Oleh Tajuddin Noor Ganie
Biografi
Ringkas
AA dilahirkan di
desa Parincahan, Kandangan, pada tanggal 20 Agustus 1920. Nama aslinya M.
Husrien. Menempuh pendidikan dasarnya di Perguruan Parindra Taman Medan Antara
Kandangan (1939). AA pernah menjadi guru bantu di Perguruan Parindra Taman
Medan Antara Kandangan, tapi kemudian lebih menekuni pekerjaannya sebagai
wartawan.
AA pernah
menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Jantung
Indonesia Kandangan (1948), SKH Kalimantan
Berjuang (Banjarmasin, 1948--1951), SKH Tugas (Balikpapan,1950--1951), SKH Indonesia
Merdeka (Banjarmasin, 1952--1954), dan SKH Utusan Kalimantan (Banjarmasin, 1957-1960). Pada tahun 1961--1963,
AA menjadi Ketua PWI Kalsel. Mulai menulis puisi, cerpen, esei sastra, dan
roman/novel sejak tahun 1930-an. AA banyak sekali mempergunakan nama pena,
antara lain Bujang Jauh, Emhart, HR Bandahara, M. Ch. Artum, M. Chayrin Artha,
dan Murya Artha.
Publikasi karya
sastranya antara lain di Majalah Keinsyafan
Gorontalo (yang rubrik sastranya diasuh oleh HB Jassin), Majalah Terang Bulan Surabaya, Majalah Mimbar Indonesia Jakarta, Majalah Panca Warna Jakarta, dan Majalah Mutiara Jakarta. Selain itu juga di
muat di Majalah Gelanggang Jakarta
(rubrik Siasat), Majalah Pelopor Jakarta,
Majalah Zenith Jakarta, Majalah Waktu Medan, Majalah Lukisan
Pujangga Medan, Majalah Pahatan Banjarmasin,
Majalah Bandarmasih Banjarmasin, SKH Banjarmasin Post Banjarmasin
(1971--2000), SKH Dinamika Berita Banjarmasin
(1995--2000), dan Tabloid Wanyi Banjarmasin.
Roman/novel yang
sudah diterbitkan antara lain adalah Kumala
Gadis Zaman Kartini (Penerbit Gemilang Kandangan, 1949), Tahanan Yang Hilang (Penerbit Pustaka
Dirgahayu Balikpapan, 1950), Kepada
Kekasihku Rokhayanah (Penerbit Mayang Mekar Banjarmasin, 1951), Putera Mahkota Yang Terbuang (Pusat
Bahasa Jakarta, 1978), dan Kartamina
(Pusat Bahasa Jakarta, 1978).
Antologi puisi
AA yang sudah diterbitkan adalah Unggunan
Puisi Banjar (Pusat Bahasa Jakarta, 1978), sementara buku kumpulan
cerpennya yang sudah diterbitkan adalah Dunia
Semakin Panas (Penerbit Pustaka Artha Mahardaheka, Banjarmasin, 1997). Buku-buku
AA yang lain adalah Masalah Kebudayaan
Banjarmasin (Banjarmasin, 1974), Album Pembangunan Kalimantan (Banjarmasin,
1975), Wartawan Wartawan Kalimantan Raya (Banjarmasin,
1981), dan Hassan Basry Bapak Gerilya Kalimantan Pejuang Kemerdekaan
(Banjarmasin, 1999).
Pada masa
revolusi fisik 1945--1949, AA ikut aktif berjuang sebagai anggota organisasi
kelasykaran yang ada di kota Kandangan, seperti GEPERINDO (1945), dan GERMERI
(Gerakan Rakyat Mempertahankan Republik Indonesia (1946). GEPERINDO adalah
organisasi kelasykaran yang ketika itu aktif bergiat memproduksi, mereproduksi,
dan menyebarluaskan pamplet-pamplet politik yang berisi provokasi anti
pemerintah kolonial Belanda.
Ketika Hassan
Basry membentuk ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan, AA ikut bergabung dan
bertugas sebagai staf di bagian penerangan. Selepas revolusi fisik, AA kemudian
lebih menekuni kariernya sebagai sastrawan, wartawan, dan anggota legislatif.
AA pernah
menjadi Ketua DPRD II Banjarmasin (Fraksi Nahdlatul Ulama) (1953--1961), Ketua
PWI Kalsel (1961--1963), Kepala Seksi Sejarah dan Kebudayaan di Kantor
Pemerintah Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan (1964--1965), Ketua Seksi D DPRD
II Banjarmasin (Fraksi ABRI dari unsur DHD Angkatan 45) (1967--1972), dan
Pimpinan Museum Banjarmasin (1965--1972).
Koleksi Museum Banjarmasin inilah yang kemudian menjadi cikal-bakal koleksi Museum Kalsel di Banjarbaru sekarang ini). AA meninggal dunia di Banjarmasin pada tanggal 28 Oktober 2002 dan dimakamkan di desa kelahirannya Parincahan, Kandangan.
Kutipan Teks Puisinya.
Berikut ini
dikutipkan puisi karangan AA berjudul Indonesia,
Gelap, dan Khatulistiwa.
INDONESIA
Angin penghabisan merujuk kepada tindakan
perlawanan yang paling menentukan yang berasal dari kekuatan anak bangsa yang
ada di tanah air tercinta (dikiaskan sebagai Pantai Laut Selatan).
Mengheningkan cipta merujuk kepada
tindakan penghormatan yang dilakukan oleh segenap anak bangsa kepada para pejuang yang telah gugur mendahului kita
semua.
Keraguan telah mati merujuk kepada fakta bahwa segenap anak bangsa yang ada di tanah air tercinta ini sudah tidak merasa ragu-ragu lagi untuk berjuang membela nusa dan bangsa. Bahkan, jika perlu mengorbankan diri sebagai kusuma bangsa, asal nusa dan bangsa ini dapat dibebaskan dari cengkraman kuku-kuku pemerintah kolonial Belanda.
Persatuan di atas kebangsaan merujuk kepada
fakta bahwa segenap anak bangsa yang ada di tanah air tercinta sudah saling
membuhulkan tekad bulat untuk saling bersatu padu secara nasional dalam
perjuangan membebaskan nusa dan bangsa dari cengkraman kuku-kuku pemerintah
kolonial Belanda.
Meluap ke atas meninggikan derajat bagi tanah air, merujuk kepada
fakta bahwa kesanggupan untuk mengobarkan diri dan semangat persatuan nasional
yang telah dibuhulkan oleh segenap anak bangsa di tanah air tercinta ini, tanpa
ragu-ragu lagi pasti akan meluap menjadi kekuatan yang maha dahsyad yang dapat
dikerahkan untuk meningkatkan kehormatan nusa dan bangsa dalam percaturan dunia
internasional.
Lalulah musyafir yang hanya menangis, merujuk kepada
status pemerintah kolonial Belanda yang berkuasa di tanah air kita tercinta,
yakni cuma sebagai orang asing yang pada mulanya hanya sekedar ikut menumpang
lewat saja.
Namun, karena kelicikan mereka dalam menjalakan politik pecah belah, maka mereka pada akhirnya justru berhasil menjadi penguasa yang bertindak sewenang-wenang terhadap pemilik nusa dan bangsa yang sah. Sungguh, sudah tiba saatnya bagi para musyafir itu untuk berlalu dan pergi kembali ke negeri asalnya sambil menangisi kekalahannya melwan kekuatan nasional yang digalang oleh segenap anak bangsa yang ada di tanah air tercinta ini.
Lihat! Fajar tiada lagi. Fajar merupakan kiasan untuk menggambarkan tingkat perjuangan segenap anak bangsa di tanah air tercinta. Tahap perjuangan mereka sudah tidak lagi di tingkat pemula, tapi sudah memasuki tingkat lanjut, bahkan sudah berada pada tingkat akhir yang sangat menentukan kemenangan mereka semua dalam perjuangan membebaskan nusa dan bangsa dari cengkraman kuku-kuku pemerintah kolonial Belanda.
Telah tiba giliran matahari beraja di kota asing. Matahari merupakan kiasan untuk menyebut para pejuangan kemerdekaan di tanah air tercinta. Telah tiba giliran bagi mereka untuk berkuasa (beraja) tidak hanya di kota-kota yang sudah dikenal, tetapi juga di kota-kota yang belum di kenal (kota asing).
Kota asing adalah bahasa kiasan untuk menyebut kota-kota yang selama ini cuma ada di angan-angan para pejuang saja. Setelah nusa dan bangsa merdeka, maka kota-kota asing yang selama ini masih berupa wacana itu akan dapat diwujudkan sedikit demi sedikit hingga pada akhirnya menjadi wujud sebagaimana yang diangan-angankan.
Penuh kesabaran dan ketabahan melawan awan hitam. Awan hitam merupakan kiasan untuk menyebut segala tantangan yang harus dihadapi oleh para pemimpin perjuangan kemerdekaan di tanah air tercinta. Semua tantangan itu harus dihadapi dengan penuh kesabaran dan ketabahan bahkan jika perlu harus ditebus dengan nyawa sekalipun.
Dan lingkungan dunia murca tinggal memandang sendu.
Lingkungan dunia murca merupakan kiasan untuk menyebut pemerintah kolonial
Belanda yang memandang sendu kepada bekas tanah jajahannya yang terpaksa
dilepaskannya akibat kekalahannya dalam peperangan melawan para pejuang
kemerdekaan di tanah air kita.
Satu persatu diam beku dan berkurban air untuk
menyiram bibit serta bunga yang harum mekar. Di antara putus dan rusak
Tunas muda
muncul dengan umat sedunia.
Putus dan rusak merupakan kiasan untuk menyebut
situasi tanah air kita yang porak poranda tak karuan setelah bangsa Indonesia
terlibat perang kemerdekaan melawan pasukan militer pemerintah kolonial
Belanda.
Pada saat itulah
kaum muda bangsa Indonesia akan tampil ke depan sebagai penerus perjuangan kaum
tua. Mereka inilah yang nantinya akan membuat nusa dan bangsa kita menjadi
sejajar kehormatannya di tengah-tengah pergaulan bangsa-bangsa di tingkat dunia
intersnasional.
Bebas, pun anggapan maruto zaman merupakan kiasan
untuk menegaskan bahwa sesuatu yang selama ini tidak mungkin, yakni segala
sesuatu yang hanya mungkin terjadi di dalam angan-angan saja, akan dapat
diwujudukan dengan mudah oleh segenap anak bangsa, jika nusa dan bangsa kita
sudah dapat dimerdekakan dari cengkraman kuku-kuku pemerintah kolonial Belanda.
Perihal agama dan keyakinan (juga) bebas. Bahasa kiasan ini merupakan
ungkapan penegas bahwa jika nusa dan bangsa sudah merdeka, maka segenap anak
bangsa akan dapat dengan bebas menjalankan syariat agamanya masing-masing.
Tidak ada lagi kekangan terhadap pelaksanaan kegiatan keagamaan di tanah air
tercinta ini.
Anggapan kaum di sebelah barat bagi kita. Buktikan
nihil, kita berada di muka sekali. Bahasa kiasan di atas merupakan
penegasan bahwa paling awal sekali, bangsa kita harus membuktikan kepada dunia
internasional bahwa apa yang dikatakan oleh orang-orang (kaum) yang berasal dari sebelah
barat sana (pemerintah kolonial Belanda) cuma omong kosong atau isapan
jempol belaka alias nihil.
Laut, selalu bebas, gelombang dan ombak adalah
bahan-bahan perjuangan menyambut hidup. Bahasa kiasan laut (yang) selalu bebas, pun
juga gelombang dan ombak (yang selalu bebas) merujuk kepada
penegasan bahwa tanah air tercinta ini memiliki banyak kekayaan alam.
Semuanya itu,
tanpa kecuali, merupakan sumber kemakmuran bersama, yang dapat dijadikan
sebagai sarana pendukung perjuangan untuk menjalani kehidupan pada masa-masa
setelah nusa dan bangsa dapat dibebaskan dari cengkraman kuku-kuku pemerintah
kolonial Belanda,
Bersama ini asam garam yang datang dari laut dan
darat.
Ia satu! Asam dan garam merupakan kiasan untuk menyebut
bahwa semua kekayaan alam yang sudah ada secara semula jadi di tanah air
tercinta ini, baik di darat maupun di laut,
semuanya, tanpa kecuali adalah milik kita bersama (ia satu).
GELAP
(Mimbar Indonesia Jakarta, 2 Desember 1950)
Kawan yang diseru penyair dalam puisinya di atas merujuk kepada segenap anak bangsa yang sama-sama ikut berjuang membebaskan tanah air tercinta dari cengkraman kuku-kuku pemerintah kolonial Belanda. Penyair sengaja mempergunakan kiasan kawan untuk memberikan kesan akrab sebagai sesama anak bangsa yang tanah airnya sedang terjajah. Penyair menegaskan kepada segenap anak bangsa (kawan) bahwa perjuangan membebaskan tanah air tercinta dari cengkraman kuku-kuku pemerintah kolonial Belanda tidak dapat ditunda lagi. Sekaranglah waktunya untuk itu. Bukan besok, apa lagi nanti kapan-kapan.
Segenap anak bangsa harus ikut berjuang membangun di bulan terang. Kiasan bulan terang merujuk kepada masa-masa ketika nusa dan bangsa telah berhasil dibebaskan dari cengkraman kuku-kuku pemerintah kolonial Belanda. Menurut penyair, pada masa-masa berjuang sekarang ini segenap anak bangsa jangan sampai mengulang kebiasaan lama, yakni melupakan cita-cita bersama membebaskan nusa dan bangsa dari cengkraman kuku-kuku pemerintah kolonial Belanda. Segenap anak bangsa harus meluangkan waktu untuk merenungkan segala sesuatu (mengatur hati dan hasrat) yang dapat dilakukannya untuk mempercepat proses perjuangan membebaskan nusa dan bangsa dari cengkraman kuku-kuku pemerintah kolonial Belanda.
Siapa masih menjilat bulan ada yang mungkin mati kelaparan! Dikejar ruang sempit perang! Bahasa berkias di atas merupakan celaan kepada segenap anak bangsa yang di saat-saat kalut seperti ini (dikejar ruang sempit perang) masih juga terlena dengan angan-angan muluk (menjilat bulan) bahwa segenap anak bangsa dapat hidup berkecukupan meskipun nusa dan bangsanya tetap berada di bawah cengkreman kuku-kuku pemerintah kolonial Belanda.
Jika segenap anak bangsa terlena dengan pikiran-pikiran muluk itu, maka risikonya akan banyak anak bangsa yang mati kelaparan. Pemerintah kolonial Belanda tidak diharapkan sebagai pengayom, karena mereka tidak sebangsa dengan kita. Mereka itu adalah penjajah nusa dan bangsa. Jadi harus diusir ke luar dari tanah air tercinta. Perjuangan membebaskan nusa dan bangsa dari cengkraman kuku-kuku pemerintah kolonial Belanda akan gagal total jika segenap anak bangsa tidak bersedia melepaskan kepentingan pribadinya (hanya mementingkan diri pribadinya semata) (dari ruang dada kembali ke ruang dada).
Dan –cerminku telah pecah. Bingkai jadi bangkai merujuk kepada sikap pribadi yang harus diambil oleh segenap anak bangsa bahwa masing-masing mereka telah membuang dengan sengaja pamrih-pamrih di balik keikut-sertaannya dalam perjuangan membebaskan nusa dan bangsa dari cengkraman kuku-kuku pemerintah kolonial Belanda.
KHATULISTIWA
Majalah
Zenith Jakarta
(Antologi Puisi Bersama Perkenalan di Dalam sajak,
Cetakan
II, 1974)
Pada hari-hari panas yang lalu merujuk kepada
perjuangan berat merebut kemerdekaan di masa lalu. Sedangkan pada hari-hari
yang panas di masa mendatang merujuk kepada perjuangan berat mengisi kemerdekaan
pada masa yang akan datang. Di antara ke dua
masa-masa itu akan terbuka kesempatan bagi aku lirik untuk memberikan
penjelasan dalam suasana yang membanggakan hati sebagai anak bangsa yang punya
harga diri.
Aku lirik
menyebut dirinya sebagai orang kedua
(yang berasal) dari laut lumpur berbau, yang
tidak (berbau) harum, (yang dimilikinya)
cuma bintang (yang) kasih pedoman. Aku lirik menyadari dirinya sebagai
warga negara kelas dua yang dihinakan (bangsa yang terjajah).
Pada masa
sekarang ini, ketika bangsa Indonesia telah merdeka (tengah berada di bawah bulan terang), tersedia waktu
yang panjang bagi aku lirik dan mu lirik untuk membicarakan kembali rekam jejak
perjuangan mereka masing-masing pada masa revolusi fisik dahulu.
Setelah
Indonesia Merdeka (di bawah bulan
terang:) aku lirik terlibat pertikaian dengan mu lirik. Di mana mu lirik
menempati posisi sebagai pejabat (engkau
raja) dan aku lirik menempati posisi sebagai rakyat yang kritis terhadap
sepak terjang mu lirik (aku pengintai
seribu mata/ranggas dari pada datuk putih)
Mu lirik rupanya
berusaha menihilkan peran serta aku lirik dalam perjuangan merebut kemerdekaan
di masa lalu dan perjuangan mengisi kemerdekaan di masa kini.
Akibatnya, aku
lirik menantang mu lirik apakah dirinya perlu membeberkan semua jasa-jasanya
terhadap bangsa dan negara yang terletak di bawah garis khatulistiwa ini.
0 comments:
Post a Comment