Tuesday, June 16, 2020

Benarkah Ada Agenda Besar Membuat AS Bergolak dengan Isu Rasisme?


Ilustrasi hitam dan putih - Pixabay



Jika itu benar, apa tujuannya? Adakah hubungannya dengan perang dingin AS dan Cina?

Hubungan Cina dan AS memang kian memanas selama perang dagang dan juga terkait COVID-19 hingga saat ini. Bisa dibilang antara Xi Jinping dan Donald Trump adu taktik dan strategi jitu untuk memenangkan peperangan.

Kematian George Floyd memberikan peluang untuk memukul AS terutama lewat media. Entah bagaimana caranya tak lama setelah kematiannya, demonstrasi besar terjadi. Seakan telah dipersiapkan jauh-jauh hari. Ibarat bom waktu, pada saat yang tepat, demontrasi pun meledak dengan dahsyatnya.

Pemimpin redaksi surat kabar pemerintah China, Global Times, Hu Xijin, seperti terlansir Detik, pun segera menulis, "Kekacauan di Hong Kong yang berlangsung lebih dari setahun dan tidak ada tentara dikerahkan. Tapi baru tiga hari terjadi kekacauan di Minnesota, Trump secara terbuka mengancam penggunaan senjata api dan menyiratkan akan mengerahkan pasukan militer."

Demonstrasi atas kematian George Floyd juga menyebar luas di platform media sosial China, Weibo, yang sangat ketat dikontrol pemerintah.

Dalam salah satu utas, pengguna membuat lelucon tentang Presiden Trump yang berlindung di bungker Gedung Putih pada 29 Mei lalu di tengah demonstrasi yang memanas.

Kemudian, kasus baru, yakni insiden yang terjadi pada Rayshard Brooks. Meski sangat berbeda dengan yang terjadi pada George Floyd, tapi dinarasikan sama, "polisi AS rasis".

Dikutip dari RMOL, The Patriot Post menulis bagaimana situasi kedua insiden itu jauh berbeda.   Pada Jumat (12/6) di Atlanta, petugas menerima pangaduan tentang adanya seorang pria yang (diduga) mabuk dan tertidur di dalam mobilnya di jalur drive-through Wendys Restoran.

Ketika petugas pertama tiba, ia menemukan pria kulit hitam bernama Rayshard Brooks tertidur di dalam kendaraannya mulai membangunkannya. Petugas itu dengan ramah membimbing Brooks untuk memindahkan kendaraannya dari jalur drive-throug ke tempat parkir. Kemudian dengan ramah pula petugas menanyai Brooks. Kemudian datanglah petugas yang kedua.

Petugas yang kedua memberikan beberapa tes untuk mengetahui apakah Brooks dalam pengaruh alkohol atau tidak. Percakapan itu berlangsung baik. Tapi, Brooks gagal lolos tes. Dengan begitu petugas berhak melakukan penangkapan.

Dalam artikelnya, The Patriot Post juga menyertakan video dari dua arah yang memperlihatkan semua pergerakan kejadian tersebut. Dalam video jelas terlihat bagaimana polisi bersikap baik dan ramah kepada Brooks.

Polisi mengatakan kepada Brooks, karena ia tidak lolos tes maka ia harus ditangkap. Saat itu Brooks diam saja. Polisi kemudian mulai memborgol tangan Brooks. Namun, tiba-tiba Brooks berontak melawan. Dua polisi berusaha menahannya.

Namun, tubuh besar Brook mampu melepaskan diri dari petugas, bahkan sempat merebut senjata taser milik polisi. Brooks mengarahkan taser itu kepada salah satu polisi, mengakibatkan polisi itu terjatuh. Brooks berlari, petugas mengejar. Aksi kejar-kejaran berlangsung singkat sampai kemudian salah seorang polisi menembak Brooks bermaksud melemahkannya.

Brooks kemudian dilarikan ke rumah sakit. Brooks meninggal karena luka tembak saat dioperasi di rumah sakit. Itu adalah kematian tragis yang bisa dihindari jika Brooks tidak melawan saat penangkapan.

Perlu dicermati dari dua peristiwa Floyd dan Brooks. Jika saja Floyd ditangkap oleh dua perwira Atlanta ini, Floyd tentu masih hidup sampai hari ini.

Tapi, sangat disayangkan, ada tangan-tangan tak terlihat yang bekerja membuat narasi sistematis tentang polisi rasis di Amerika Serikat. Sehingga, seakan-akan kedua kasus itu sama, kemudian dibenturkan dengan masyarakat luas.

Lantas, bagaimana dengan AS? Mampukah negara adidaya paling berpengaruh di dunia tersebut mengatasi kemelut ini dengan bijak?

0 comments: