Saturday, December 5, 2020

Eza Thabry Husano, Siapa dan Apa saja Karyanya?



Eza Thabry Husano, lahir di Kandangan Kalimantan Selatan, 3 Agustus 1938. Menulis puisi, cerpen, naskah drama dan esai sejak 1959. 

Karyanya tersebar di berbagai media cetak di Kalimantan, Yogyakarta, dan Jakarta. Pada tahun 1985, ia menerima Hadiah Seni Bidang Sastra dari Gubernur Kalsel. Tahun 1987, menerima Piagam Penghargaan Seniman Terbaik dari Bupati Kab. Barito Kuala Marabahan. Tahun 2004, menerima Piagam Penghargaan Seniman Sastra Terbaik dari Walikota Banjarbaru pada Hari Jadi ke-5 Kota Banjarbaru. 

Puisi-puisinya terdapat dalam antologi Getar (Bulsas Kreatif Kota Batu Jatim, 1995), Getar II (Bulsas Kreatif Kota Batu Jatim, 1996), Bangkit III (Bulsas Kreatif Kota Batu Jatim, 1996), Datang dari Masa Depan (Sanggar Tasik, Tasikmalaya, 1999), Jakarta dalam Puisi Mutakhir (Dinas Kebudayaan Jakarta bekerja sama dengan Masyarakat Sastra Jakarta, 2000), Sajadah Kata (Taufik Ismail dkk, PT. Saamil Cipta Media Bandung, 2002), La Ventre de Kandangan (PemKab HSS, 2004), Perkawinan Batu (Dewan Kesenian Jakarta, 2005), dan lain-lain. 

Berikut dua contoh puisi Eza Thabry Husano. 


LANGGAM PERNIKAHAN
 
I
sajakku melukis langit, kuwarnai manik-manik batu
terbujur di remang waktu. Kunikmati keharuan itu
kerinduan menuang makna Ilahi. Tuhan tak pernah
jauh sebagai Kekasih, walau taman kita jauh. Sedangkan neraka rasa pahit tak habis-habis dalam sajakku untuk melukis alif menuju waktu.
 
II
ah, jangan ada lengan cinta runtuh dalam mengayuh bahana. Apakah aku masih utuh melayari sajak cinta di antara kepingan kata dan suara Maha-cipta. waktu tertunduk merenungi reinkarnasi dunia perjalanan jejak manusia. Seperti nyala api melelehkan bulan purnama.
 
III
kau kirim isyarat tiba-tiba, tanda asmara pernikahan
abadi, di ranjang batu sang Kekasih. Waktu berlumut memahat sajak-sajakku pada sebuah batu tanda pernikahan itu.
 
IV
inilah rumah penghabisan asmaraku, rumah menuju
kiam sebuah batu. Hitam. Diam. Seketika malam, waktu mengiris tebing usia. Berliku. Menyalip akar
akar nafasku di penghujung dzikir api. 
dalam jubah takdir matahari.
 
V
sayup-sayup ruh menggelepar menuju tarian langit
di tingkah gemalan kusut. Burung-burng waktu
melayat sejauh-jauh perjalanan taubat
 
VI
gumam takdir, aku menarikan cahaya tanpa airmata
dan kata. Wajahku bara gumpalan cinta Ku
kerinduan akhir, al-fatihah penyair
hari menguning memahat mozaik langit
melukis asmara beribu syair.
 
Banjarbaru (2010)

 

CAKAR WAKTU


perarakan cahaya lampu-lampu kehidupan
tertera dalam lambaian musim
dan getar ilalang di hempasan padang
tafsir isyarat masa lalu
ketika uap embun menelan serat rambutku
kau mengucap kata ziarah
dalam timbunan sejarah
di tepi kolam aku masih tertegun
mencicil letup luka
: siapa tahu purnama dan matahari
mengusung keranda hari?

cakar anak panah menanam darah
separuh langit kita pecah
sebelum cinta itu tamat mengaji
pusara hari berbagi
 
ku celup rindu lewat tanah
mengalir penat nafasku sendiri
memapak arakan pelayat, sunyi
lelatu meluaskan erang dan kenangan
rentang jauh seutas tali
ayunan
: masa lalu, o Kekasih
jemputlah aku!
 
Banjarbaru (2011)


Sumber tulisan: Akulah Musi (Antologi Puisi Pertemuan Penyair Nusantara V, Palembang 2011)

Sumber foto: Laman Penyair Nusantara Kalsel


0 comments: