Monday, December 7, 2020

SECUIL BULAN DI ATAS MAHAKAM



Karya Rizani Asnawi

Lelaki itu berdiri, memandang keluar, Mahakam
dari kaca jendela kantornya yang tinggi
kemarau memanggang Juni terasa amat panas
hujan yang dinanti tak turun sama sekali

hutan membara, daun kering, coklat, menghitam
dan gugur menyedihkan
Mahakam, begitu banyak menyimpan kesan
angin membuat riak, kapal membuat gelombang
kedua tepinya runtuh perlahan-lahan

Lelaki itu berdiri, matanya lurus ke depan
lelaki itu berdiri, ingatannya berjalan ke belakang

Ke manakah perginya perahu-perahu itu
tambangan yang dikayuh
dan pesut-pesut
yang gembira bergerombol
kilat tubuhnya yang hitam
tak henti-hentinya timbul tenggelam

Ke manakah jamban-jamban itu
tempat semua orang berlayar
dan haba-haba yang ditambatkan
irama gambus
yang meniup asap
aroma yang sedap dari panggang asin
yang lagi dimatangkan

mesjid tua yang tenteram
berlantai ulin penuh kesejukan
betapa nyenyak tidur
diterpa angin perlahan

anak-anak yang riang
belajar berenang di tepian
mereka yang perkasa
berenang menyeberang
di sela kumpai hanyut
tak ada yang takut buaya menerkam
begitu langka orang yang tenggelam
amatlah akrab persahabatan dengan Mahakam

Lelaki itu memandang menerawang
Samarinda seberang
mesjid tua Kampung Baka
tetapi ke mana rumah-rumah besar dan tinggi
dengan jendela-jendela panjang
pintu yang tebal
dan udara yang sejuk
anak-anak yang tak kenal susah
di kolong rumah belari berlompatan

Lelaki itu menoleh ke kiri
Gunung Steleng yang tak begitu tinggi
pepohonan yang meranggas
lalu kapal-kapal yang berlabuh
di teluknya yang teduh
Selili, Selili, oh Selili yang sepi

Lelaki itu mengejap-ngejapkan matanya
ia menoleh ke belakang
kolam renang dan gunung permandian
rumah penjara dan gereja yang penuh misteri
sebuah sekolah di sudut
di situlah sang ayah amat lama mengabdi

Lelaki itu termangu
diusapnya kumisnya yang tak begitu tebal
mulai memutih
hari pun beranjak senja
ada bayang-bayang di kaca jendela
gambar wajahnya yang mulai menua
seorang lelaki, 60 tahun dalam usia

Lampu-lampu kini telah menyala
bagai jutaan kunang-kunang menyerbu kota
gerobak, kendaraan, pabrik-pabrik
kapal pengangkat kayu dan batu bara
bunyi-bunyian menyatu dalam seribu suara
bakso, pangsit, sate, kacang rebus
jagung bakar di tenda-tenda
ayam banjar, tahu lamongan
dan seribu restoran
menebar aroma yang membangkitkan selera

pasar-pasar, lalu swalayan
semua kebutuhan kehidupan
siapakah yang masih bertanya
adakah lagi yang tak ada
dulu orang sakit karena kurang makan
kini mereka terbunuh
oleh makan yang berlebihan 

hingar bingar kota
dengan tv seribu teknik
musik-musik dari rumah dan toko
berdentuman

Lelaki itu masih berdiri di sana
bulan secuil
dan rumah-rumah mungil
rebutan dibayar dengan mencicil
ciri sebuah kota, sebuah provinsi
yang beranjak dalam transisi
kota dan sebuah pulau
tak lagi hanya sebuah suku
manis gula yang amat menghimbau
semangat bersaing meningkatkan mutu

Kini tak hanya sekedar sekolah
tak cukup hanya tingkat yang rendah
orang-orang yang bebas berlomba melangkah
sekolah unggulan, perguruan tinggi
dengan jurusan pilihan hati

rumah sakit kini berbenah diri
selain bersih layanan pun manusiawi
pepohonan hijau, kandang burung dan taman yang asri
kapal beradu cepat
dan pesawat dibuatkan tempat hinggapnya

Lelaki itu belum juga lelah berdiri
kini ia goyang-goyangkan pinggangnya
ia mulai mengingat-ingat
sudah berapa jauh langkahnya
dan kerja, sudah cukupkah pengabdiannya
orang-orang bercerita tentang perubahan
arti sebuah jembatan, rumah-rumah ibadah
dan sekolahan
Rumah sakit, pasar-pasar dan kapal yang berseliweran
bahkan, gerobak sampah, banjir
dan mobil kebakaran
bila ada yang kurang
karena memang kebutuhan tak pernah terpuaskan
dan manusia mnungkin terlalu banyak tuntutan

Lelaki itu masih berdiri di sana
termangu
ia tak melihat di tepi Mahakam
seribu tangan dilambaikan
mulut mereka menyanyi riang
karena mereka telah diberi tempat dan kesempatan
sebuah negeri yang memberi kehidupan
sebuah propinsi yang jauh dari keributan
sebuah kota yang aman tenteram, kata orang

Lelaki itu kini tersenyum
bulan semakin tinggi di atas Mahakam
kilat air dalam cahaya
ada rasa bahagia
sebagai anak manusia

tiba-tiba
lelaki itu tersentak
ada suara orang berteriak
pintu yang digedor kuat-kuat

ia melangkah ke sana
sebuah lift tak mau terbuka

Lelaki itu membalik
memanggil penjaga
pelan-pelan ia berkata
adakah ciptaan kita yang sempurna

tiba-tiba
lelaki itu terkesiap
gemuruh suara, membahana
reformasi, reformasi
orang-orang dengan ikat kepala
betapa gerang
korupsi, kolusi, nepotisme
semua telunjuk ke wajahnya

lelaki itu terpana
ia bertanya
siapa aku sebenarnya

Samarinda, Juni 1998


BIODATA RIZANI ASNAWI


Rizani Asnawi lahir di Samarinda pada tanggal 7 Juni 1944. Pengarang yang sering memakai nama samaran Ani As tersebut adalah anak ketiga dari pasangan Mohamad Asnawi dan Radiah. Rizani menikah dengan Syahpiah Wahab, wanita kelahiran Loa Kulu, pada tanggal 24 September 1951. Pasangan tersebut dikaruniai tiga orang anak, yaituy Fikri Syahriza, Nataya Haroonsri, dan Kritaya Zenaida. Hingga akhir hayatnya, Rizani dan keluarga tinggal di Jalan Gamelan, Kompleks Prefab, Samarinda. Rizani Asnawi adalah seorang yang sangat memerhatikan pendidikan. Ia memperoleh gelar sarjana dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada (1971) dan magister dari School of Public Administration, University of Southern California, Angeles, USA (1985).

Dengan latar pendidikan yang cukup tinggi tersebut, Rizani memilih untuk menjadi pegawai negeri sipil. Ia mulai meniti karier sebagai pegawai negeri pada tahun 1972 di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Tingkat I Kalimantan Timur. Pada tahun 1980, ia dimutasikan ke Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Tingkat I Kalimantan Timur. Kemudian, pada 1990, ia menjadi pegawai Biro Organisasi Sekretariat Wilayah Daerah (Setwilda) Tingkat I Kalimantan Timur. Akhirnya, sejak 1998 sampai dengan 2002, ia bekerja di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Tingkat I Kalimantan Timur.

Rizani menggemari dunia sastra sejak belajar di SMA. Ia tercatat sebagai salah seorang pengembang seni teater modern di Kalimantan Timur. Bekerja sama dengan Bengkel Teater Yogyakarta, Rizani berhasil mendatangkan Untung Basuki, seorang pelatin teater serbabisa, untuk memberikan pelatihan bagi para seniman teater Kalimantan Timur. Rizani juga berhasil mengembangkan teater anak-anak (Kelompok Teater Rumpun Pisang) dengan pelatin/-pembina Syafril Teha NurSyafril Teha Noor.

Karya-karya Rizani yang berupa puisi pernah dimuat di harian Kedaulatan Rakyat dan Mercu Suar Yogyakarta. Ia juga menulis naskah drama anak-anak khusus untuk pementasan anak-anak, baik panggung maupun televisi. Rizani dikenal sebagai pemacu dan pemice perkembangan kepenyairan yang melahirkan generasi baru sastra dan sastrawan di Kalimantan Timur pada saat menjabat Ketua Dewan Kesenian Samarinda (DKS). Ia mengundang para penyair daerah dalam diskusi sastra secara rutin di rumahnya. Diskusi tersebut merupakan realisasi kesatuan pandangan dan tekad dari para penyair yang kerap berkumpul di Kampus Universitas Mulawarman untuk menggeluti dengan lebih serius dunia kepenyairan. Wadah

diskusi yang dikenal dengan nama "Malam Senin-an" tersebut berisi acara pembacaan karya dan diskusi terkait dengan karya yang dibacakan. Puisi-puisi penyair yang didiskusikan melalui forum tersebut dikumpulkan, diseleksi, dan diterbitkan menjadi sebuah buku kumpulan puisi yang diberi nama Merobek Sepi (1979).

Selain dalam antologi Merobek Sepi, Rizani Asnawi pernah menerbitkan karyanya dalam buku Bayang-Bayang (Jakarta, 1980), Menyambut Fajar (Samarinda, 2002), dan Secuil Bulan di Atas Mahakam (Samarinda, 1999). Keunikan atau ciri khas puisi karya Rizani adalah bentuk puisinya yang panjang menyerupai puisi balada. Salah satu puisinya adalah "Al Fatihah" (Al Qran dalam Imajinasi) yang dipuji oleh H.B. Jassin sebagai bentuk puisi yang belum pernah digarap oleh orang lain. Namun, karya tersebut tidak dapat ditemukan karena pihak keluarga tidak dapat mengingat siapa yang meminjam karya Rizani tersebut. 

Sumber: Biografi Pengarang Kalimantan Timur


0 comments: