Bagian Kelima


Puisi Ida Moerid Darmanto (Temanggung, Jateng)

Bumiku Beranomali

Pada rahim bumi yang lahirkan tunak
Mengikat erat akar menyeruak
Tebaran benih lalang mendesak
Tak pupus hilangkan jejak

Rimbun daun bersemai
Di jemari ranting goyang melambai
Batang kokoh kuat menggapai
Semburat asa merangkai damai

Tuhan berikan bumi hamparan berpijak
untuk bersanding makhluk tak berjarak
menggali dan mengolah bumi tanpa merusak
mengukir jejak kenaikan bertapak

Polah manusia tampakkan jati diri
Nafsu kelola tak bisa kendalikan  hati
Tumbangkan seluruh nyanyian merdu selebrasi
Belantara nusantara digunduli
Hingga jantung pertiwi beranomali


Puisi I Ketut Dana Yasa (Bali)

Maafkan Kami Hutanku

Tumbuh dari tanah, meninggi ke udara
Hirup semua karbondioksida
Semua seperti sebuah mimpi
Ketika daunmu tak lagi bersemi

Kuat kuat tanah ini kaugenggam
Ku tak percaya kau begitu setia
Walau hujan badai yang menyerangmu
Gunung pun tak lepas kautahan

Hutanku, entah bagaimana caranya
kami ingin  meminta maaf
Semua salah kami semua
Ketika semua gugur tak tersisa

Mungkin semua belum terlambat
Berilah kami kesempata kedua
Akan kami tanam semua bibit yang tersisa
Hingga hutanmu kembali berwarna

Terimakasih hutanku 



Puisi Iman Darisman (Sumedang, Jabar)

Niat

Api tak pernah berniat untuk balas budi pada hutan
Tentang pohon-pohon yang dimakannya telah menjadi abu
Hutan tak pernah berniat untuk mendesak pada api
Tentang pohon-pohonnya yang berubah menjadi abu
Abu tak pernah berniat tentang dirinya ingin kembali menjadi kayu
Dan, asap. Asap tak ingin memadamkan api, dan tak berniat menyalahkan api
Sedang, manusia tidak berniat pada semuanya.
  


Puisi Iqbal Maulana (Lampung)

Alam Berpuisi

Yang hijau kini menguning
Memerah meredam nyala surya
Hangus terbakar ketamakan
Tertebang oleh fantasi gila akan harta
Tak terkira hingga kalian capai bahagia

Lihatlah kami
Wahai para penghuni tak berakal
Kami pucat pasi
Menangisi kekosongan bumi

Bait demi bait kalian tulis prihal keindahan kami
Sebuah kebohongan mereka yang haus akan perhatian dunia
Kebohongan mereka yang mengonsepsi alam,
Bernanung dalam kelimpahan kata

Dengarkan lah kami
Wahai para moralis lingkungan
Suara kegelisahan yang bergemuruh bersama amarah dan angan-angan
“KAMILAH KEKASIH SANG BUMI”

Wahai para kaum apatis
Ingatlah, di sini ada harapan tentang kehidupan
Mentari pagi
Nyanyian kutilang
Cahaya rembulan
Dan hanya kerinduan yang mampu kami sulam

Sampai kapan kapan kalian biarkan
Tergurai berantak dan tak karuan

Kami sudah berbisik dengan rendah
Berdiskusi dengan pada hati yang terjerembak demi harta
Namun jika kalian tetap menolak
Untuk bersenggama dengan alam
Tak apa

Kumpulkan saja harta
Dari hasil yang hina
Agar kelak anak dan cucu kalian dapat membeli sebotol udara 



Puisi Irnaufal Syamlan

Sesunyi  Mimpi

Sepi menggigit
laba-laba kedinginan karena gagal menjulurkan jaring
tak ada serangga yang bisa dijerat
semua sudah pindah karena tak ada lagi yang bisa dikerat

sepi mencengkeram membelit kelaparan
melipat segala flora fauna dalam kesepian
laba-laba masih mencoba menggenggam apa yang bisa digenggam
semua pohon melantai serendah tanah
kakinya tak sanggup mencengkeram tanah
daun-daun kering gemeretak tak sabar menyambar
membakar semua persendian oksigen dunia

lunglai sudah
tak ada yang bisa dijamah
laba-laba semakin payah melangkah
sejauh mata memandang hanya gersang
hutan mengerontang menggeluti
kapan pepohonan menyuling kembali

Laba-laba kecil terdiam. Semakin temaram menjemput senja
Tak mampu bertanya, walau hanya sesunyi mimpi

  

Puisi Iyut Fitra (Sumatera Barat)

Ketika Singgah di Kotamu

hampir Magrib aku sampai di kotamu
sebelumnya kulihat hutan sudah menepi, sisa asap dan petak-petak rapi
kubayangkan seekor burung kepanasan dan yang lain terbang
dengan sayap terbakar. seolah bau dedaun dan ranting tinggal cerita
kawanan yang tak punya rumah. arah sungsang kehilangan sarang
ke mana rimbun itu dibawa?

seperti biasa, malamnya kita duduk di batanghari
jagung bakar dan segelas air tebu. kata-kataku mati, puisi di sini hanya barisan
mayat-mayat tak berarti, katamu seolah ingin membuang semuanya
di seberang, penduduk asal mungkin airmatanya lebih. mungkin perih
mengalir ke sungai ini
dan juga bertanya, ke mana rimbun itu dibawa?


Jambi, 2010



Puisi Izzatus ‘Adilla Ahda (Magelang, Jateng)

Tempat Terbaik

Hutanku Damai..
Sawah nan hijau, sejauh mata memandang
Bak permadani surga
Semilir angin menyejukkan jiwa..
Tersuguh, ketika kau menyusuri hutanku
Elok nian sungai di sana...
Berkilau diterpa sinar sang surya
Rantingnya melambai tertiup angin
Dengan nada lagu dari gemericik air terjun..
Menentramkan hati
Menarik perhatian insan di bumi..
            Aku, sang penjaga hutan
            Bersama, kita kan jadikan bumi bak surga.
            Bersama, kita kan membangun tempat terbaik
            Untuk aku, kamu, dan kita semua..
Kita dapat melakukannya..
Untuk tempat terbaik.. 
           


Puisi Jaka Perwira Ageng

Pilar Hijau
                          
Ribuan  pilar  hijau  dunia
Membentang  luas  menembus cakrawala
Penopang sendi-sendi kehidupan
Citramu  yang  asri  bersahaja
Kini  menghilang  seiring  bergantinya  zaman
Adanya  Industri  dan  Eksploitasi
Telah  mengubah  hakikat  keberadaanmu 
Wajahmu  yang  dulu  menjadi  primadona
Kini  bagaikan  fatamorgana  yang  indah
Kemudian sirna  dalam  sekejap  mata
Kelak  tatkala  bencana  datang  silih  berganti
Saat  itulah  manusia  ‘kan  mengerti
Betapa  engkau  teramat  berarti
Reboisasi  sudah  selayaknya  terjadi
Penghijauan  haruslah  dilakukan
Demi  keberlangsungan  kehidupan



Puisi Julia Hartini (Bandung, Jabar)

Hikayat Akar Pohon

1/dan yang melewati tahun-tahun
adalah pohon-pohon menadah hujan
menatap matahari bilamana mencintai
musim basah di tempat terbuka
rumah bagi burung-burung
mengucapkan selamat datang
2/reranting berjajar seperti umur kenangan
membangun ruang rahasia
akan hari-hari panjang
kebahagiaan yang urung selesai
riwayat guguran daun yang menghumus
kehidupan bagi tanah-tanah
dan segala yang tumbuh dengan kecupan
akar-akar belukar
3/angin lalu mengisahkan jejak
yang mengalir
dan hanyutlah segala
yang terjatuh ke sungai

ruang semesta, Juli 2016



Puisi Kaka Clearny (Hong Kong)

Permadani Hijau Leluhur

Sobatku,
sadarkah akhir-akhir ini air mata bumi pertiwi sering tumpah
Tangis yang berwujud longsor dan banjir bandang

Sobatku,
tahukah bahwa kaki-kaki bukit tak lagi hijau
Menyisa gersang yang mengerang
Permadani hijau yang ngrembaka sang Borneo
Musnah berubah keping-keping rupiah

Sobat,
marilah kita tak sembarang tebang warisan leluhur
agar harmoni pertiwi lestari luhur

Hong Kong, 16 Juli 2016



Puisi Kholda Assyfa (Tanah Bumbu, Kalsel)

Hilangnya Jiwa Alam

Hampa alam raya,
hilang engkau berbekas arang di mata.
Ukiran batu menceritakan segalanya,
untuk apa yang telah terjadi dalam seketika

Tornado api berbalut hajat di atas nista,
telah melenyapkan malaikat kehidupan setiap nyawa.
Awan mendung menampung asap derita,
air hujan pun menangis tak terkira

Nestapa kian melanda jiwa,
tapi niat dan ambisi akan mengubah semuanya.
Satu bintang kan menyinari harapan nyata,
sambut reboisasi untuk masa depan yang ceria
hutan kita yang telah terlara.

Pagatan, Tanah Bumbu, 18 Juli 2016



Puisi Kifti Halimah Islami (Kudus, Jateng)

Senja, Dermaga, Hujan, Hutan, dan Kita

Dari senja manja, kita bermakna
Dari dermaga hidup, kita saling datang dan pergi
Dari hujan kenangan, kita memeluk temu
Dari hutan takdir, kita kelak bersua
Senja, Dermaga, Hujan, Hutan, dan Kita . . .

Jember, 27 Juni 2016
  


Puisi Kristopel Bili (Nusa Tenggara Timur)

Bahasa Sang Alam

Kuingin engkau tahu…
Sesungguhnya bahasaku adalah bahasamu
Bahasamu mungkin juga bahasa dari bahasaku

Bahasamu tertulis seribu makna kiasan
Namun aku tak pernah ragu tuk’ memahami maksudmu

Saat  engkau beri aku ribuan pepohonan rindang
Aku tanpa ragu memberimu seribu harapan
Hujan dari langit, air dari perut bumi 

Udara yang engkau hirup
Minuman yang engkau minum
Makanan yang engkau makan
Papan dari rumah yang engkau tempati
Pakaian dari sutra yang engkau pakai
Ramuan dari obat-obatanmu
Bukankah itu semua bahasa dari bahasaku????

Ketika saatnya kuingin engkau pahami  bahasaku
Namun engkau tak mengerti dan tak mau pedulikan aku 
Seolah engkau lupa tetang satu hal dariku
Bahwa bahasamu berasal dari bahasaku

Di saat  bumiku terasa panas,
kekeringan pun melandamu
Di saat air dari air bah  menguyurmu
Di saat tanah dari tanah longsorku menimbunmu
Seharusnya engkau mengerti bahasaku,
kalau di hari kemarin aku sempat berkata padamu

“ Janganlah sesekali merusaki diri ini”

Sungguh,
Kuingin engkau mengerti aku saat itu
Bahasamu adalah bahasaku
Bahasaku tak bersuara seperti bahasamu
Namun apalah dayaku,
semua telah terjadi
Maafkanlah aku….
Dan hanya itu yang bisa kukatakan padamu saat ini

Andai bahasa ini dapat bersuara seperti bahasamu
Pastilah kuteriakkan sebuah bahasa untukmu;

“Beri aku 1000 pepohonan rindang,
niscaya Sang pencipta akan memberimu hidup
dari suatu kehidupan sesuai amal baktimu”

Sumba, 27 Mei 2016
  

Puisi Kurnia Nur Aini (Magelang, Jateng)

Jeritan Satwa

Jangan halangi langkahku menuju desa
Perutku kosong, lahanku pun hilang
Akan kutampung semua makan desa, bahkan pemiliknya
Akan kurenggut semua seperti mereka merenggut yang kupunya
Lahanku yang dulu gelap dedaunan, kini tak sehelai daun pun menutupi
Buah segar, kini tinggal biji
Hewan kecil, tinggal tulang dan kulit tanpa nyawa
Lahan luas nan lebat pepohonan, kini tinggal rumput kering dan akar pohon mati
Air pun tak lagi mau mengalir
Hujan yang jatuh, seakan menjauhi lahan kami
Kepada siapa kami harus mengadu?
Ketika kami mengaung, apakah mereka menangkap makna aungan kami?
Jika Tuhan memberi kami mulut manusia, tentu kami telah menggagalkan pematian pohon-pohon secara paksa itu
Namun itu hanyalah sekedar harapan belaka, yang tak mungkin kan datang
Tiada cara lain selain menyatu dengan desa
Dari hal itu, kami bisa menahan nyawa di tubuh kami untuk tetap tinggal
Jangan tujukan kesalahan pada kami!
Lihatlah makhluk yang berakal    



Puisi Kuswanto Ferdian (Madura, Jatim)

