Thursday, December 3, 2020

Puisi, Kebudayaan, dan Spiritualitas



ABDUL HADI W. M. 

(Sebelumnya dimuat dalam buku Mengangkat Batang Terendam: Telaah Perpuisian Melayu Nusantara Mutakhir)


Saya terpaksa merobah judul. Alasannya sederhana. Topik yang diminta panitia untuk dibahas adalah tentang pendayagunaan puisi Nusantara, saya rasakan kurang tepat dan tidak inspiratif. Jika kita ingin mengetahui betapa relevannya puisi dalam kehidupan, kita harus mengaitkannya dengan kebudayaan dan spiritualitas. Kebudayaan dan spiritualitas adalah ranah di mana penyair memainkan peranan penting sepanjang sejarah. Kecuali itu puisi juga berkaitan dengan perkembangan intelektual. Oleh karena itu berbicara tentang sejarah puisi adalah juga berbicara tentang tradisi intelektual yang berkembang dalam masyarakat. 

Jika kita mempelajari sejarah intelektual dan kebudayaan bangsa-bangsa terkemuka di dunia, kita akan selalu menemui bahwa mekarnya suatu kebudayaan ditandai dengan suburnya perkembangan sastranya, terutama puisinya. Pada saat yang sama ketika sastra tumbuh subur, kehidupan intelektual dan spiritual sedang mekar berkembang. Contoh terdekat bagi kita barangkali ialah kebangkitan kembali sastra Melayu pada abad ke-16 dan 17 M, dan munculnya kesusastraan Indonesia modern pada awal abad ke-20 M.

Marilah saya kemukakan dulu mengenai sastra Melayu. Apa yang disebut sastra Melayu mungkin sudah ada sebelum abad ke-13 M atau sebelum Islam berkembang pesat di kepulauan Melayu. Tetapi sayang sekali bahwa naskah-naskah yang menjadi bukti kehadirannya pada abad-abad terebut tidak ditemukan. Karya-karya Melayu tertua tampak dalam naskah-naskah abad ke-16 M yaitu ketika kepulauan Melayu mengalami derasnya proses islamisasi di bidang sosial, budaya dan intelektual. Kebangkitan itu ditandai dengan hadirnya syair-syair tasawuf karangan Hamzah Fansuri dan para pengikutnya di Sumatra. Dalam sejarah Islam setelah jatuhnya kekhalifatan Baghdad pada tahun 1258 M sebagai akibat serangan bangsa Mongol, para sufi menjadi pemeran utama dalam penyebaran agama Islam dan sekaligus pembangun tradisi intelektual. Mereka biasa Mereka biasa menyampaikan pengalaman spiritual dan gagasan kesufian mereka dalam ungkapan estetik sastra, khususnya dalam bentuk puisi dan kisah-kisah perumpamaan (alegori sufi). Lahirnya syair-syair tasawuf Hamzah Fansuri menandai lahirnya tradisi intelektual Melayu dan menandakan pula berkembangnya spiritualitas yang membuat kebudayaan Melayu mencapai bentuknya yang mantap.

Munculnya kesusastraaan Indonesia modern pada awal abad ke-20 M juga menandai munculnya tradisi intelektual baru di negeri yang kemudian kita sebut Indonesia. Kita tahu sastra Indonesia modern lahir setelah munculnya sekelompok kaum terpelajar yang mendapat didikan Barat berusaha mengekpresikan gagasan, pengalaman dan cita-cita kebudayaan baru mereka dalam sastra- novel, drama, dan puisi. Salah satu cita-cita yang mendorong mereka mengekpresikan diri dalam puisi ialah semangat kebangsaan. Ini terlihat dalam sajak-sajak Muhammad Yamin, Sanusi Pane, Rustam Effendy, Asmara Hadi, dan lain-lain. Semangat keindonesiaan dalam arti semangat persatuan yang merujuk kepada Sumpah Pemuda 1928, ditemui dalam sajak-sajak mereka.

***

Saudara-saudara sekalian. Akan terlalu panjang jika saya beberku bagaimana sajak-sajak mereka ikut memainkan peranan penting dalam membangun asas-asas baru kebudayaan Indonesia modern dan perkembangan intelektualnya. Setelah itu muncul gerakan sastra penting yang dimotori pada penyair seperti Pujangga Baru, Gelanggang/Angkatan 45, Lekra, Manifes Kebudayaan, Angkatan 66, Angkatan 70, dan seterusnya. Ciri dari gerakan-gerakan yang muncul terutama tampak sekali puisi, terutama ciri estetik, orientasi budaya dan spiritualitasnya. Ini tidak untuk menyepelekan novel, cerpen, atau drama.

Ciri-ciri itu secara umum merepresentasikan kecenderungan kaum terpelajar pada umumnya, yang sering disebut suara zamannya. Kita tahu bahwa kaum intelektual sering dipandang sebagai agen perobahan sosial yaitu dalam hal cara berpikir dan orientasi budaya. Marilah kita lihat misalnya Pujangga Baru. Kepenyairan Pujangga Baru mencapai puncaknya dalam sajak-sajak Amir Hamzah dan Sanusi Pane. Dalam sajak kedua penyair ini, semangat kebangsaan dan cinta tanah air lebur dalam bentuk-bentuk cinta mistikal dan religiusitas. Jadi berbeda misalnya dengan ciri yang ditemui pada sajak-sajak penyair Gelanggang seperti Chairil Anwar, Asrul Sani dan Rivai Apin. Ini dapat dipahami karena zaman Pujangga Baru memang berbeda dengan zaman Gelanggang.

Kini hamper seabad setelah kemunculannya, khazanah puisi Indonesia modern semakin kaya dan berlimpah. Dan lebih dari cukup untuk dijadikan bahan kajian oleh para sarjana yang ingin menulis sejarah intelektual masyarakat Indonesia modern. Tetapi sayangnya apabila kita berbicara tentang puisi, yang sering terjadi ialah pemisahan perkembangan puisi dari bingkai besarnya yaitu sejarah kebudayaan dan tradisi intelektual bangsanya. Jika dipisah dari tradisi intelektual, bahkan dari tradisi spiritual. di mana puisi merupakan bagian integral dari keduanya, puisi akan tampak tidak berarti. Agar puisi berarti, ia harus dibicarakan dalam rangka sejarah intelektuat dan kondisi-kondisi social atau kemanusiaan yang mempengaruhi kelahirannya. Begitulah misalnya jika kita membicarakan sajak-sajak Chairil Anwar sebagai sajak dan terpisah dengan pergolakan social pada zamannya yang berpengaruh bagi kondisi kemanusiaan dan corak kebudayaan masyarakat, maka kita tidak akan menemukan banyak yang berarti.

Begitu pula jika kita membicarakan syair-syair Hamzah Fansuri terpisah dari semangat zamannya, ketika masyarakat Melayu mengalami transformasi budaya besar-besaran disebabkan berkembangnya Islam. Dalam proses transformasi itulah puisi, yaitu sastra secara umum, memainkan peranan, khususnya dalam ikut membentuk jiwa atau asas batin kebudayaan Melayu. 

Sebagai bentuk pengucapan estetik yang menggunakan sarana bahasa dan bahasa yang digunakan adalah 'bahasa terikat', puisi memang lahir dari kesendirian dan kesunyian. "Sunyi itu lampus/Sunyi itu kudus" ungkap Amir Hamzah dalam sebuah sajaknya. Dalam kesunyiannya penyair melakukan kontemplasi dan melahirkan puisinya dengan kata-kata yang hidup, berjiwa, dan menggetarkan melebihi bahasa prosa. Dengan begitu ia sanggup memanggil jiwa yang lain, yaitu pembacanya, untuk ikut berpartisipasi dalam menghayati kondisi eksistensial kehidupan manusia pada saat-saat genting dalam sejarahnya. "Ada tanganku, sekali kan jemu terkulai/ Mainan cahaya di air, hilang bentuk dalam kabut", ujar Chairil Anwar dalam sajak "Catetan 1946". Dalam sajak ini terdapat bait yang menarik, "Kita -- anjing diburu -- tidak tahu Romeo dan Juliet berpeluk di kubur atau diranjang/ Lahir seorang besar, tenggelam berates ribu/ Semuanya harus dicatet, semuanya dapat tempat." Sutardji Calzoum Bacjri dalam sajak "Hemat" menulis seperti berikut:"Dari hari ke hari/ bunuh diri pelan pelan/ dari tahun ke tahun/ bertimbun luka di badan/ maut menabungKu/ segobang-segobang"..

Telah saya katakan bahwa puisi tidak lahir dari kekosongan. Walau ia lahir dari jiwa seorang penyair, di belakang kelahirannya adalah kondisi-kondisi social dan kemanusiaan yang menggerakkan penyair untuk menyampaikan tanggapan atau renungan. Kecuali itu di belakang kelahirannya adalah juga tradisi intelektual dan spiritual tertentu yang sedang berkembang pada zamannya. Itulah sebabnya dikatakan bahwa penyair menyampaikan suara zamannya. Ketika Mpu Kanwa melahirkan karya masterpiecenya Kakawin Arjunawiwaha (Perkawinan Arjuna), aliran pemikiran yang tengah naik daun dan mempengaruhi pandangan hidup (way of life) masyarakat adalah Tantrisme Syiwa. Melalui karyanya, Mpu Kanwa berhasil menggambarkan hampir semua aspek dari Tantrisme yang berkembang di pulau Jawa pada masa itu. Tatkala Hamzah Fansuri menulis syair-syairnya, tasawuf sedang berkembang pesat dan digandrungi oleh hampir semua lapisan masyarakat Melayu. Syair-syair Hamzah Fansuri adalah puncak dari perkembangan itu. Tasawuf Melayu mendapat bentuknya ynag mantap dalam karangan-karangannya, khususnya puisi-puisinya.

Siapa pembaca syair Melayu yang dapat melupakan bait-bait syair Hamzah Fansuri seperti, "Hamzah Fansuri di dalam Mekkah/Mencari Tuhan di Baitil Ka'bah/ Di Barus ke Quds terlalu payah/ Akhirnya dijumpa dalam rumah"? Puisi ini memang ditulis oleh 'seorang' penyair, tetapi merepresentasikan pandangan keruhanian banyak orang Melayu sampai masa kini yang kebudayaannya ikut dibentuk oleh ajaran ahli tasawuf, termasuk penyair-penyair sufi. Bacalah Syair Perahu, yang dikarang oleh salah seorang pengikut Hamzah Fansuri pada abad ke-17 M. Keseluruhan pandangan orang Melayu tentang jalan keruhanian dalam Islam, yaitu tasawuf, tergambar dalam untaian syair yang memikat itu.


Inilah karangan suatu madah 

Mengarangkan syair terlalu indah

Membetuli jalan tempat berpindah

Di sanalah iktikad diperbetuli sudah


Wahai muda kenali dirimu

Ialah perahu tamsil tubuhmu

Tiada berapa lama hidupmu

Ke akhirat jua kekal diammu


Hai muda arif budiman

Hasilkan kemudi dengan pedoman

Alat perahumu jua kerjakan

Itulah jalan membetuli insan


Syair seperti ini boleh jadi tak bisa lahir lagi sekarang. Latar belakang sosial dan alam pemikiran orang Melayu sudah berbeda. Namun relevansi puisi ini tidaklah berkurang. Historisitasnya juga jelas, betapa pada suatu masa dahulu orang Melayu merupakan para pelayar yang tangguh. Penguasannya di bidang pelayaran dan perdagangan itulah yang menyebabkan agama Islam tersebar di Nusantara. Demikian pula yang menyebabkan bahasa Melayu dipakai secara luas di kawasan Asia Tenggara sebagai bahasa pergaulan antar etnik dan bangsa di bidang perdagangan, intelektual dan keagamaan. Seraya berniaga dan menyebarkanagama, para perantau Melayu itu menyebarkan pula kesusastraan dan memperkenalkannya kepada penduduk Nusantara. 

Membaca puisi banyak sekali manfaatnya. Bukan hanya puisi-puisi klasik tetapi juga puisi modern dan kontemporer. Salah satu manfaatnya ialah melatih intuisi dan imaginasi supaya berkembang. Puisi adalah bentuk pengetahuan keempat yang dapat membawa manusia kepada pemahaman mendalam tentang hidup di samping agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Jika filsafat melatih kita mengembangkan nalar dan pemikiran spekulatif sistematis, dan ilmu pengetahuan membuat kita mengerti sesuatu melalui bukti-bukti yang dialami dan terpikirkan secara rasional positivistik, puisi menyadarkan kepada kita akan pentingnya intuisi dan imaginasi dalam menanggapi kehidupan. Puisi berbicara dari hati ke hati, mendidik perasaan kita yang sering tidak terkendali.

Banyak kegunaan membaca puisi. Tidak jarang membaca pusi memberi kedamaian dan ketenangan ketika hati gundah, melebihi mendengar sebuah lagu yang menghibur. Puisi tertentu menyampaikan kearifan secara halus yang niscaya sangat berguna. 

Untuk mengetahui arti penting sastra, khususnya puisi, dalam kehidupan dapat dilihat bagaimana masyarakat sejak dulu hingga sekarang memaknai sastra berdasarkan fungsi dan hakekatnya. Berdasar fungsi dan hakekatnya sebagai seni kata-kata, setidaknya ada empat pandangan tentang sastra/puisi: Pertama, puisi yang baik merupakan media untuk menyampaikan pengajaran atau kritik social. Pengajaran yang dimaksud bisa berupa mengenai agama, pemíkiran filsafat, etika, dan kearifan sosial. Kedua, puisi adalah seni bertutur yang tujuannya ialah menghibur seraya mendidik. Ketiga, puisi adalah ekspressi individual penyair. Keempat, puisi adalah renungan penyair atas pengalaman batinnya sendiri. Dengan berbagai fungsi yang disandangnya ini puisi memiliki kekuatan tak terhingga dalam membangun berbagai macam kesadaran kepada pembacanya, baik itu kesadaran religious, kesadaran sosial, kesadaran sejarah, maupun kesadaran diri selaku pribadi di tengah masyarakat yang sedang bergolak dan terus menerus mencari jatidirinya.

Puisi juga adalah intipati bahasa. Bahasa-bahasa yang maju dan besar di dunia tercermin dalam perkembangan puisinya dan penyair besar dalam sejarah menjadi penanda dari bentuk bangunan kerohanian dari kebudayaan bangsanya. Hafiz di Persia, Shakespeare di Inggeris, Goethe di Jerman, Iqbal di Pakistan, Tagore di India adalah contoh-contoh yang bisa dikemukakan di sini. Karya penyair-penyair ini merupakan puncak dari perkembangan jiwa bangsanya pada suatu zaman tatkala kebudayaan, intelektualitas., dan spiritualitas bangsa bersnagkutan menemukan bentuknya.

Mengenai puisi sebagai pembentuk kesadaran sejarah, banyak sekali ditunjukkan oleh sejarah. Misalnya bangkitnya puisi Indonesia modern pada awal abad ke-20 M. Lahirnya puisi modern dalam sejarah kesusastraan Indonesia dapat dikatakan dimulai dengan munculnya puisi-puisi yang sarat dengan tema kebangsaan seperti cinta tanah air dan bahasa persatuan. Penulis-penulisnya adalah para pemuda anggota Jong Soematra yang telah mendapat pendidikan di sekolah-sekolah Belanda. Jadi puisi-puisi itu lahir di tengah suasana bangkitnya semangat kebangsaan dan kehidupan intelektual bangsa Indonesia yang ketika itu masih berada di bawah penjajahan. Melalui puisi-puisi para pemuda Jong Soematra kala itu seperti Muhamad Yamin, Muhammad Hatta, Sanusi Pane, Rustam Effendy, dan lain-lain digaungkanlah perjuangan melawan kolonialisme secara halus. Yaitu perlawanan melalui bahasa. Walau mereka dapat menulis dengan bagus dalam bahasa Belanda, namun meereka memilih menulis puisi dan karangan sastra secara umum dalam bahasa Melayu. Berkat perjuangan itulah bahasa Melayu dipilih menjadi bahasa persatuan bangsa Indonesia sebagaimana diumumkan dalam Soempah Pemoeda 1928. Demikianlah kemunculan bahasa persatuan Indonesia di dunia modern diantar terutama oleh bangkitnya kesusastraan, terutama puisi para penyairnya. Dapatlah di sini dikatakan bahwa puisi penyair generasi 1920-an itu telah mengantarkan bahasa Indonesia menemukan bentuknya yang modern, terlebih di tangan penyair dari generasi berikutnya seperti Amir Hamzah dan Chairil Anwar.

Saya tak ingin berpanjang-panjang. Yang jelas khazanah puisi Indonesia sekarang sudah cukup melimpah. Akan tetapi khazanah yang demikian kaya itu diabaikan oleh bangsanya, dan terutama para pemimpinnya. Bangsa kita lebih mendahulukan kesejahteraan material dan melupakan pentingnya kekuatan intelektual dan spiritual dalam membangun kebudayaan atau kepribadian bangsa. Padahal bangsa-bangsa lain yang sudah maju sadar bahwa kemajuan hanya dapat dicapai jika bangsa cerdas, memuliakan kebajikan dan kreativitas. Misalnya Cina, Jepang, Korea Selatan, India, dan Iran. Bangsa-bangsa ini memberikan perhatian besar terhadap kesusastraan, tanpa menyombongkan diri dengan pencapaiannya di bidang ekonomi dan kemajuan tehnologinya. Bangsa kita sebaliknya. Satu satu dua langkah mencapai perkembangan di bidang ekonomi sudah sombong dan memandang rendah spiritualitas dan kebudayaan, termasuk keesusastraan.

Seorang penyair terkemuka Sutardji Calzoum Bachri pernah mengatakan bahwa bangsa yang tidak memelihara dan menghargai khazanah intelektual bangsanya, termasuk kesusastraannya, biasanya memiliki ingatan sejarah yang pendek dan mudah diombang-ambingkan kekuatan di luar dirinya. Bangsa yang ingatan sejarahnya pendek juga terseok-seok dan tertatih-tatih dalam melangkah ke depan dan selalu dalam ancaman kehilangan arah.

Saya cukupkan di sini pemaparan saya. Masih banyak sebenarnya yang ingin saya kemukakan. Namun karena keterbatasan ruang dan waktu, tidak mungkin saya berbicara lebih jauh lagi. Terima kasih. 


Biodata Penulis

Prof. Dr. Abdul Hadi W.M. atau nama lengkapnya Abdul Hadi Wiji Muthari (lahir di Sumenep, 24 Juni 1946; umur 74 tahun) adalah salah satu sastrawan, budayawan dan ahli filsafat Indonesia. Ia dikenal melalui karya-karyanya yang bernafaskan sufistik, penelitian-penelitiannya dalam bidang kesusasteraan Melayu Nusantara dan pandangan-pandangannya tentang Islam dan pluralisme.

Sumber biodata penulis: Wikipedia 

Sumber foto penulis: Narantau Madura


0 comments: