Maman S Mahayana
Patutlah kiranya kita berterima kasih pada Raja Ali Haji (1809-1870), Bapak bahasa Melayu yang mempopulerkan gurindam lewat karya fenomenalnya, Gurindam Dua Belas. Berbeda dengan syair atau pantun, perkembangan gurindam seperti selalu berada di bawah bayang-bayang Gurindam Dua Belas-nya Raja Ali Haji. Tidak banyak orang yang coba mengembangkan gurindam dalam konteks sosio-budaya. Jika syair dapat dengan mudah kita menjumpainya di berbagai karya yang menggunakan bentuk syair, maka gurindam terkesan senyap begitu saja. Demikian juga, pengaruh syair dalam khazanah puisi Indonesia pun, lebih kentara dibandingkan gurindam. Bahkan, teks lagu pun disebut sebagai syair, sedangkan mereka yang berprofesi sebagai penulis puisi, kini dikatakan sebagai penyair, penulis puisi profesional.
Adapun pantun, dalam perjalanan kesusastraan kita, sesungguhnya sangat spektakuler. Popularitas dan kebertahanan pantun, yang terutama lantaran pan-tun termasuk jenis puisi Nusantara yang tidak terikat oleh situasi, strata sosial, usia, agama, dan entah apalagi. Lihat saja, pantun dapat disampaikan dalam pesta perkawinan, khotbah Jumat, pidato resmi pejabat negara, atau berseliweran di tengah pesta anak-anak muda, keisengan para nelayan, menempel di gerobak truk atau bahkan menyempil di antara grafitu tembok jembatan. Pantun bisa saja disampaikan para bocah, remaja yang dimabuk cinta, atau para tetua yang sangat dihormati masyarakat. Begitulah pantun! la telah menjadi puisi yang paling bebas memasuki wilayah apa pun. Boleh jadi lantaran itu pula, maka pantun dikenal juga dengan sangat baik tidak hanya di tengah masyarakat Melayu, tetapi juga masyarakat Jawa, Madura, Bali, atau Sunda. Kini bagaimana pula dengan gurindam?
Raja Ali Haji sendiri dalam semacam pengantar buku yang diterbitkan E. Netscher mendefinisikan gurindam sebagai berikut:
Syahdan adalah beda antara gurindam dengan syair itu aku nyataan pula; bermula arti syair Melayu itu perkataan yang bersajak yang serupa dua berpasangan pada akhirnya, dan tiada berkehendak pada sampiran perkataan pada satu-satu pasangannya, bersalahan dengan gurindam. Adapun arti gurindam itu yaitu perkataan yang bersajak juga pada akhir pasangannya, tetapi sampiran perkataannya dengan satu pasangannya saja; jadilah seperti sajak yang pertama itu. Syarat dan sajak yang kedua itu jadi
seperti jawab.
Setelah bait terakhir fasal 12, Raja Ali Haji membuat semacam kolofon berikut ini: "Tamatlah gurindam yang dua belas fasal yaitu karangan kita Raja Ali Haji pada tahun Hijrah Nabi kita seribu dua ratus enam puluh tiga, kepada tiga likur hari bulan Rajab, hari Selasa, jam pukul lima, Negeri Riau, Pulau Penyengat."
Sutan Takdir Alisjahbana mengatakan: "Gurindam biasanya terjadi dari sebuah kalimat majemuk, yang dibagi jadi dua baris yang bersajak. Tiap-tiap baris itu sebuah kalimat dan perhubungan antara kedua kalimat itu biasanya perhubungan antara anak kalimat dengan induk kalimat. Jumlah suku kata tiap-tiap baris tiada ditentukan, demikian juga iramanya tiada tetap." Jadi, menurut Alisjah-bana, gurindam terdiri dari dua larik, yang setiap lariknya tidak ditentukan jumlah suku katanya. Dikatakan pula, bahwa maksud gurindam ialah dengan pendek mengatakan sesuatu benar kepada pepatah atau peribahasa.
Sejumlah pendapat tentang gurindam dikemukakan oleh beberapa penulis. B. Simorangkir--Simanjuntak misalnya, mengatakan, "Gurindam ini berasal dari Tamil. Bilangan barisnya dua dan bersajak sempurna ataupun tidak sempurna. Keistimewaan gurindam tersimpul dalam isinya, yakni berisi nasihat atau petuah." Harun Aminurashid menyebutkan, bahwa gurindam berasal dari bahasa Sansekerta, meskipun ada pula yang mengatakannya berasal dari bahasa Tamil. "Untuk tegasnya bolehlah kita katakan gurindam itu ialah bahasa Indonesia Tua."
Penulis lain, seperti Zuber Usman, dan R.B. Slamet-muljana, pada dasarnya membuat rumusan yang sama yang berkaitan dengan bentuk--dua larik--dan isi gurindam yang menyampaikan pesan didaktik.
Begitulah, berdasarkan penelusuran sejarahnya, gurindam dicurigai berasal dari bahasa Sansekerta, meskipun ada juga yang berpendapat berasal dari bahasa Tamil. Yang menjadi ciri khasnya adalah bentuknya yang terdiri dari dua larik (baris) yang rima akhirnya sama. Larik pertama berupa isyarat, peringatan atau semacam soal, dan larik kedua berupa akibat atau jawaban atau pesan yang hendak disampaikannya.
Dalam hal itu, berapa jumlah kata dalam setiap barisnya, tak dipersoalkan. Yang penting adalah kesamaan rima akhir. Jadi, jika dikatakan "bersajak pada akhir pasangannya," ini berarti setiap pasangan itu terdiri dari dua larik yang pola persajakan akhirnya punya kesamaan bunyi. Larik pertama semacam isyarat tematik dan larik kedua sebagai semacam pemecahan masalah.
Adapun dalam setiap baitnya, yang oleh Raja Ali Haji disebut sebagai Fasal, tidak pula dikatakan jumlah lariknya. Jadi seperti juga jumlah kata dalam setiap lariknya, jumlah larik dalam setiap pasalnya (bait) pun, tak ada ketentuannya yang pasti. Dengan perkataan lain, satu rangkap gurindam hanya terdapat dua larik, dan tidak empat larik, seperti pantun atau syair.
Walaupun begitu, mengenai jumlah kata dalam setiap lariknya kebanyakan terdiri atas empat atau lima kata. Tetapi, sering pula tidak terikat oleh jumlah kata, karena kesamaan rima akhirnya itulah yang diutamakan. Karena tidak adanya keseragaman mengenai jumlah kata dalam setiap lariknya, tidak seperti pantun atau syair, maka definisi yang kemukakan sebagian besar sarjana menyebut gurindam sebagai bentuk puisi lama yang tidak tetap ukuran jumlah kata dan jumlah lariknya.
Lalu, apa yang sesungguhnya disebut gurindam? Wilkinson, seorang sarjana Inggris, menyebut gurindam sebagai "sesuatu pepatah berangkap yang disebutkan berpadan dengan tempatnya."Sedangkan Van Ronkel, sarjana Belanda menyebut gurindam sebagai spreukdicht (seloka). Sebenarnya, masih banyak definisi lain yang dikemukakan para sarjana yang intinya menyangkut jumlah larik dalam bait, fungsi larik pertama dan kedua, serta isi yang menjadi tujuan pesan yang hendak disampaikan.
Gurindam secara umum, semula dipahami sebagai dua baris perkataan yang menjadi peribahasa atau pepatah. Jadi, secara bentuk karakteristik gurindam ditentukan berdasarkan bentuknya yang terdiri dari dua larik dalam setiap bait, dengan pola persajakan a-a atau b-b. Adapun isinya hampir tidak terlepas dari nasihat atau ajaran etika, moral, agama, perilaku, dan berbagai hal yang menyangkut kehidupan manusia di dunia. Mengingat pesan yang terkandung di dalamnya berisi nasihat atau peringatan, maka dalam masyarakat Melayu, gurindam sering dianggap sejenis dengan kata mutiara, seloka, atau ungkapan tentang tata nilai kehidupan. Dalam banyak kasus, sering juga gurindam ditulis di halaman buku atau ditempel di dinding sebagai kata-kata mutiara, sebagai penghias dinding. Kadang kala diucapkan oleh para tetua desa pada acara-acara tertentu sebagai nasihat atau peringatan. Mereka menganggap bahwa nasihat seperti itu sebagai sesuatu yang patut disampaikan dan diresapi pendengarnya. Perhatikan contoh gurindam berikut ini:
Kurang pikir kurang siasat,
Tentu dirimu kelak tersesat.
Kalau mulut tajam dan kasar,
Boleh ditimpa bahaya besar.
Pikir dahulu sebelum berkata
Supaya terelak silang sengketa
Kalau diri kena perkara
Turut susah sanak saudara
Barang siapa berbuat khianat
Tuhan kelak memberi laknat
Bagi masyarakat Melayu khususnya, contoh gurindam itu niscaya sudah tidak asing lagi. Banyak di antara anggota masyarakat yang sengaja membuat gurindam sekadar untuk memberi nasihat atau peringatan kepada orang lain. Ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak hanya sudah akrab dengan jenis puisi ini, tetapi juga sangat peduli pada sesamanya, yang diwujudkan dengan sikap Saling menasihati. Itulah sebabnya, betapapun syair dan pantun pada mulanya lebih di-kenal luas, gurindam tetap saja banyak ditulis atau diucapkan sebagai salah satu sarana untuk menyampaikan nasihat.
Pamor gurindam, seperti telah disebutkan, kemudian meningkat dan boleh dikatakan sejajar dengan pantun atau syair, setelah Raja Ali Haji memperkenalkan karyanya Gurindam Dua Belas. Orang pun lalu lebih banyak pula yang mengutip karya Raja Ali Haji itu dalam menyampaikan nasihatnya. Meskipun demikian, dalam perkembangannya tradisi penulisan gurindam sejak Raja Ali Haji, tidak banyak diketahui. Sampai kini penulisan gurindam yang coba mengangkat persoalan-persoalan aktual yang terjadi dalam kehidupan masyarakat zamannya, seperti makin surut ke belakang.
Begitulah, jika penulisan pantun dapat dengan mudah kita jumpai, karena memang masih hidup subur di tengah masyarakat kita, penulisan syair dan gurindam agaknya telah lenyap ke dalam berbagai model puisi kita.
Dari hampir semua gurindam yang ada, yang menonjol adalah pesan yang terkandung dalam nasihatnya. Sebagian besar menyangkut ajaran agama, etika, moral dan adat, baik yang disampaikan secara langsung, maupun secara kiasan. Mengingat nasihat-nasihat yang disampaikannya menyangkut peri kehidupan manusia di dunia ini, maka selama manusia mempunyai penyakit akhlak dalam batinnya, selama itu pula nasihatnya akan tetap relevan sesuai dengan perkembangan zaman.
Demikianlah, sungguh pun sekarang ini, gurindam lebih banyak dibicarakan sebagai pengetahuan mengenai kesusastraan Melayu klasik, nasihat-nasihat yang dikandungnya perlulah menjadi bahan renungan kita agar kehidupan kita di dunia ini, tetap sejalan dengan ajaran agama, sesuai dengan etika yang berlaku, serta tetap menjunjung tinggi moral kemanusiaan. Maka, tidaklah mubazir jika kita masih terus mau menyimak dan meresapi kedalaman nasihat-nasihat dalam karya sastra lama itu.
Seperti telah disinggung, dibandingkan pantun, gurindam terkesan mulai tak lagi mendapat perhatian serius sebagai sebuah tradisi berpuisi yang menyampaikan segala pesan didaktiknya. Dalam kampanye partai politik, pidato pejabat negara, khotbah keagamaan, upacara perkawinan, berbalas sms remaja abg, dan hampir di berbagai aspek kehidupan masyarakat kita, pantun bisa begitu enteng disampaikan, diproduksi, dipublikasikan, dan dijadikan semacam permainan. Boleh jadi lantaran pesan dalam pantun sering di kaitkan dengan persoalan-persoalan aktual, kontekstual, bahkan juga bisa digunakan
sebagai bahan senda-gurau.
Jika mempertimbangkan kelenturan pantun, maka kiranya penting pula diperhatikan penulis gurindam dikaitkan dengan persoalan aktual dan kontekstual. Dengan begitu, pesan dalam gurindam dapat pula menyelusup memasuki berbagai aspek kehidupan kemasyarakat kita. Nah, dalam konteks itu, saya menyambut gembira langkah yang dilakukan Haji Iberamsyah Barbary yang secara serius menyusun 1001 gurindam.
Di tengah hingar-bingar kehidupan politik di Tanah Air, berita-berita korupsi dan kebrutalan para pelaku tindak kriminal, kejahatan seksual dan kebiadaban para predator, dan entah berita apa lagi yang membuat kehidupan di negeri ini laksana penuh kemarahan, kebencian, dan nafsu setan, tiba-tiba muncul di hada-pan kita pesan-pesan moral yang menyejukkan lewat 1001 gurindam Haji Iberamsyah Barbary. Sejumlah besar gurindam itu seperti mengingatkan kita, tidak hanya coba menggali
kembali tradisi leluhur kita, sebagaimana yang dikatakan Abdul Hadi WM, "Kembali ke Akar, Kembali ke Tradisi" tetapi juga coba menyebarkan semangat gurindam dalam kehidupan kemasyarakat kita dewasa ini. Maka, buku ini penting artinya, tidak sekadar sebagai bahan bacaan yang inspiring, mengilhami kita agar ada kesadaran introspektif atas perilaku kita sehari-hari, sikap kita dalam coba menyelesaikan satu persoalan, solidaritas kita sebagai teman atau bahkan sebagai warga bangsa.
Secara sistematik, Haji Iberamsyah Barbary coba mengelompokkan gurindamnya sesuai dengan tema-tema yang dibicarakan. Cara tersebut tentu saja memudahkan kita menemukan gurindam yang bertema tertentu. Ada tema yang berkaitan dengan sikap diri, seperti optimisme, kerendahhatian, kepasrahan atau bahkan kesombongan. Ada pula tema yang membicarakan perkara korupsi, birokrasi, politik, pendidikan, dan sejumlah persoalan yang berkaitan dengan kehidupan kebangsaan kita. Dengan begitu buku ini menegaskan kepada kita, bahwa gurindam dalam konteks sekarang, perlu memasuki berbagai
wilayah kehidupan sosial, politik, keagamaan, pemerintahan, dan bahkan juga perkara nasionalisme.
Demikianlah, gurindam seyogianya tidak lagi terkungkung sekadar menyuarakan persoalan etika, moral, atau perilaku individual, melainkan berangkat dari problem umum, bahkan juga universal tentang kehidupan individu manusia orang per orang, individu dalam kehidupan keluarga, warga masyarakat, dan sesama warga bangsa. Bukankah berbagai persoalan manusia dan kemanusiaan itu pada hakikatnya terpulang pada diri manusia orang perorang. Jadi, gurindam sebelumnya atau sebagaimana yang dapat kita cermati pada Gurindam Dua Belas-nya Raja Ali Haji yang lebih bersifat penyadaran introspektif, maka gurindam dalam buku ini, selain menekankan penyadaran introspektif, juga penyadaran retrospektif.
Benar bahwa segala persoalan yang terjadi di dunia ini bersumber dari jagat kecil hati nurani manusia. Maka dapat dipahami jika Gurindam Dua Belas--Raja Ali Haji mengembalikan problem manusia dan kemanusiaan ke dalam diri manusia itu sendiri; memulangkannya ke dalam sumber yang paling hakiki: hati-nurani, kalbu manusia. Tetapi, jangan keliru pula, berbagai problem manusia itu tidak sedikit yang bersumber dari kelalaian atau kesalahan kolektif. Apakah persoalan bangsa dan negara ini semata-mata sebagai urusan individu orang per orang atau persoalan yang mestinya menjadi masalah bersama, problem kolektif, masalah yang mesti diselesaikan bersama-sama. Dengan begitu, problem bangsa dan negara sesungguhnya problem yang tidak dapat ditangani sendirian. Mesti ada gerakan bersama yang memungkinkan bangsa kita punya kesadaran sebagai bangsa. Nah, Haji Iberamsyah Barbary coba menempatkan gurindam dalam kontekstualitasnya sebagai suara moral dan etik yang dapat memasuki wilayah berbagai aspek kehidupan manusia. Dalam hal ini, gurindam yang disusunnya jadinya terasa begitu lentur, lincah, trengginas dan gesit melompat-lompat dari satu perkara ke perkara lain dengan tetap mempertahankan identitas atau jati diri gurindam itu sendiri.
Haji Iberamsyah Barbary tidak melanggar konvensi gurindam. la taat asas pada aturan main dan syarat yang menjadi identitas gurindam. Tetapi, pesan moral dan etiknya, tidak lagi sebatas urusan individu orang per orang, melainkan memasuki wilayah yang lebih luas. Jagat kecil--mikrokosmos--pada hakikatnya tidak terlepas dari persoalan yang terjadi dalam jagat besar--makrokosmos--atau sebaliknya. Maka, gurindam pun bisa bolak-balik memasuki wilayah mikro--makro kehidupan manusia.
Dalam kaitannya dengan pengajaran sastra di sekolah, tentu saja buku ini menjadi salah satu referensi penting, betapa sesungguhnya gurindam dapat memasuki wilayah apa pun, yang bersifat pribadi atau massal, yang bersifat lokal atau nasional, bahkan juga internasional.
Hal lain yang juga penting yang perlu dicermati pada gurindam dalam buku adalah sikap Haji Iberamsyah Barbary yang tak melupakan panggilan kebudayaan dan jerit sejarah puaknya, Melayu Banjar. Dengan cara itu, Haji Iberamsyah Barbary tidak hanya menyuarakan pesan moral dan etik, tetapi juga menyampaikan fakta historis berkenaan dengan masa lalu puaknya. Dalam konteks itu, gurindam yang selama ini dipahami sebagai suara moral dan etik, kini dapat menyampaikan fakta sejarah. Kontekstualitas gurindam punya cantelan aspek lain dari kehidupan manusia yang juga penting, yaitu kehidupan sosio-budaya, dan sejarah. Dengan begitu, gurindam sangat mungkin dapat meraih kembali pamornya yang cemerlang yang memungkinkan jenis puisi ini dapat berkelindan nemplok dalam berbagai aktivitas masyarakat.
Kontekstualitas gurindam dalam epilog ini mesti ditafsir-maknai sebagai pemasyarakatan gurindam dalam berbagai aspek kehidupan bangsa ini. Tahniah!
Bojonggede. 8 Juni 2014
Biodata Penulis
Maman S Mahayana, lahir di Cirebon, 18 Agustus 1957. Pengajar FIB-Universitas Indonesia, sejak 2009 bertugas sebagai dosen tamu di Hankuk Uníversity of Foreign Studies, Seoul, Korea.
Sumber foto penulis: Tribun Bali
0 comments:
Post a Comment