Kembailkan Paru-Paruku

Kicauan burung ciblek di pagi hari saling bersahutan
Angin mendesis lirih begitu nyaman
Daun-daun menari-nari
Mentari pagi indah menyinari
Satu persatu daun jatuh berguguran
Putik bunga canna jatuh bertaburan
Nampaknya hutanku kini mulai tidak aman
Ada apa dengan hutanku kawan?
Hutan yang dulu rimbun, rindang, sejuk, dipenuhi oleh kicauan burung dan jenis pepohonan kini menjadi berita
Berita yang kubaca dari koran
Berita tentang kebakaran hutan
Ulah tangan manusia bukan hewan
Apa salah hutan, kawan?
Ku memberimu oksigen
Ku kau bakar
Ku memberimu kayu
Ku kau tebang
Daun-daun berjatuhan merintih
Burung ciblek kini berkicau lirih
Bumi pun ikut merintih
Karena paru-parunya tertindih
Bumi mengisyaratkan kepadamu kawan
Kembalikan paru-paru yang telah kaubakar
Bijiku, akarku, batangku, rantingku, daunku
Kembalikan hutanku. 



Puisi Lelli Muf (Pasuruan, Jatim)

Masa Depan Papan Datar

Aku berdiri di antara masa depan papan datar
Tak ada lagi licinnya lumut, tak ada lagi gundukan sarang semut
Semua diratakan dengan ketamakan

Meski kini…
Aku berdiri di antara barisan raksasa hijau yang menjulang dermawan
Mereka memberi dalam diam. Tanpa pura-pura, tanpa sandiwara
Hanya angin sejuk berbisik menyertai mereka

Namun, aku seorang kurcaci tanpa tahu monster-monster kecil itu menyerang
Hingga raksasaku tumbang digerus senjata tajam

Dunia ini akan datar tanpa kehidupan
Kelak, monster-monster kecil itu akan ikut terbakar
Bersama hangusnya corong-corong asap yang mereka sulut sendiri.
Dan corong-corong asap itu menyerukan:
Sebagai tanda, nyatanya masa depan papan datar

Pasuruan, 19 Juli 2016 



Puisi Lenggo Arya Putri  (Painan)

Hutanku Menangis

Terbayang hari lalu
Kala hutan hijau membentang
Merah merekah
Begitu subur
Asri dan indah dipandang
Teringat waktu silam
Kala mentari muncul
Bersenandung bersama hujan
Hingga tangan-tangan nista tiba
Merusaknya
Menghancurkannya
Tiada belas kasihan
Hingga gersang
Hingga layu
Laksana tiada kehidupan
Hari ini
Rintihan terdengar gentir
Tangisan terlihat nyata
Pada wajah Indonesia

  

Puisi Libra Mysterio (Pekanbaru)

Aku dan Hutanku menangis di Pekanbaru

10 tahun yang lalu….
Aku tak mampu menembus apa yang ada di balik rimbunmu.
Aku takut mendekati dirimu, karena rimbunmu itu menakutkan.
Walau demikian, aku mencintaimu.
Kenapa?
Karena kau hijau.
Mataku yang semula perih, tenang saat menatapmu.
Kicau burung yang bertengger di dahanmu nan rimbun.
Ikut menyahut gemercik air sungai di desaku
Napasku senantiasa meraih setiap oksigen yang kaulahirkan
Dan kau tahu arti itu bagiku?
Sangat berharga, karena itu kehidupanku.
Sekarang……
Aku benar-benar sulit mencarimu.
Dimana kau sekarang?
Aku bertanya…
Karena aku rindu.
Karena aku tidak melihatmu.
Padahal aku masih di situ berdiri sekarang.
Di tempat, di mana saat aku dulu menatapmu.
Yang ada hanya asap yang mengepul.
Onggokan pasir, bata, semen, dan batu juga besi.
Dan lima bangunan yang belum berpenghuni.
Ops!, aku menemukanmu, kau di pojok sana,
Sepertinya kau habis menangis, tertunduk lesu, menatap keluargamu habis.
oleh tangan-tangan yang tak punya hati.
Kini kau sendiri dan mengadu padaku yang tak berdaya.
Kulihat dirimu kering.
Dan daunmu masih bergoyang seakan bertanya padaku.
Kemana kau sepuluh tahun terakhir ini?
Kau meninggalkan kami di sini tanpa melindungi.
Tolong katakan pada mereka.
“JANGAN BAKAR KAMI LAGI”

23 Juni 2016, Pekanbaru

Silakan klik Daftar Isi untuk membaca bagian-bagian lainnya.

0 comments: