Tuesday, June 30, 2020

Adakah Janji Kampanye Politik yang Berbunyi: Menyejahterakan Seniman Indonesia?


Presiden Penyair Indonesia (Sutardji Calzoum Bachri) baca puisi -  Media Indonesia




Sudah tahukah Anda bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) resmi menjadwalkan pemungutan suara Pilkada Serentak 2020 pada 9 Desember mendatang?

Sementara kampanye dilakukan pada 26 September hingga 5 Desember? Lalu, penghitungan suara dan rekapitulasi penghitungan suara akan berlangsung pada 9 Desember hingga 26 Desember?

Jika belum, maka cermati dan ingat baik-baik semua tanggal itu agar Anda tidak bingung saat penyelenggaraannya nanti.

Itu soal angka-angka. Lantas, pernahkah Anda menyoroti isi kampanye politik selama ini?

Agaknya, tak semua orang peduli dengan janji-janji para politisi. Tidak mengherankan kalau memang  demikian adanya. Mengingat orang-orang sudah mafhum bahwa kebanyakan janji seperti itu tinggallah janji. Hanya sepersekian persen politisi yang menepati janji-janji mereka.

Berangkat dari janji itulah, bagi politisi yang mau menepati semuanya, akan berusaha melaksanakan janji-janji politik yang disampaikan mereka saat kampanye.

Artinya, yang dilaksanakan adalah semua janji mereka saja. Sedangkan yang bukan bagian dari janji-janji itu tentu saja tidak mereka laksanakan.

Nah, bicara kesenian, kadang-kadang pemerintah, baik pusat, maupun daerah menyampaikan jargon "lestarikan" kesenian di Indonesia. Kata lestarikan memang terdengar wah. Ada semacam spirit yang menggelora untuk melestarikan kesenian dalam berbagai cabang yang ada. Sebutlah seni sastra yang pelaku atau praktisinya disebut sastrawan.

Pertanyaannya, pernahkah politisi menjanjikan kesejahteraan seniman (semua cabang seni) saat mereka berkampanye politik?

Rasa-rasanya belum ada yang secara tegas dan jelas menjanjikan hal yang demikian itu. Misalnya secara lebih rinci, jika terpilih menjadi walikota, politisi yang bersangkutan akan memberikan insentif kepada seniman di daerahnya. Belum pernah ada, 'kan?

Atau janji lainnya seperti, seniman yang sakit akan ditanggung semua biaya pengobatannya. Ini juga belum ada, 'kan?

Padahal, seniman lah yang merupakan pelaku seni dalam pelestarian kesenian itu sendiri. Bisa dikatakan, seniman merupakan pendukung utama dalam eksistensi kesenian di Indonesia. Maka, idealnya para seniman harus diperhatikan kesejahteraan masing-masingnya oleh pemerintah yang sejatinya dimulai dari janji-janji politik tersebut.

Karena hingga saat ini dunia seniman belum banyak tersentuh para politisi, baik selama kampanye, maupun setelah duduk di eksekutif dan legislatif, tentu bukan lagi hal yang mengherankan jika masih kita temukan kesusahan hidup sebagian seniman.

Sebutlah Korrie Layun Rampan yang sempat menarasikan kisah hidup pribadinya di salah satu media besar Indonesia. Tak lama menjelang kepulangan (kematiannya) ia mengisahkan bagaimana susahnya menjadi sastrawan di negeri ini. Dirinya bahkan mengatakan jika ia di luar negeri (menjadi sastrawan luar), seorang Korrie sudah kaya raya dengan banyak buku yang telah dihasilkannya.

Kemudian, ada pula sastrawan besar lainnya, Hamsad Rangkuti yang juga mengalami kesusahan hidup sebelum dirinya mengembuskan napas terakhirnya.

Dikabarkan bahwa tanahnya diambil secara sepihak oleh Pemerintah Kota Depok tanpa ganti rugi. Ia pun menjadi sakit-sakitan. Betapa tidak? Tanahnya yang telah dijadikan tempat pembuangan sampah itu menyebabkan bau busuk, mendatangkan hewan-hewan menjijikkan, dan suasana buruk terkumpul di sana.

Semua keburukan tersebut sampai di dalam rumahnya. Sakitnya kian parah. Sampai-sampai jantung dan ususnya dioperasi.

Dan belakangan, ada sastrawan besar lainnya bernama Soni Farid Maulana yang sedang sakit parah. Santer dikabarkan di media sosial oleh sejumlah rekan sastrawan tentang kondisinya.

Mantan Redaktur Budaya Pikiran Rakyat ini diserang penyakit gula yang benar-benar parah. Akibatnya, ia sudah susah berjalan. Betis dan telapak kakinya bengkak. Kuku kakinya kuning seolah baru dicat minyak. Bahkan, kian hari dirinya hanya bisa berbaring. Parahnya, keluarga dekatnya pun ikut sakit dan dirinya tak punya biaya ke dokter. Mata pencahariannya sekarang hanya berjualan buku puisi cetak.

Bisa dibayangkan betapa susahnya mendapatkan uang dari penjualan buku puisi, 'kan? Terlebih pada masa pandemi COVID-19 seperti saat ini.

Memperhatikan kondisi yang memperihatinkan di atas, agaknya para politisi yang akan atau sedang menduduki kursi jabatan penting, perlu kiranya juga peduli terhadap kesejahteraan kaum seniman. Contohnya, berjanjilah untuk berusaha menyejahterakan seniman Indonesia saat kampanye politik dan tunaikan janji itu saat menjabat kelak.

Bagaimana menurut Anda?

0 comments: