Sunday, January 3, 2021

ARTUM ARTHA (AA), Apa, Siapa, dan Bagaimana Puisinya


  

Oleh Tajuddin Noor Ganie 

 

Biografi Ringkas

AA dilahirkan di desa Parincahan, Kandangan, pada tanggal 20 Agustus 1920. Nama aslinya M. Husrien. Menempuh pendidikan dasarnya di Perguruan Parindra Taman Medan Antara Kandangan (1939). AA pernah menjadi guru bantu di Perguruan Parindra Taman Medan Antara Kandangan, tapi kemudian lebih menekuni pekerjaannya sebagai wartawan.

AA pernah menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Jantung Indonesia Kandangan (1948), SKH Kalimantan Berjuang (Banjarmasin, 1948--1951), SKH Tugas (Balikpapan,1950--1951), SKH Indonesia Merdeka (Banjarmasin, 1952--1954), dan SKH Utusan Kalimantan (Banjarmasin, 1957-1960). Pada tahun 1961--1963, AA menjadi Ketua PWI Kalsel. Mulai menulis puisi, cerpen, esei sastra, dan roman/novel sejak tahun 1930-an. AA banyak sekali mempergunakan nama pena, antara lain Bujang Jauh, Emhart, HR Bandahara, M. Ch. Artum, M. Chayrin Artha, dan Murya Artha.

Publikasi karya sastranya antara lain di Majalah Keinsyafan Gorontalo (yang rubrik sastranya diasuh oleh HB Jassin), Majalah Terang Bulan Surabaya, Majalah Mimbar Indonesia Jakarta, Majalah Panca Warna Jakarta, dan Majalah Mutiara Jakarta. Selain itu juga di muat di Majalah Gelanggang Jakarta (rubrik Siasat), Majalah Pelopor Jakarta, Majalah Zenith  Jakarta, Majalah Waktu Medan, Majalah Lukisan Pujangga Medan, Majalah Pahatan Banjarmasin, Majalah Bandarmasih Banjarmasin, SKH Banjarmasin Post Banjarmasin (1971--2000), SKH Dinamika Berita Banjarmasin (1995--2000), dan Tabloid Wanyi  Banjarmasin.

Roman/novel yang sudah diterbitkan antara lain adalah Kumala Gadis Zaman Kartini (Penerbit Gemilang Kandangan, 1949), Tahanan Yang Hilang (Penerbit Pustaka Dirgahayu Balikpapan, 1950), Kepada Kekasihku Rokhayanah (Penerbit Mayang Mekar Banjarmasin, 1951), Putera Mahkota Yang Terbuang (Pusat Bahasa Jakarta, 1978), dan Kartamina (Pusat Bahasa Jakarta, 1978).

Antologi puisi AA yang sudah diterbitkan adalah Unggunan Puisi Banjar (Pusat Bahasa Jakarta, 1978), sementara buku kumpulan cerpennya yang sudah diterbitkan adalah Dunia Semakin Panas (Penerbit Pustaka Artha Mahardaheka, Banjarmasin, 1997). Buku-buku AA yang lain adalah Masalah Kebudayaan Banjarmasin (Banjarmasin, 1974),  Album Pembangunan Kalimantan (Banjarmasin, 1975), Wartawan Wartawan Kalimantan Raya (Banjarmasin, 1981), dan Hassan Basry Bapak Gerilya Kalimantan Pejuang Kemerdekaan (Banjarmasin, 1999).

Pada masa revolusi fisik 1945--1949, AA ikut aktif berjuang sebagai anggota organisasi kelasykaran yang ada di kota Kandangan, seperti GEPERINDO (1945), dan GERMERI (Gerakan Rakyat Mempertahankan Republik Indonesia (1946). GEPERINDO adalah organisasi kelasykaran yang ketika itu aktif bergiat memproduksi, mereproduksi, dan menyebarluaskan pamplet-pamplet politik yang berisi provokasi anti pemerintah kolonial Belanda.

Ketika Hassan Basry membentuk ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan, AA ikut bergabung dan bertugas sebagai staf di bagian penerangan. Selepas revolusi fisik, AA kemudian lebih menekuni kariernya sebagai sastrawan, wartawan, dan anggota legislatif.

AA pernah menjadi Ketua DPRD II Banjarmasin (Fraksi Nahdlatul Ulama) (1953--1961), Ketua PWI Kalsel (1961--1963), Kepala Seksi Sejarah dan Kebudayaan di Kantor Pemerintah Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan (1964--1965), Ketua Seksi D DPRD II Banjarmasin (Fraksi ABRI dari unsur DHD Angkatan 45) (1967--1972), dan Pimpinan Museum Banjarmasin (1965--1972).

Koleksi Museum Banjarmasin inilah yang kemudian menjadi cikal-bakal koleksi Museum Kalsel di Banjarbaru sekarang ini). AA meninggal dunia di Banjarmasin pada tanggal 28 Oktober 2002 dan dimakamkan di desa kelahirannya Parincahan, Kandangan.

 

Kutipan Teks Puisinya. 

Berikut ini dikutipkan puisi karangan AA berjudul Indonesia, Gelap, dan Khatulistiwa. 

INDONESIA 

Angin penghabisan dari Pantai Laut Selatan
Mengheningkan cipta bagi segala pejuang
Keraguan telah mati
Persatuan di atas kebangsaan
Meluap ke atas meninggikan derajat bagi tanah air
Lalulah musyafir yang hanya menangis
Lihat!
Fajar tiada lagi
Telah tiba giliran matahari
beraja di kota asing
Penuh kesabaran dan ketabahan melawan awan hitam
Dan lingkungan dunia murca tinggal memandang sendu
Satu persatu diam beku dan berkurban air untuk menyiram bibit
Serta bunga yang harum mekar
 
Di antara putus dan rusak
Tunas muda muncul dengan umat sedunia
Bebas
Pun anggapan
Maruto zaman
Perihal agama dan keyakinan
Bebas
 
Anggapan kaum di sebelah barat bagi kita
Buktikan nihil, kita berada di muka sekali
Laut, selalu bebas, gelombang dan ombak
Adalah bahan-bahan perjuangan menyambut hidup
Bersama ini asam garam
 
Yang datang dari laut dan darat
Ia satu!

Angin penghabisan merujuk kepada tindakan perlawanan yang paling menentukan yang berasal dari kekuatan anak bangsa yang ada di tanah air tercinta (dikiaskan sebagai Pantai Laut Selatan).

Mengheningkan cipta merujuk kepada tindakan penghormatan yang dilakukan oleh segenap anak bangsa kepada para pejuang yang telah gugur mendahului kita semua.

Keraguan telah mati merujuk kepada fakta bahwa segenap anak bangsa yang ada di tanah air tercinta ini sudah tidak merasa ragu-ragu lagi untuk berjuang membela nusa dan bangsa. Bahkan, jika perlu mengorbankan diri sebagai kusuma bangsa, asal nusa dan bangsa ini dapat dibebaskan dari cengkraman kuku-kuku pemerintah kolonial Belanda.

Persatuan di atas kebangsaan merujuk kepada fakta bahwa segenap anak bangsa yang ada di tanah air tercinta sudah saling membuhulkan tekad bulat untuk saling bersatu padu secara nasional dalam perjuangan membebaskan nusa dan bangsa dari cengkraman kuku-kuku pemerintah kolonial Belanda.

Meluap ke atas meninggikan derajat bagi tanah air, merujuk kepada fakta bahwa kesanggupan untuk mengobarkan diri dan semangat persatuan nasional yang telah dibuhulkan oleh segenap anak bangsa di tanah air tercinta ini, tanpa ragu-ragu lagi pasti akan meluap menjadi kekuatan yang maha dahsyad yang dapat dikerahkan untuk meningkatkan kehormatan nusa dan bangsa dalam percaturan dunia internasional.

Lalulah musyafir yang hanya menangis, merujuk kepada status pemerintah kolonial Belanda yang berkuasa di tanah air kita tercinta, yakni cuma sebagai orang asing yang pada mulanya hanya sekedar ikut menumpang lewat saja.

Namun, karena kelicikan mereka dalam menjalakan politik pecah belah, maka mereka pada akhirnya justru berhasil menjadi penguasa yang bertindak sewenang-wenang terhadap pemilik nusa dan bangsa yang sah. Sungguh, sudah tiba saatnya bagi para musyafir itu untuk berlalu dan pergi kembali ke negeri asalnya sambil menangisi kekalahannya melwan kekuatan nasional yang digalang oleh segenap anak bangsa yang ada di tanah air tercinta ini.

Lihat! Fajar tiada lagi. Fajar merupakan kiasan untuk menggambarkan tingkat perjuangan segenap anak bangsa di tanah air tercinta. Tahap perjuangan mereka sudah tidak lagi di tingkat pemula, tapi sudah memasuki tingkat lanjut, bahkan sudah berada pada tingkat akhir yang sangat menentukan kemenangan mereka semua dalam perjuangan membebaskan nusa dan bangsa dari cengkraman kuku-kuku pemerintah kolonial Belanda.

Telah tiba giliran matahari beraja di kota asing. Matahari merupakan kiasan untuk menyebut para pejuangan kemerdekaan di tanah air tercinta. Telah tiba giliran  bagi mereka untuk berkuasa (beraja) tidak hanya di kota-kota yang sudah dikenal, tetapi juga di kota-kota yang belum di kenal (kota asing).

Kota asing adalah bahasa kiasan untuk menyebut kota-kota yang selama ini cuma ada di angan-angan para pejuang saja. Setelah nusa dan bangsa merdeka, maka kota-kota asing yang selama ini masih berupa wacana itu akan dapat diwujudkan sedikit demi sedikit hingga pada akhirnya menjadi wujud sebagaimana yang diangan-angankan.

Penuh kesabaran dan ketabahan melawan awan hitam. Awan hitam merupakan kiasan untuk menyebut segala tantangan yang harus dihadapi oleh para pemimpin perjuangan kemerdekaan di tanah air tercinta. Semua tantangan itu harus dihadapi dengan penuh kesabaran dan ketabahan bahkan jika perlu harus ditebus dengan nyawa sekalipun.

Dan lingkungan dunia murca tinggal memandang sendu. Lingkungan dunia murca merupakan kiasan untuk menyebut pemerintah kolonial Belanda yang memandang sendu kepada bekas tanah jajahannya yang terpaksa dilepaskannya akibat kekalahannya dalam peperangan melawan para pejuang kemerdekaan di tanah air kita.

Satu persatu diam beku dan berkurban air untuk menyiram bibit serta bunga yang harum mekar. Di antara putus dan rusak

Tunas muda muncul dengan umat sedunia.

Putus dan rusak merupakan kiasan untuk menyebut situasi tanah air kita yang porak poranda tak karuan setelah bangsa Indonesia terlibat perang kemerdekaan melawan pasukan militer pemerintah kolonial Belanda.

Pada saat itulah kaum muda bangsa Indonesia akan tampil ke depan sebagai penerus perjuangan kaum tua. Mereka inilah yang nantinya akan membuat nusa dan bangsa kita menjadi sejajar kehormatannya di tengah-tengah pergaulan bangsa-bangsa di tingkat dunia intersnasional.

Bebas, pun anggapan maruto zaman merupakan kiasan untuk menegaskan bahwa sesuatu yang selama ini tidak mungkin, yakni segala sesuatu yang hanya mungkin terjadi di dalam angan-angan saja, akan dapat diwujudukan dengan mudah oleh segenap anak bangsa, jika nusa dan bangsa kita sudah dapat dimerdekakan dari cengkraman kuku-kuku pemerintah kolonial Belanda.

Perihal agama dan keyakinan (juga) bebas. Bahasa kiasan ini merupakan ungkapan penegas bahwa jika nusa dan bangsa sudah merdeka, maka segenap anak bangsa akan dapat dengan bebas menjalankan syariat agamanya masing-masing. Tidak ada lagi kekangan terhadap pelaksanaan kegiatan keagamaan di tanah air tercinta ini.

Anggapan kaum di sebelah barat bagi kita. Buktikan nihil, kita berada di muka sekali. Bahasa kiasan di atas merupakan penegasan bahwa paling awal sekali, bangsa kita harus membuktikan kepada dunia internasional bahwa apa yang dikatakan oleh orang-orang (kaum) yang berasal dari sebelah barat sana (pemerintah kolonial Belanda) cuma omong kosong atau isapan jempol belaka alias nihil.

Laut, selalu bebas, gelombang dan ombak adalah bahan-bahan perjuangan menyambut hidup. Bahasa kiasan laut (yang) selalu bebas, pun juga gelombang dan ombak (yang selalu bebas) merujuk kepada penegasan bahwa tanah air tercinta ini memiliki banyak kekayaan alam.

Semuanya itu, tanpa kecuali, merupakan sumber kemakmuran bersama, yang dapat dijadikan sebagai sarana pendukung perjuangan untuk menjalani kehidupan pada masa-masa setelah nusa dan bangsa dapat dibebaskan dari cengkraman kuku-kuku pemerintah kolonial Belanda,

Bersama ini asam garam yang datang dari laut dan darat.

Ia satu! Asam dan garam merupakan kiasan untuk menyebut bahwa semua kekayaan alam yang sudah ada secara semula jadi di tanah air tercinta ini, baik di darat maupun di laut,  semuanya, tanpa kecuali adalah milik kita bersama (ia satu).

 

GELAP 

Kawan!
Katakan sekarang juga:
-aku-
menjerit membangun
di bulan terang…
kebiasaan lupa…
dalam teratak tiada lilin
dapat mengatur hati
apa hasrat hari ini
siapa masih menjilat bulan
ada yang mungkin
mati kelaparan!
Dikejar ruang sempit perang!
Ke luar dari ruang dada
Maka kembali
Ke ruang itu pula
Dan –cerminku telah pecah
Bingkai jadi bangkai

(Mimbar Indonesia Jakarta, 2 Desember 1950)


Kawan yang diseru penyair dalam puisinya di atas merujuk kepada segenap anak bangsa yang sama-sama ikut berjuang membebaskan tanah air tercinta dari cengkraman kuku-kuku pemerintah kolonial Belanda. Penyair sengaja mempergunakan kiasan kawan untuk memberikan kesan akrab sebagai sesama anak bangsa yang tanah airnya sedang terjajah. Penyair menegaskan kepada segenap anak bangsa (kawan) bahwa perjuangan membebaskan tanah air tercinta dari cengkraman kuku-kuku pemerintah kolonial Belanda tidak dapat ditunda lagi. Sekaranglah waktunya untuk itu. Bukan besok, apa lagi nanti kapan-kapan.

Segenap anak bangsa harus ikut berjuang membangun di bulan terang. Kiasan bulan terang merujuk kepada masa-masa ketika nusa dan bangsa telah berhasil dibebaskan dari cengkraman kuku-kuku pemerintah kolonial Belanda. Menurut penyair, pada masa-masa berjuang sekarang ini segenap anak bangsa jangan sampai mengulang kebiasaan lama, yakni melupakan cita-cita bersama membebaskan nusa dan bangsa dari cengkraman kuku-kuku pemerintah kolonial Belanda. Segenap anak bangsa harus meluangkan waktu untuk merenungkan segala sesuatu (mengatur hati dan hasrat) yang dapat dilakukannya untuk mempercepat proses perjuangan membebaskan nusa dan bangsa dari cengkraman kuku-kuku pemerintah kolonial Belanda.

Siapa masih menjilat bulan ada yang mungkin mati kelaparan! Dikejar ruang sempit perang! Bahasa berkias di atas merupakan celaan kepada segenap anak bangsa yang di saat-saat kalut seperti ini (dikejar ruang sempit perang) masih juga terlena dengan angan-angan muluk (menjilat bulan) bahwa segenap anak bangsa dapat hidup berkecukupan meskipun nusa dan bangsanya tetap berada di bawah cengkreman kuku-kuku pemerintah kolonial Belanda.

Jika segenap anak bangsa terlena dengan pikiran-pikiran muluk itu, maka risikonya akan banyak anak bangsa yang mati kelaparan. Pemerintah kolonial Belanda tidak diharapkan sebagai pengayom, karena mereka tidak sebangsa dengan kita. Mereka itu adalah penjajah nusa dan bangsa. Jadi harus diusir ke luar dari tanah air tercinta. Perjuangan membebaskan nusa dan bangsa dari cengkraman kuku-kuku pemerintah kolonial Belanda akan gagal total jika segenap anak bangsa tidak bersedia melepaskan kepentingan pribadinya (hanya mementingkan diri pribadinya semata) (dari ruang dada kembali ke ruang dada).

Dan –cerminku telah pecah. Bingkai jadi bangkai merujuk kepada sikap pribadi yang harus diambil oleh segenap anak bangsa bahwa masing-masing mereka telah membuang dengan sengaja pamrih-pamrih di balik keikut-sertaannya dalam perjuangan membebaskan nusa dan bangsa dari cengkraman kuku-kuku pemerintah kolonial Belanda.

 

KHATULISTIWA 

Pada hari-hari panas yang lalu dan mendatang
Ada sekarang tiba giliranku
-kasih penjelasan
dalam keadaan di bawah sinar khatulistiwa
di jarak datarannya dan langit
 
sekarang tumbuh giliranku
kasih penjelasan dari penjelmaan hidup
-orang kedua dari laut lumpur berbau
-tidak harum, cuma bintang kasih pedoman
 
ini di bawah bulan terang
untuk sejenak bicarakan
antara kekasihmu
dan kekasihku
dan boleh periksa bekas berpijak
pada revolusi
 
aku tidak perlu meneken undangan
dari satu daftar baru
-cuma ada bicarakan nota-nota lama
-dan aku cuma kenal batas masing-masing
--seperti karang dan lumut kotor kuning
 
di bawah bulan terang:
engkau raja
aku pengintai seribu mata
ranggas dari pada datuk putih
 
Dan, -hai kawan yang tegak melihat
Perlukah garis tebal
Penjelasan sekali lagi?
Tokh aku dan kau, sama di jarak khatulistiwa
 

Majalah Zenith Jakarta

(Antologi Puisi Bersama Perkenalan di Dalam sajak,

Cetakan II, 1974)

 

Pada hari-hari panas yang lalu merujuk kepada perjuangan berat merebut kemerdekaan di masa lalu. Sedangkan pada hari-hari yang panas di masa mendatang merujuk  kepada perjuangan berat mengisi kemerdekaan pada masa yang akan datang. Di antara ke dua masa-masa itu akan terbuka kesempatan bagi aku lirik untuk memberikan penjelasan dalam suasana yang membanggakan hati sebagai anak bangsa yang punya harga diri. 

Ada sekarang tiba giliranku
-kasih penjelasan
dalam keadaan di bawah sinar khatulistiwa
di jarak datarannya dan langit
sekarang tumbuh giliranku
kasih penjelasan dari penjelmaan hidup 

Aku lirik menyebut dirinya sebagai orang kedua (yang berasal) dari laut lumpur berbau, yang tidak (berbau) harum, (yang dimilikinya) cuma bintang (yang) kasih pedoman. Aku lirik menyadari dirinya sebagai warga negara kelas dua yang dihinakan (bangsa yang terjajah).

 
ini di bawah bulan terang
untuk sejenak bicarakan
antara kekasihmu
dan kekasihku
dan boleh periksa bekas berpijak
pada revolusi
 

Pada masa sekarang ini, ketika bangsa Indonesia telah merdeka (tengah berada di bawah bulan terang), tersedia waktu yang panjang bagi aku lirik dan mu lirik untuk membicarakan kembali rekam jejak perjuangan mereka masing-masing pada masa revolusi fisik dahulu.

 
aku tidak perlu meneken undangan
dari satu daftar baru
-cuma ada bicarakan nota-nota lama
-dan aku cuma kenal batas masing-masing
-seperti karang dan lumut kotor kuning
 

Setelah Indonesia Merdeka (di bawah bulan terang:) aku lirik terlibat pertikaian dengan mu lirik. Di mana mu lirik menempati posisi sebagai pejabat (engkau raja) dan aku lirik menempati posisi sebagai rakyat yang kritis terhadap sepak terjang mu lirik (aku pengintai seribu mata/ranggas dari pada datuk putih)

Mu lirik rupanya berusaha menihilkan peran serta aku lirik dalam perjuangan merebut kemerdekaan di masa lalu dan perjuangan mengisi kemerdekaan di masa kini.

Akibatnya, aku lirik menantang mu lirik apakah dirinya perlu membeberkan semua jasa-jasanya terhadap bangsa dan negara yang terletak di bawah garis khatulistiwa ini.

 
Dan, -hai kawan yang tegak melihat
Perlukah garis tebal
Penjelasan sekali lagi?
Tokh aku dan kau, sama di jarak khatulistiwa

Sumber tulisan: Jagat Puisi Indonesia di Kalsel 1930--1942
Sumber foto Artum Artha: Sketsahss212

0 comments: