Monday, June 15, 2020

Apakah UU 27/1999 tentang Larangan Komunisme juga Terancam?





Kita tahu bahwa di Indonesia TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI dan Larangan Komunis/Marxism mulai digoyang oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab. Ibarat pedang besi, TAP MPRS itu ditenggelamkan dalam air garam yang sangat pekat agar keropos dan punah.

Sebutlah dalam RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) tidak dicantumkan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 sehingga membuat sejumlah Pendukung Pancasila bersuara keras. Muhammadiyah, MUI, NU, dan banyak lagi  menentang RUU HIP yang dinilai memberikan peluang bangkitnya kembali komunisme di Indonesia.

Komunisme bukanlah hantu, paham itu masih hidup subur di Rusia, Cina daratan, dan beberapa negara lainnya hingga saat ini. Dan, kita tahu bahwa Partai Komunis Indonesia dulu pun mendapatkan dukungan dari partai komunis negara lainnya. Sebutlah contohnya Partai Komunis Cina (PKC). Pemimpin PKC, Mao Zedong, begitu mendukung D.N. Aidit pada masanya. Bahkan, ia menulis sebuah puisi untuk Aidit yang telah dihukum mati di Indonesia.

Melihat adanya upaya penghapusan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tersebut, apakah kelak ada upaya lain untuk menghilangkan UU 27/1999 yang juga berisi pelarangan terhadap ajaran komunisme di Indonesia?

Sebelum berpikir serius ke arah sana, ada baiknya kita perhatikan dulu seputar undang-undang yang sudah jelas tidak disukai oleh kaum komunis ini.

Anggota DPD RI, Jimly Asshiddiqie, yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu seperti terlansir RMOL, Selasa (16/6/2020) menyoroti pasal 107 huruf c dan d-nya yang melarang penyebaran ajaran komunis melalui media apa pun.

Adapun bunyi Pasal 107 c UU 27/1999 berbunyi, barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apa pun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisnie/Marxisme-Leninisme yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

Sementara isi Pasal 107 d-nya, barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apa pun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisime-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Selain itu, Jimly juga menyoroti pelarangan kerjasama dengan partai komunis di luar negeri yang termaktub dalam pasal 107 huruf e UU 27/1999.

Bunyi pasal itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun:

a. Barang siapa yang mendirikan organisasi yang diketahui atau patut diduga menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atas dalam segala bentuk dan perwujudannya; atau

b. Barang siapa yang mengadakan hubungan dengan atau memberikan bantuan kepada organisasi, baik didalam maupun di luar negeri, yang diketahuinya berasaskan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atau dalam segala, bentuk dan perwujudannya dengan maksud mengubah dasar negara atau menggulingkan Pemerintah yang sah.

Terkait  hal ini, Jimly juga menyebut bahwa Pancasila harus dijaga agar tidak lagi kembali ke versi pidato Bung Karno 1 Juni 1945. Jangan juga kembali ke versi Piagam Jakarta 22 Juni 1945.

“Pancasila sudah final dan disahkan pada 18 Agustus 1945. Itulah yang konstitusional & resmi berlaku. Jangan lagi mundur ke konflik masa lalu,” tegasnya.

Artinya, kita harus selalu waspada dengan upaya-upaya yang berpotensi membangkitkan kembali komunisme di Indonesia. Tentunya, termasuk turut menjaga eksistensi UU 27/1999 dan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 dari segala ancaman yang nyata.


0 comments: