Dua Bahasa yang Luluh dalam Cinta


Tsuraya Widuri

Engkau telah mengundangku dalam ke kedalaman lembah jiwamu. Lewat kata-kata manis, membuatku merenyahkan bibir yang tipis.  Baris demi baris berirama dalam bahasa. Tentang kekaguman, cinta dan perasaan yang dalam.
Markus-ku sayang, biarlah lembaran pos-el ini jadi saksi cinta kita. Jadi bukti kesungguhanmu mempelajari bahasaku. Dan berjanjilah, enam bulan kau akan menamatkan pelajaranmu untuk kemudian datang menemuiku. Bukan dengan penyajian kata-kata tapi dengan semua perasaan dan raga yang nyata.
Satu, dua, tiga, lima belas, dua puluh satu, aku menemukan lembar pos-el. Kuhempaskan diri di kursi beranda. Melahap angin yang cukup dingin menggelitik badan. Suara burung cukrit masih bersahutan entah dengan burung apa. Dan entah mereka sedang membicarakan apa. Bersahutan dalam bahasa mereka sendiri.
Dan, aku membaca  pos-el yang aku cetak dengan printer di rumahku. Tapi, aku mengejanya lewat bahasa hatiku. Pos-el yang ke-28. Setiap hari ia mengirimnya satu untukku.
Widuri Sayangku. Malam beranjak meninggalkan sepi. Aku belum bisa memejamkan mata. Coba tebak, kejutan apa yang kutemukan sore tadi? Ya, aku menuntaskan pelajaran bahasaku dengan lancar. Ternyata bahasa Indonesia itu mudah. Sehingga di hari ini aku bisa menulis ini. Hai, ajari aku bahasa, jangan ajari aku korupsi, hahaha…….Selamat menikmati hari indahmu. Salam termanis. Markusmu.
Ada kata korupsi di sana. Aku mengernyitkan kening. Aku ingat saat dia berencana akan pindah ke Jakarta dan memutasikan pusat bisnisnya dari London ke sini. Aku katakan padanya kalau dia harus hati-hati karena banyak tikus di negaraku.
Mulanya dia menyangka karena kali di Indonesia ini kotor, banyak sampah dan berbau, sudah pasti akan ada beberapa tikus di sudut-sudut kota. Tapi, aku menjelaskan padanya bahwa tikus yang kumaksud adalah satu atau sekelompok orang yang punya kepentingan tertentu untuk membuat kaya diri sendiri tanpa jalur yang lurus dan benar. Dan dalam suratnya dia tertawa dan mengatakan padaku bahwa dia sudah tahu itu sejak lama. Aah, berita basi ternyata.
 Aku menemukan email yang ke enam puluh tujuh.
Widuri Cintaku. Tak terasa sudah dua bulan lebih aku belajar bahasamu. Tapi aku lebih menangkap bahasa cintamu. Lewat senyum manis bibirmu, keteduhan matamu, tatapan sendumu saat kita berbagi kamera. Dan suara lembut manjamu membuat aku susah tidur saat mengingat semua itu. Widuri, aku sungguh rindu. Salam terhangat. Markus.
Kini aku membuka halaman seratus tiga puluh delapan. pos-el itu aku bukukan dan kuurut berdasarkan tanggal. Kuberi nomor halaman. Kujilid dan kuberi ilustrasi fotonya. Foto saat dia bergaya di depan mobil mewahnya dengan latar rumahnya yang besar,  di London sana. Pada saat musim gugur tiba. Daunnya yang sedang menari turun tertangkap oleh kamera. Sehingga memberi kesan foto itu unik. Itulah foto yang paling aku suka.
Widuri calon istriku. Pelajaranku berlanjut baik. Kau tak usah meragukan itu ya. Tapi aku punya kejutan untukmu. Coba kau ingat-ingat seorang temanmu yang ganteng di London sini. Dia dulu teman baikmu. Dia memberikanmu hadiah lho! Sebuah kristal bentuk bunga. Kau ingat Briann Obama, ternyata dia temanku bermain golf! Aku cemburu sekali. Tapi kemudian aku bangga, karena aku yang berhasil mendapatkanmu. Briann kirim salam padamu. Dia janji akan ke Jakarta kalau kita menikah nanti. Wuih….asyiknya. Salam rindu tak pernah layu. Markus-mu.
Begitulah, aku dan Markus punya kesepakatan. Dia berbicara dan mengirim email harus dalam bahasa Indonesia dan aku sebaliknya, dalam bahasa Inggris. Itupun harus berlanjut terus sampai kami menikah nanti. Kesepakatan yang aneh memang.
 Dan mengenai Briann, aku tersenyum sendiri. Pria ganteng yang memiliki alis seperti ombak itu dulu pernah bersemanyam di hatiku. Anaknya Kathy, menjadi inspirasi ceritaku. Fotonya ada dalam buku kumpulan cerpenku. Berkisah tentang pernikahan campur dengan dua anak baru gede yang berlainan kultur dan agama juga seorang bayi yang menjadi saksi cinta kita. Tentu saja aku tak akan lupa itu.
Dan Briann, dia lebih mencintai London daripadaku, dia tidak mau jauh dari sana. Aku sendiri tidak mempunyai kepercayaan diri kalau harus menjadi bagian dari kota termahal di dunia itu.
Inilah pos-el terakhir. Ditutup oleh selembar kertas berisi cetakan foto seukuran hvs. Foto Markus dalam kostum golfnya. Ya, keren sekali dia.
Widuri, kekasih hatiku. Aku menamatkan pelajaranku. Leganya. Aku sudah menguasai bahasamu. Kelak kalau kita sudah menikah, kita buat buku bersama ya dalam bahasamu. Tentang kita, tentang perjalanan kita tentang apapun itu. Kamu setuju kan?
Aku sudah mengurus visaku tadi siang. Tiga hari lagi aku sampai di Indonesia. Jemputlah aku di bandara. Berikan senyum terindahmu untuk menyambutku. Ada kejutan hadiah untukmu ya. Tapi bukan dari Briann, dariku tentunya. Tunggu aku ya Sayang.
Salam rindu hanya untukmu. Markus.
Pagi itu tak seperti biasa aku bangun lebih pagi. Yang kulakukan pertama kali adalah luluran badan. Satu setengah jam sudah kuhabiskan. Aku lalu mencuci muka, membuat pijatan memutar, agak menekannya. Kulakukan sekian lama sampai ke leher juga. Lalu kubersihkan dengan kapas yang sudah dicelupkan ke air hangat. Sebentar kemudian mukaku berubah kecoklatan mirip monster. Tak lama aku mengurutnya. Aku sangat yakin kotoran turun sedikit demi sedikit dari mukaku.
 Aku menengok jam. Tiga perempat jam sudah kulakukan. Lalu kucuci mukaku dengan air hangat. Ufh, sekarang mukaku seputih mayat. Penuh masker super tebal. Mukaku juga harus menjadi patung, tidak boleh ada peregangan. Kaku, mengeras, kesal, bosan. Tapi, aku kuat bertahan.
Dua  puluh menit kemudian aku membersihkannya kembali dengan kapas. Aku lalu menepuk-nepuk mukaku dengan handuk hangat. Lalu aku   mengambil handuk lain yang kurendam dalam es batu. Kukompres mukaku agak lama. Sesudah itu masih memijat dengan minyak zaitun. Dan akhirnya aku berdandan seperti biasanya.
Deodorant untuk ketiak, body butter, pelembab, alas bedak, bedak tabur, bedak cair, maskara, pinsil alis, lipstick, ah sudah semuanya. Aku membuka gelung handukku di kepala dan mulai mengeringkan rambut dengan hair dyer. Lalu aku mencatoknya dengan lembut dan hati-hati. Tak lupa kuberikan sedikit krem agar rambutku rapi dan lemas. Terakhir aku tersenyum di depan kaca dan berbisik di hati “Uh, cantiknya aku."
Aku beranjak memakai baju model kelelawar warna krem dengan celana agak ketat berwarna senada. Aku padukan scraft LV warna krem bercorak coklat, menyenadakan dengan warna tas dan sepatuku. Dengan percaya diri aku naik taksi yang sudah kutelepon dari jam tujuh tadi pagi.
Aroma parfum true love memenuhi ruangan. Aku merasa sopir taksi takjub melihatku. Tetapi aku ingin yang takjub itu adalah calon suamiku, Markus Bull. Hari ini aku akan menjemputnya di bandara. Ini adalah pertemuan pertama kami. Deg-degannya hati ini, berirama mengetuk-ngetuk jantung, memacunya berdetak lebih kencang. Aah.
Pesawat akan datang satu jam lagi. Aku duduk di ruang tunggu. Ternyata perutku berteriak minta isi. Untuk membeli sekedar roti aku tak mau melakukannya. Aku ingin melewatkan sarapan pagi ini  ini bersamanya. Hmm, tiga perempat jam lagi. Padahal aku sudah empat kali ke toilet untuk memeriksa riasanku. Kadang sedikit kutepuk-tepuk  mukaku dengan bedak tabur.
Ketika suara dari ruang informasi mengabarkan bahwa pesawat dari London akan segera tiba, aku beranjak ke tempat yang diperbolehkan untuk menjemput. Aku lihat seorang wanita memegang kertas bertuliskan John. Aku juga lihat seorang lelaki muda memegang kertas bertuliskan Hasegawa. Seorang berseragam sopir taksi mengangkat kertas bertuliskan Markus. Aku terkesiap. Agak bingung. Bagaimana kalau Markus tidak mengenaliku. Dan, ia malah pergi dengan sopir taksi itu. Berapa orang nama Markus yang ada dalam pesawat yang akan segera mendarat ini?
Aku agak bingung. Apakah aku harus mencari kertas juga yang bertuliskan Markus? Dan tentu sopir taksi itu akan melihat padaku dengan penuh tanda tanya.  Aku juga khawatir kedua Markus itu akan tertukar. Oh Tuhan, apa yang harus kulakukan. Aku akhirnya lega, aku akan menyapanya dalam bahasa Inggris dan jika dia menjawab dalam bahasa Indonesia berarti dialah Markus-ku. Lagipula mana mungkin wajah mereka sama. Markusku tinggi besar dan berwajah seperti anak muda. Dia memang awet muda karena tipikal orang yang supel dan santai.
Satu per satu penumpang berjalan keluar. Mataku jelalatan sambil mengawasi juga si sopir taksi yang mencari Markus juga. Aku lihat seorang penumpang bule celingukan. Dan saat pandangan kami bertemu, dia tersenyum dan setengah berlari mendekat padaku.
“Pasti Widuri, kan?”  tanyanya. Aku tersenyum saja.
“Are You Markus Bull, really?”
“Ya benar Sayang, aku Mark-mu,” jawabnya dengan wajah ceria. Kami berjabat tangan.
“How are you, my Dear?” sapaku.
“Aku baik-baik saja. Sekarang kita ke mana?”  Tanyanya.
Aku menggandengnya. Kulihat si sopir taksi menemukan Mark-nya. Tetapi dia bule yang sudah tua, membawa seorang anak kecil yang lucu berusia sekitar enam tahunan. Aku tersenyum geli.
“To my home, ok?” ucapku singkat.
Setelah mengambil seluruh barangnya, aku memanggil taksi. Sopirnya segera membantu kami membereskan barang-barang.
“Kau jauh lebih cantik dari fotomu,” bisik Mark di telingaku.
“Thank you,” jawabku merenyahkan bibir, senyum yang indah. Matanya lekat menatapku. Di mobil kami tak henti bercakap. Sopir taksi kelihatan bingung karena aku selalu berbicara bahasa Inggris dan Markus dalam bahasa Indonesia. Tapi dia tak berani berkomentar.
***
Enam tahun kemudian.
Mom, I want to go to school with daddy, please …,” kata anak kecil lucu berkulit bule itu padaku. Keningku bekernyit.
“Sayangku, daddy sibuk hari ini, kamu bisa pergi dengan Om Danang ya. Besok daddy janji padamu, daddy antarkan kamu ke sekolah ya.” ayahnya merayunya. Anak kecil itu cemberut.
Ketika sopir yang bernama Danang itu datang, Markus lalu menggendong si kecil dan mengantarkannya menuju mobil.
“Selamat bersenang-senang, Sayang!” teriak Mark riang.
Aku menatap suamiku mesra. Masih seperti dulu. Dia menggunakan bahasa Indonesia dan aku dengan bahasa Inggrisku. Lucunya lagi, anakku bila bicara padaku menggunakan bahasa Inggris, tetapi jika berbicara dengan ayahnya dia menggunakan bahasa Indonesia. Yang unik, dia tak pernah bertanya kenapa ada dua bahasa di rumahnya. Hanya kalau aku membaca buku untuknya, aku sering membaca buku yang ada dua bahasanya. Kadang kubaca cerita yang bahasa Indonesianya saja, kadang yang bahasa Inggrisnya saja, dan kadang pula dua-duanya. 
 “Mom bisa bahasa Indonesia rupanya.” pekiknya suatu hari. Dia juga kelupaan, dia berteriak dalam bahasa Indonesia kepadaku.
Ah, Catherine, kau tak tahu ya kalau mamimu ini asli orang Indonesia.

***

Silakan klik Senarai Isi untuk membaca cerpen-cerpen lainnya.


0 comments: