Tahun 2017 saya iseng mengikuti sayembara menulis buku bahan bacaan anak nasional. Sayembara itu bagian dari Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang diadakan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (sekarang Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan), Kemendikbud RI.
Yang namanya iseng, saya pun membuat buku tersebut tanpa beban. Mulai mencari dan memahami bahan-bahan bacaan pendukung, menulis naskah buku, membuat ilustrasi, mendesain sampul buku, mencetak, menjilid, hingga mengirimkannya kepada panitia.
Keisengan itu sebenarnya lebih disebabkan oleh adanya waktu luang setelah saya menyelesaikan satu naskah buku horor. Dan, alhamdulillah ternyata merupakan iseng-iseng berhadiah.
Ya, naskah saya dinyatakan lolos seleksi oleh dewan juri. Dari Kalimantan hanya ada dua yang lolos, yakni naskah saya dan satu lagi naskah penulis dari Kalimantan Timur. Demi perbaikan naskah, saya pun bolak-balik Jakarta-Kalimantan Selatan. Lelah, tapi mengasyikkan.
Setelah berlalu beberapa waktu saya berpikir sejenak mengenai hal itu. Bukan perkara persaingan dan bukan pula soal beratnya sayembara dalam wujud buku cetak. Ini perihal arah gerakan literasi nasional yang memang terus digalakkan semenjak Anies Baswedan menjabat Kemendikbud dulu.
Jika diperhatikan, beberapa pihak menyebutkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang malas membaca. Hal terakhir ini konon berdasarkan penelitian di lapangan yang tingkat validitasnya sangat tinggi.
Seandainya kata "malas" itu dijadikan landasan untuk menjadikan masyarakat Indonesia rajin membaca dengan sayembara di atas, bagaimana menjelaskannya? Jelas-jelas itu adalah sayembara menulis dan bukannya membaca. Maka, tentunya minat dan keterampilan menulislah arah tujuannya.
Jujur saja, sebenarnya saya tidak setuju 100% tentang kata "malas" ini. Sebab, lihat saja betapa hebohnya masyarakat Indonesia membaca dan menulis pesan pendek di ponsel, misalnya. Atau, masih banyak umat Islam yang rajin membaca Alquran setiap harinya.
Bahkan, pada masa menjelang Pilpres 2019 lalu masyarakat Indonesia sangat antusias membaca artikel-artikel berkenaan dengan isu politik saat itu. Hingga kini pun artikel bertema politik masih digandrungi masyarakat Indonesia.
Nah, kembali ke GLN yang salah satu kegiatannya adalah sayembara menulis buku bahan bacaan anak tadi, ingatan saya pun mendarat pada empat jenis keterampilan berbahasa. Apa sajakah itu? Pertama ialah menyimak, berbicara, membaca, lalu menulis.
Artinya apa? Untuk dapat menulis, seseorang wajib membaca. Pastinya adalah bahan-bahan bacaan pendukung untuk dapat menuliskan ide di otak kita.
Dengan adanya sayembara tersebut di atas, mau tak mau para pesertanya harus membaca terlebih dulu bacaan lainnya. Setelah buku dinyatakan lolos dan selesai direvisi, hasilnya pun dapat menjadi bahan bacaan bagi masyarakat Indonesia.
Tampaknya demikianlah yang menjadi arah GLN yang digagas oleh Anies Baswedan kala itu.
Begitukah?
0 comments:
Post a Comment