Friday, August 7, 2020

Bahasa Daerah Segera Punah? Para Orang Tua dan Guru Bahasa Wajib Bertanggung Jawab?

 

Bahasa daerah di Indonesia bisa dikatakan sangat kaya dalam hal jumlah. Dari hasil penelitian pemetaan bahasa-bahasa daerah yang dilakukan pihak Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, tercatat setidaknya ada 400-an bahasa daerah di Indonesia.

Itu angka yang bukan main-main dan menjadi khazanah kekayaan negeri ini. Tapi, akankah angka tersebut dapat terus terjaga? 

Eksistensi bahasa tergantung penggunanya. Jika sebuah bahasa sudah tidak ada yang mengggunakannya lagi dan dilupakan, maka hilanglah sudah bahasa itu dari muka bumi. Sedang yang masih "dikenang" dan dijadikan bahan kajian, sebutlah bahasa Sanskerta sebagai contohnya. 

Berangkat dari sejarah, agaknya kita perlu mengambil sikap positif terkait persoalan bahasa daerah saat ini. Kita juga perlu meniru langkah negara lain dalam menghadapinya. Pemerintah Taiwan telah berusaha mempertahankan eksistensi bahasa-bahasa daerah di sana. 

Seperti kita ketahui, Taiwan, khususnya di Pulau Formosa, dihuni suku-suku asli yang sejatinya satu rumpun dengan sebagian besar penduduk Indonesia, yakni rumpun Bangsa Austronesia. Ada Suku Amis/Ami, Atayal, Bunun, dan lainnya lengkap dengan bahasa masing-masing yang masih eksis hingga sekarang.

Lalu, apa yang perlu dilakukan?

Konon, secara sederhana digambarkan bahwa segala peristiwa di dunia terjadi dari rangkaian sebab-akibat-sebab-akibat, dan seterusnya. Dengan kata lain, hukum kausalitas sangat kuat di dalamnya. Maka, langkah pertama adalah memperhatikan penyebab punahnya bahasa itu sendiri. 

Dalam situasi kekinian, kita dapat melihat adanya sebagian anak kecil yang lancar menggunakan bahasa Indonesia lisan di masyarakat. Dari sisi ini, kita boleh bahagia dan bangga bahwa generasi penerus bangsa ini mahir berbahasa Indonesia.

Meski demikian, kita juga tidak boleh larut dalam kondisi tersebut. Mengapa? Nah, ini pertanyaan yang mendekati faktor penyebab punahnya bahasa daerah seandainya didiamkan saja. 

Bayangkan sejenak, anak-anak kecil menggunakan bahasa Indonesia dalam pergaulan sosialnya di masyarakat. Lalu, jika ini terus-menerus terjadi, bagaimana nasib bahasa daerah di tempat anak-anak tersebut hidup?

Misalnya saja, di tempat mereka itu sebenarnya ada bahasa A (kode) sebagai bahasa daerah yang difungsikan sebagai alat komunikasi oleh masyarakat setempat. Maka, idealnya anak-anak di sana pun menggunakan bahasa tersebut dalam keseharian mereka. 

Sementara itu, bahasa Indonesia digunakan dalam ranahnya tersendiri, seperti saat proses belajar-mengajar berlangsung (bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa pengantar pendidikan) di sekolah.

Lantas, apa penyebab anak-anak lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa daerah setempat?

Banyak faktor yang melatarbelakanginya. Dulu, sasaran tembak atas hal ini ialah kawin campuran. Sebutlah si bapak orang Jawa dan si ibu orang Ambon. Mereka memutuskan menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan di dalam dan luar rumah. Kemudian, anak-anak mereka turut serta menggunakannya.

Tapi sekarang, realitas itu hanya menjadi salah satu sebab di antara sebab-sebab lainnya. Tidak percaya? Kini, anak-anak disuguhi beragam tontonan yang lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia,  selebihnya adalah bahasa asing dan sedikit sekali bahasa daerah. Bisa dikatakan, bahasa daerah hampir tidak ditayangkan dalam tontonan modern, baik di televisi, maupun media elektronik lainnya. 

Selanjutnya, sebab yang lainnya lagi malah lebih "waw". Saya sebut waw karena ada unsur menghilangkan bahasa daerah yang sebenarnya tidak perlu dilakukan. Apakah itu? 

Entah sadar atau tidak, sebagian orang tua era kekinian saat ini lebih cenderung mengutamakan penggunaan bahasa Indonesia tanpa alasan yang mendesak.

Perhatikan ilustrasi ini. Si bapak adalah orang Suku A (kode) dan si ibu juga sama. Mereka hidup di lingkungan yang masyarakatnya menggunakan bahasa A, tapi mereka menggunakan bahasa Indonesia kepada anak-anak (mereka) di rumah dan masyarakat. 

Penggunaan bahasa Indonesia yang demikian termasuk berlebihan atau melampaui batas kewajaran. Idealnya kita menggunakan bahasa sesuai pada situasi dan kondisinya. Kalau memang suami dan istri sama-sama sesuku dan bisa menggunakan bahasa daerah suku tersebut, lalu mengapa malah menggunakan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari?

Faktor-faktor penyebab seperti di atas itulah yang sebenarnya secara perlahan "meruntuhkan" atau menggerus eksistensi bahasa-bahasa daerah di negara ini. Buktinya sudah terlihat. Di Pulau Jawa, khusus wilayah perkotaannya, sebagian anak sudah tidak bisa lagi menggunakan bahasa kromo inggil. Kalaupun berbahasa Jawa, hanya sebatas ngoko.

Ini tentu kesedihan tersendiri mengingat bahasa daerah adalah kekayaan yang dimiliki Indonesia sebagai negara adidaya dalam budaya di dunia. Pertanyaannya, apakah kita rela jika suatu ketika nanti hanya ada bahasa Indonesia dan bahasa asing di Indonesia? 


0 comments: