa
Getir dan pahit jangan dikata
Gunakan waktu kata bujangga
Girangkan hati bila bekerja
 
5
Suluh itulah suatu obor
Sinarnya terang tidaklah kabur
Suburkan onderwijs yang masih diatur
Supaya kita jangan teledor
  
6
Ajaklah saudara suka berkumpul
Asah otak mana yang tumpul
Arahkan haluan kepada yang kepul
Agar terjadi maksud yang betul
 
7
Ketinggian derajat diselami serta
Kalimantan kita gelap gulita
Kirimkan obor penerang mata
Kalungkan tenaga dan ilmu kita
 
8
Usahlah saya berpanjang madah
Uraikan syair ini bukanlah indah
Umum hendaknya jadi pepadah
Usahakan agar jangan direndah
 
9
Salam dariku

(Anak Martapura) 

Teks asli puisi di atas ditulis dengan menggunakan ejan Van Ophnysen 

Selanjutnya, pada penerbitan edisi 13 November 1930, Surat Kabar Bintang Borneo kembali memuat sebuah puisi karangan AM (Anak Martapura, nama samaran penyairnya) sebagaimana yang dikutipkan di bawah ini. 

SEMANGAT NASIONAL 

1
Salam takzim pemnulis ucapkan
Saudara sekalian penulis pohonkan
Suka mengampuni kalau kesalahan
Selalu jangan hati sisipkan
 
2
Esa dan empat jadilah lima
Engku dan enci marilah bersama
Enakkan kali zaman drama
Embuskan kolot sifat yang lama
 
3
Malaise sekarang sudah memulas
Menyuruh bekerja janganlah malas
Mata pencaharian sangat terpulas
Maju bersatu mufakat sebelas
 

4

Aduhai saudara putra dan putri
Adakah sedih dipikirkan ini
Akan bangsa kita hampirlah mati
Awan malaise yang telah mengelubungi
 
5
Nasibnya sekarang amatlah ado
Nyatalah sudah di ini solo
Nah, intelectuelien perlu membantu
Nasibnya rakyat jangan dipaku
 
6
Gareng dan Petruk sudah katakan
Gara-gara kelaparan bakal kejadian
Guruh dan kilatnya sudah kelihatan
Gagahkan lekas dirinya intelectuelin
 
7
Adalah kerap kali orang berkata
Ada memuji dirinya semata
Akan ia sebagi pemuka
Aduhai sebenarnys itu tiada 

8
Teradat sekarang harus dikenal
Tak usah mengingat miring diagonal
Terutama membantu teman dankawal
Terharusnya sekarang janganlah gagal 

AM (Anak Martapura)

 

Teks asli puisi di atas ditulis dengan menggunakan ejan Van Ophnysen

 

Pada bulan September 1932, Surat Kabar Suara Kalimantan memuat puisi karangan Pembaca (nama samaran penyairnya) alias IAB (inisial nama penyairnya) sebagaimana yang dikutipkan di bawah ini. 

SYAIR TIGA SEJALAN 

1
Banjar itu ibuku
Tanah tumpah darahku
Kalimantan menjadi suku
Indonesia jumlah bangsaku
 
2
Kejadian baru berselang
OKL suara garang
Bangsa Banjar diserang
Dihina di muka orang
 
3
Kita tidak bersalah
Tentu berhati susah
Orang boleh timbanglah
Betapa rasanya gundah
 
4
Ampun sudah diminta
Oleh OKL nyata
Diberi oleh comite
Entahlah pada semua
 
5
Comite tidak paksakan
Kepada kita sekalian
Masing-masing ada persamaan
Janganlah jadi sesalan
 
6
Ampun comite beri
Itu kita hormati
Menonton dada musti
Kita timbang sendiri
 
7
Ampun tidak bersangkut
Kepada menonton turut
Masing-masing tidak dipaut
Merdeka untuk menyahut
 
8
Kita menonton tidak
Tiada siapa boleh memaksa
Kendati selama-lama
Tidak orang mencerca
 
9
Jangan kita salahkan
PPBB punya pendirian
Siapa pun menyingsing tangan
Berantas itu penghinaan
 
10
Ampunan tidak diminta
Oleh PPBB comite
Melainkan OKL nyata
Mengaku benar berkata
 
11
OKL telah mengaku
Permintaan ampun dahulu
Berputar belit melulu
Dibetulkan segala itu 

12
Ini terdengar lagi
Eendracht itu komidi
Coba adakan premi
Buat memikat hati
 
13
Itu juga terserah
Pada pembaca madah
Mau atau tidakkah
Rasa masing-masing lah
 
14
Kalau rasanya senang
Sudah dipikir tenang
Juga tiada terlarang
Oleh segala orang
 
15
Pikir-pikir sendiri
Nasihat Bung* tempo hari
Dalam ovenbaarverg tadi
Boleh timbang di hati
 
16
Nasihat lipat berganda
Sudah kita terima
Suruh tegah pun tidak
Masing-masing hati merdeka
 
17
Melihat pemandangan lalu
Banjar merasa tentu
Nama bangsa diganggu
Sabar rupanya perlu
 
18
Dengan adanya sabar
Tidak rusuh berkabar
Biarkan hati berdebar
Tiada menjadi onar
 
19
Penutup ini tulisan
Syair tiga sejalan
Syukur kita ucapkan
Bangsaku sabar perasaan
 
20
Derajat kepada bangsa
Segenap pelosok dunia
Dijunjung oleh anaknya
Dipuja pada hatinya
 
21
Selamat kita ucapkan
Kepada pembaca sekalian
Saudaraku se kalimantan
Terimalah salam kebangsaan 

 IAB

*Bung = merujuk kepada nasihat AA Hamidhan di ovenbaarvergedering PPBB 

Teks asli puisi di atas ditulis dengan menggunakan ejan Van Ophnysen 

Sehubungan dengan penjelasan Artum Artha yang kemudian didukung oleh bukti fisik pemuatan karya sastra berbahasa Indonesia (Melayu) di atas, maka penulis tanpa ragu menetapkan surat kabar Suara Kalimantan dan Bintang Borneo Banjarmasin sebagai tonggak awal dimulainya sejarah lokal kesusastraan Indonesia di Kalimantan Selatan (SLKI-KS). 

Sejarah penerbitan surat kabar di Borsel sesungguhnya sudah dimulai sejak tahun 1905. Ketika itu Mozes Neis menerbitkan Sinar Borneo, dan Liem Kok In menerbitkan Pengharapan.  Tetapi, surat kabar dimaksud bukan milik warga negara pribumi yang berjiwa nasionalis (kaum republiken). 

Mozes Neis, pendiri dan pemilik surat kabar Sinar Borneo adalah orang Belanda. Sehingga ia sudah barang tentu memihak kepada pemerintah kolonial Belanda. Sementara, Liem Kok In, pendiri dan pemilik surat kabar Pengharapan adalah orang Tionghoa. Ia ketika itu  lebih tertarik menjadi warga negara Republik Cina (RC, sekarang bernama Taiwan, yakni negara merdeka sebelum Partai Komunis Cina pimpinan Mao Zedong merebutnya dan mendirikan Republik Rakyat Cina (RRC yang berlandaskan komunisme). 

Negara RC ketika itu baru saja diproklamasikan oleh Dr Sun Yat Sen. Sementara itu negara Republik Indonesia sendiri, ketika itu masih berupa wacana. Dalam hal ini masih diperjuangkan pendiriannnya oleh Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, dan para bapak bangsa yang lainnya. 

Selain tidak sepenuhnya mempergunakan bahasa Indonesia (Melayu), Sinar Borneo  dan Pengharapan sudah pasti tidak bersedia memuat berita, feature, opini, dan karya sastra yang isinya dimuati dengan semangat Sumpah Pemuda, ide-ide nasionalisme bangsa Indonesia, atau gagasan Indonesia merdeka.  Sehubungan dengan itu, keduanya tidak dapat ditetapkan sebagai surat kabar yang menjadi tonggak awal dimulainya fenomena sastra pers dalam konteks sejarah lokal kesusastraan Indonesia di di Borsel.   

Ketika Anang Abdul Hamidan menerbitkan surat kabar Suara Kalimantan, bangsa Indonesia yang tinggal di Borsel, seperti halnya dengan bangsa Indonesia yang tinggal di daerah-daerah Hindia Belanda lainnya, sedang dimabuk eforia Sumpah Pemuda yang baru saja diikrarkan dalam Kongres Pemuda di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 1928. 

Sehubungan dengan itu dapat dipahami jika berita, feature, opini, dan karya sastra yang dimuat di surat kabar Suara Kalimantan, Bintang Borneo dan surat kabar terbitan Borsel lainnya ketika itu secara tersirat dan tersurat dimuati dengan semangat Sumpah Pemuda, ide-ide nasionalisme bangsa Indonesia, atau gagasan Indonesia merdeka.

 

0 comments: