Sunday, December 20, 2020

Puisi-Puisi Sanusi Pane Sang Pencari Inspirasi dari Kejayaan Budaya Indonesia


Sawah

Sawah di bawah emas padu
Padi melambai, melalai terkulai
Naik suara salung serunai,
Sejuk didengar, mendamaikan kalbu.

Sungai bersinar, menyilaukan mata,
Menyemburkan buih warna pelangi,
Anak mandi bersuka hati,
Berkejar-kejaran, berseru gembira.

Langit lazuardi bersih sungguh,
Burung elang melayang-layang,
Sebarang kara dalam udara.
Desik berdesik daun buluh,
Dibuai angin dengan sayang,
Ayam berkokok sayup suara.

Sumber: Puspa Mega (1927)


Kenangan

Kenangan timbul pelbagai warna, pelbagai rupa,
Membuat keluar keluh kesah dari dadaku,
Teringat aku dirundung malang bukan salahku
Terkenang kehilangan suluh, kehilangan puspa.

Mengapa bunga sebelum kembang terpetik gerangan, 
Belum sampai memuaskan hati, menyenangkan mata,
Mengapa aku baharu muda dapat petaka,
Habis harapan berbagia di sisi tunangan?

Di dunia bayang, tidak ada jadi penglipur
Jiwa adinda duduk terpaku mengingat untung,
Menangisi kita tidak diberi menjadi satu.

Seperti aku sampai sekarang setiap waktu,
Awan kedukaan hitam muram jadi kelubung
Hidup lelah, sebelum mati telah berkubur.

Seorang diri mengembara aku selalu,
Di dalam lembah tempat beta pertama kali,
Dipaksa waktu melahirkan cinta berahi
Merasa badanmu pada dadaku hilang malu.

Membawa ke seberang sungai engkau kuangkat,
Memeluk engkau aku lupa akan diriku.
Engkau kucium tidak insyap akan filku.
Seperti gelora cinta terikat.

Pergi ke lembah menyayat hati melemahkan tulang,
Membuat daku tidak sanggup bekerja selalu
Membuat kenangan tak dapat dihapuskan waktu.

Ah, adinda, mengapa tuan sudah berpulang,
Sebelum rumah kita pilih serta hiasi,
Tempat kita berangan-angan, kita diami?

Aku meminta kepada rupa bayang bengis
Membawa ke negara sana, ke sebelah kubur,
Tempat adinda selalu duduk hanya tepekur,
Menanti daku supaya sama meratap tangis.

Atau barangkali tak ada kehidupan baka,
Bersua kembali hari kudian hanya mimpi,
Pendapatan saja supaya ada bujukan hati,
Supaya ada jadi penawar malapetaka?

Permainan gerang kehidupan dibuat Dalang,
Jadi periang hati sendiri, bukan membela
Mengatur semua tak tetap, bermaraja lela.

Jikalau benar tidak kepalang rundungan malang
Harapan habis akan bersua sekali lagi,
Apa gerangan gunanya hidup walaupun mati.

Sinar bermain di lereng gunung,
Di dalam lurah, di atas padang.
Dengan girangnya suara burung,
Di dalam kebun, di atas ladang.

Sunting bunga menghiasi sanggul
Selendang di bahu melambai-lambai,
Diiringi pemuda bawa cangkul,
Perawan ke sawah tertawa ramai.

Keadaan beredar dengan pagi:
Malam hilang digantikan siang.
Setelah masgul alampun riang.

Tidak dapat dibimbangkan lagi:
Mimpi buruk kehidupan sekarang,
Dalam akhirat bagia datang.

Sumber: Puspa Mega (Jakarta, 1927)


Sajak

Di mana harga karangan sajak,
Bukanlah dalam maksud isinya,
Dalam bentuk, kata nan rancak
Dicari timbang dengan pilihnya.

Tanya pertama ke luar di hati,
Setelah sajak dibaca tamat,
Sehingga mana tersebut sakti,
Mengingat diri di dalam hikmat.

Rasa bujangga waktu menyusun
Kata yang datang berduyun-duyun
Dari dalam, bukan nan dicari

Harus kembali dalam pembaca,
Sebagai bayang di muka kaca,
Harus bergoncang hati nurani.

Sumber: Madah Kelana (Balai Pustaka, 1931)


Dibawa Gelombang

Alun membawa bidukku perlahan
Dalam kesunyian malam waktu
Tidak berpawang tidak berkawan
Entah kemana aku tak tahu

Jauh di atas bintang kemilau
Seperti sudah berabad-abad
Dengan damai mereka meninjau
Kehidupan bumi yang kecil amat

Aku bernyanyi dengan suara
Seperti bisikan angin di daun
Suaraku hilang dalam udara
Dalam laut yang beralun-alun

Alun membawa bidukku perlahan
Dalam kesunyian malam waktu
Tidak berpawang tidak berkawan
Entah kemana aku tak tahu

Sumber: Madah Kelana (Balai Pustaka, 1931)


Lautan Waktu

     Jiwaku talah lama merenang lautan waktu dan aku berhenti, membiarkan diriku dipermainkan gelombang.
     Aku bermimpi dibawa arus ke darat sejahtera di bawah langit bertabur bintang.
     Mata kubuka: awan mengandung guruh berkumpul di langit.
     Badai turun dan setinggi gunung gelombang naik, mengempas-empaskan daku seperti tempurung.
     Tangan kukembangkan dan mulai lagi mengharung laut, sebatang kara dalam 'alam tidak berwatas.

Sumber: Madah Kelana (Balai Pustaka, 1931)


Biodata Sanusi Pane


Lahir di Muara Sipongi, Sumatra Utara, 14 November 1905 adalah sastrawan Angkatan Pujangga Baru. Karya-karyanya banyak diterbitkan antara 1920-an sampai 1940-an. Pada antara tahun 1929--1930, ia berkesempatan mengunjungi India, yang selanjutnya akan berpengaruh besar terhadap pandangan kesusastraannya. 

Sekembalinya dari India, ia menjadi redaksi majalah Timbul yang berbahasa Belanda. Ia mulai menulis berbagai karangan kesusastraan, filsafat, dan politik, sementara tetap mengajar sebagai guru. Dalam bidang kesusastraan, Sanusi Pane seringkali dianggap sebagai kebalikan dari Sutan Takdir Alisjahbana. Sanusi Pane mencari inspirasinya pada kejayaan budaya Hindu-Budha di Indonesia pada masa lampau. Perkembangan filsafat hidupnya itu, sampailah kepada sintesis Timur dan Barat, persatuan jasmani dan rohani, dunia dan akhirat, serta idealisme dan materialisme; yang tercermin dalam karyanya Manusia Baru, yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1940.

Sanusi Pane di samping sebagai penyair, ia juga sebagai penulis berbahasa Belanda. la mulai menulis berbagai karangan yang drama. Ia wafat di Jakarta, 2 Januari 1968 pada umur 62 tahun.


Sumber keseluruhan tulisan: Lautan Waktu: Sepuluhan Puisi Klasik Indonesia

Sumber foto penyair: Wikipedia


0 comments: