Bagian Ketujuh


Nduk Win (Bekasi)

Derak Luka di Arusmu

Reranting masai
Daun-daun tercerai tangkai
Jatuh di arusmu
Kemarau siang itu

Kaukah sungai
Atau jilatan lidah api
Sepasang punai
Terbang rendah lalu mati

Kau pecah oleh dahaga
Berderak mengusung luka
Dadamu nganga dihunjam peristiwa-peristiwa
Hingga samar; keluhan atau doa

Lalu aku gegas menuju muara
Mereguk berkubik-kubik simpanannya
Juga kupanggil-panggil samudera
Yang tak pernah dimiskinkan cuaca

Kuangsurkan lalu kepadamu
Bogowonto yang mengalir sendu

Maaf jika aku memberimu ragu

Bekasi, 2015

Nduk Win lahir di Jakarta besar di Purworejo. Saat ini tinggal di Setu Bekasi. Rutinitas sebagai Reporter, script writer dan sebagai fotografer freelance. Saat ini aktiv berproses sastra di Forum Sastra Bekasi.



Nila Hapsari (Bekasi)

Sungai di Tengah Hutan

Aku ingin menjadi anak sungai
Yang bersembunyi di kedalaman hutan
Mengalir tenang membelai lumut batuan
Meninabobokan daun-daun perpisahan

Aku ingin menjadi anak sungai
Yang bertapa di kedalaman hutan
Tak lagi cemas akan tujuan
Menjauh dari segala ihwal bosan

Aku ingin menjadi anak sungai
Yang setia mendongeng di kedalaman hutan
Menghibur sesama makhluk Tuhan
Bisikku alunan rindu perjumpaan


Bekasi, Maret 2015 

Nila Hapsari. Alumnus Fakultas Biologi UGM Yogyakarta yang berprofesi sebagai pengajar di Bekasi. Beberapa karyanya telah dimuat di beberapa media cetak dan buku antologi bersama, seperti: Kepada Bekasi (Peniti Media, 2013), Facebookisme (Ilmi Publisher, 2014), Solo dalam Puisi (Festival Sastra Solo, 2014), Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia Jilid II (2014), Sajak Puncak (TareSi Publisher, 2015), 1000 Haiku Indonesia (Kosakata Kita, 2015), Antologi Tifa Nusantara 2 (DKKT, 2015), Kalimantan, Rinduku yang Abadi (Dewan Kesenian Banjarbaru, 2015), dan Negeri Laut (Kosakata Kita, 2015). Saat ini aktif bergiat di Forum Sastra Bekasi (FSB). Pos-El: ynhapsari@gmail.com




Ningrum Zahrohtul Janah (Tanah Bumbu)

Arusmu Mengalir Sendu

Aku pun tak sanggup menghalau derumu
Yang lantang menyentak
Yang hebat mendepak

Aku pun tak sanggup menghalau derumu
Yang akur bersama bayu
Tak akur bersama batu

Aku pun tak sanggup menghalau derumu
Bilamana alirmu seakan luluh: seperti rindu?
Yang perih nan pedihnya melirih sendu, lalu mencekik sukma hingga membeku?

Derumu adalah deru alam
Alirmu adalah alir alam
Mengalirmu adalah kebebasan

Siapa pun harus enggan mengelak
Sebab alirmu mengarus di jalur setapak
Yang milikmu,
Tanpa kauganggu milik mereka

Setitik pun tak kaukotori mereka
Namun mereka, tak setitik pun gundah menggulingkan gunung kotor untuk menyiksamu?

Kau marah tanpa berkutik
Sebab kau malang, tak pernah dikutik

Tanah Bumbu, 10 Maret 2015
                                                                                                       
Ningrum Zahrohtul Janah. Bertempat tinggal di Kabupaten Tanah Bumbu dan sangat mencintai tanah tinggalnya. Anak yang biasa dipanggil Ningrum ini bernama pena Ningrum Shinichi. Lahir pada 29 Januari 2000 di Kediri. Sekarang, ia telah menginjak bangku SMA tepatnya di SMAN 1 Simpang Empat dan bertempat di kelas X-F.
Ningrum Shinichi hobi menulis puisi dan cerpen. Cerpennya yang berjudul Kepakan Sayap yang Hilang dibukukan dalam kumpulan cerpen bertajuk Mappanretasi di Radio dalam Lingkar Lilin Kecil. Cerpennya yang berjudul Alasan Sebenarnya turut juga menghiasi kumpulan cerpen bertajuk Sepucuk Surat dari Temanku. Ia juga salah satu kontributor pada karya tulis yang berupa kumpulan cerita masa lalu, yang lebih tepatnya pada buku Diary Masa Lalu part. 1 pada awal tahun 2016. Empat buah puisinya juga turut mengisi antologi puisi bersama Komunitas Bagang Sastra Tanah Bumbu, Mengurai Ombak, Menggapai Riak di tahun yang sama. Kontak yang bisa dihubungi: ningrumzj2901@gmail.com, facebook: Ningrum Shinichi. Instagram: @ningrumshinichi_



Nida Anisatus Sholihah (Malang)

Mata Air Sungai Kesetiaan

dalam peradaban kalbuku
kutemukan mata air
air sungai kesetiaanmu
jernihnya menaklukkan angkuh
mengukir sejarah mahabbah
antara kau-aku

dasawarsa
serasa
detik-detik ria selaksa
yang mengalun segala rimba rasa

di hilir pengakuan
kupasrahkan arus cinta
suci di pangkumu
tanda mahabbah
dua insan memeluk setia


Nida Anisatus Sholihah lahir di Malang, 18 Agustus 1986. Alumnus Jurusan Sastra Jerman, Universitas Negeri Malang (UM) lulus tahun 2008. Puisi-puisinya tersiar di Malang Post dan Radar Malang. Karya-karya jurnalistiknya terbit di Harian Kompas, Harian Surya dan Majalah Kampus UM.
Tahun 2015 menjadi Juri lomba Baca Puisi se-Jawa—Bali dalam acara Deutsche Tage di Malang. Saat ini mendampingi mahasiswa UM dalam merakit karya jurnalistik dan karya sastra di Majalah Komunikasi UM. Penulis dapat disapa di 085646503507 atau Pos-El nida_anisa@yahoo.co.id. Saat ini ia bermukim di Jalan Tendean, Nomor 28A RT 4 RW 11, Turen, Malang, Jawa Timur
   


Novy Noorhayati Syahfida (Tangerang)

Cisadane

mencintai engkau
pada musim yang tak mengenal penghujan dan kemarau
tentang pohon salak yang merimbun
tentang gemerisik daun bambu yang mengalun
tentang hulu dari selatan yang menawan

di remang cisadane¹, seutas kenangan berjatuhan
berderai lepas dari deras arus ingatan
melambung pada gemerlap peh cun² di tepi sungai
pada lentur tarian barongsai
dan gadis-gadis bergincu merah yang aduhai
bak lampion menari dengan gemulai

telah tercatat semua gemuruh
hingga tiba saatnya airmu meluruh; keruh

Tangerang

¹Cisadane adalah nama sungai terpanjang di Tangerang, mengalir dari selatan dan bermuara di Laut Jawa.
²Peh Cun adalah festival mendayung perahu naga yang dirayakan setiap tahunnya pada tanggal 5 bulan 5 penanggalan Imlek. Pada saat ini dipercaya bahwa matahari, bulan dan bumi berada pada satu garis orbit. 

Novy Noorhayati Syahfida lahir di Jakarta pada tanggal 12 November. Alumni Fakultas Ekonomi dengan Program Studi Manajemen dari Universitas Pasundan Bandung ini mulai menulis puisi sejak usia 11 tahun. Puisi-puisinya telah dipublikasikan di beberapa media cetak seperti Pikiran Rakyat, Suara Pembaruan, Sulbar Pos, Lampung Post, Haluan (Padang), Koran Madura, Harian Cakrawala (Makassar), Solopos, Posmetro Jambi, Fajar Sumatra, Tanjungpinang Pos, Majalah Islam Annida, Jurnal Puisi, Buletin "Raja Kadal", Majalah Sastra "Aksara", Buletin “Jejak”, Majalah Budaya “Sagang” dan Buletin “Mantra”
Puisi-puisinya juga terangkum dalam lebih dari 70 buku antologi bersama. Namanya juga tercantum dalam Profil Perempuan Pengarang & Penulis Indonesia (Kosa Kata Kita, 2012). Tiga buku kumpulan puisi tunggalnya yang berjudul Atas Nama Cinta (Shell-Jagat Tempurung, 2012), Kuukir Senja dari Balik Jendela (Oase Qalbu, 2013) dan Labirin (Metabook, 2015) telah terbit. Saat ini bekerja di sebuah perusahaan kontraktor di Jakarta.




Oktavia Nurul Hidayah (Ponorogo)

Surat Kaleng

Ke mana sepucuk kasihku?
Kubilang aku lelah
Yang kutunggu hanya sampah

Kubertanya siapa dan mengapa?
Siapa yang kutanya?
Sungai itu tak bersuara
Mengalir pun bahkan tersedak

Kian waktu kian nestapa
Kasihku tak lagi kujumpa
Aku menunggu menahan gulana
Ke mana sungai membawanya?

Yang datang hanya rongsokan
Terseret dari hulu ke hilir
Sungaiku sedang meronta


Oktavia Nurul Hidayah, lahir di Ponorogo pada tanggal 6 oktober 1998. Sekarang tengah menempuh pendidikan di salah satu pondok pesantren di Ponorogo, Jawa Timur. Motivasi terbesar dalam hal kepenulisannya adalah kehidupan pribadinya. Menulis berarti menggoreskan sejarah hidup.



Pakwo Andra (Jambi)

Naga Selatan

Laksana urat nadi swarnnabhūmi
Dalam aliran sejarah
Saksi kejayaan Kuntala, Melayu, Dharmasraya, dan Srivijaya
Begitu banyak cerita dari hulu yang di hanyutkan
Namamu agung, bagai naga dari selatan

Hingga kini
Arusmu telah mati
Di racuni kegeoisan dan ambisi
Lalu-lalang harapan dan keserakahan dalam PETI
Terlalu banyak dosa anakmu yang kau tanggung
Mencari harapan lain
Kehidupan
Batang Hari
Dalam air mata para ikan
Rindukan kayuhan biduk membentang pukat dan pucuk jala
Di antara riak sunyi
Tepian sauh tempat riwayat masa lalu kami terpautkan
Tentangmu yang terlupakan
Lalu kenapa
Budak-budak telanjang , dalam
Arusmu yang seperti jamu 

Nama lengkapnya  Joni Juliyandra, lahir siulak  3 maret 1987. Mulai bergiat di dunia Seni dan sastra ketika bergabung ke sanggar KUBU BUNGO dan  aktif juga pada kegiatan KOMPI (Komunitas Musikalisasi Puisi Indonesia). Seniman yang satu ini gemar mempelajari dan menuturkan seni tutur melayu jambi seperti, krinok, kuau, mantau, dan senandung jolo yang dijadikan sebagai inspirasi dalam berkarya puisi. Beberapa sajak-sajaknya sudah pernah tergabung dalam antologi PENDERAS RISAU (2016), dan beberapa harian pagi di Kabupaten Bungo, Jambi. Saat ini menetap di Muara Bungo, Jambi.




Polanco Surya Achri (Yogyakarta)

Sungai Puisi

sejak dahulu
sungai selalu menjadi
nadi kehidupan
menjadi jantung peradaban
bahkan induk kebudayaan
begitu juga sungai puisi

aliran sungainya yang deras
jernih lagi menyegarkan
selalu bisa menyejukan
alam yang kehausan
tapi juga
selalu menyimpan misteri
dalam setiap aliranya

sungai puisi mengalir
berkelak-kelok layaknya
seorang penari yang beraksi

lekuk-lekuk tubuhnya
layaknya gadis muda
yang bergelora
hingga membuat yang memandangnya
pasti jatuh cinta...

namun...
sungai itu kini terdesak zaman
kehilangan esensinya dan maknanya
bahkan wujudnya

sungai puisi yang dulu
jernih kini keruh
karena ego-ego manusia
dan limbah-limbah
materialis dan kapitalis

sungai puisi yang dulu
deras kini tergenang dan tersumbat
akibat sampah-sampah zaman
yang menumpuk

sungai puisi yang dulu
lebar dan luas
kini sempit dan terdesak
bahkan mungkin akan hilang
tertutupi beton-beton moderenitas
dan besi-besi keserakahan

sungai puisi yang dulu
dalam dan tajam
kini dangkal dan tumpul
tak bermakna dan berasa

sungai puisi yang dulu
menyimpan buaya yang
mampu memangsa tirani dan rezim
serta menyimpan ular yang
mencekik para penguasa dan otoriter
kini, hanya menyimpan sampah bualan kosong

dahulu sungai puisi
selalu membasahi negeri ini
mengairi sawah-sawah pikiran
kolam-kolam kejiwaan
dan membasahi hutan kesadaran

tapi kini,
sungai puisi hanya menjadi kambing hitam
atas bencana banjir yang menimpa

layaknya air yang ingin mengalir
begitu juga sungai ini

tapi pikir
siapa yang membendungnya
dan mengotorinya?

jangan salahkan para penyair
yang terus menghujani sungai puisi
dengan isi hati dan pikiran mereka
karena bagi mereka
sungai puisi itu suci dan sakral
dan akan terus begitu

dan jangan salahkan (pula)
para rakyat kecil yang menangis
hingga sungai puisi
meluap, menjebol kebisuan dan ketulian
karena tangis mereka

biarkan sungai puisi banjir
agar membanjiri negeri ini
dengan puisi
                               
biarkan seluruh orang
terkena penyakit
penyakit mau membaca dan menulis
juga mendengar dan bicara

biarkan banjir puisi ini
kembali mengeluarkan buaya dan ular
yang mampu memakan kebejatan
dan kebengisan negeri ini
seperti dulu

biarkan banjir ini
menyapu kotoran negeri ini
agar kembali suci

Oh Tuhan
izinkan kami kembali
menikmati segarnya air
sungai puisi-Mu
karena kami begitu haus, Tuhan
agar ruh dan jiwa kami
kembali bersih dan murni

kuharap aku bisa
mandi dan minum dengan
air sungai puisi
agar sungai puisi mengalir
dalam tubuh ku
dan akan kusirami negeri ini
dengan air sungai puisi
agar bunga kedamaian
kembali bersemi

            Polanco Surya Achri lahir di Yogyakarta 17 Juli 1998. Berdomisili di Gendeng GK IV/408 Yogyakarta. Seorang penikmat sastra yang berharap mampu menghasilkan karya-karya sastra yang baik. Seorang pelajar yang terus belajar. Nomor ponsel: 085228830084 dan Pos-El: Kancilanco@gmail.com. 



Rahmat Ali (Jakarta)

Balada Hitam di Kompleks Pinggiran Sungai
                                                                                                                                                                    I
Tersiar sudah wilayah itu sebagai asli miliknya
Berbatas sungai mengalir ke muara 
Kokoh ditembok para preman jago dan jawara 
Sampai di luar-luar sana orang tahu sekali  walau hanya bisik suara
Penjudi pemabuk dan lelaki iseng berlomba datang 
Yakin di situ bakal senang di depan pintu dielu-elusi molek bergincu  
Bermanja dengan busana depan setengah buka 
Mendekat sambil tawari mau minum apa 
Yang mana suka untuk hapus dahaga 
Teh es manis jus jeruk kopi susu  atau daku
Pasti berbekal rindu seribu 
Yuk, yuk, Bang, yuk masuk 
Sudah kutunggu-tunggu sehari suntuk

II
Begitu bisnis manis 
Yang dilakoni Bos penguasa pinggiran sungai 
Parlente dengan bercincin berlian di jari manis nan tak ternilai
Sebenarnya wajah angker namun menutupinya bak juragan bijaksana
Profesinya agen bir 
Sudah belasan tahun buka kafe 
Masukan lainnya setoran dari para mucikari rame-rame 
Tak lama berselang karena bangunan dipermewah penghasilan makin limpah 
Sudah tugas harian  preman jago dan jawara membentengi 
Saat adzan dari mesjid mengumandang tak seorang pun perduli 
Malah cepat-cepat ke kamar menuruti syahwati 
Tamu-tamu lain tetap asyik merubung si molek bergincu 
Lanjutkan berkaraoke sambil colek penghibur sampai dini 

III
Tak ada yang gubris
Kalau nurani sudah di puncak krisis
Diyakini mucikari dan si molek-molek makin eksis   
Tamu-tamu berdatang  
Depan pintu selalu dielu-elu 
Bermanja dengan busana depan setengah buka 
Mendekat sambil tawari mau minum apa 
Seterusnya sampai ke kamar berdua 
Apakah akan begitu seterusnya? 
Tidak sangka beberapa hari kemudian 
Penggerebekan disambung penggusuran membabi-buta  
Mereka kalang kabut langsung angkut-angkut barang pulang desa! 
                                                                                                                               
Jakarta, 29 Februari 2016   

Rahmat Ali,  kelahiran   29   Juni   1939  di  Malang.  Lulusan Jurusan  Bahasa  &  Sastra  Indonesia  FKIP   UNAIR  Malang tahun 1964. Perwira Marinir TNI AL. Menulis puisi, cerpen, novel sejak tahun 1958 hingga  sekarang. Anak empat, cucu tujuh, pensiunan Pemda  DKI Jakarta  sejak  1995. Tinggal di Jl. Ampera I no. 32, kel. Ragunan, kec. Pasar Minggu, Jakarta 12550.  Email  alirahmatku@yahoo.com.  Tlp. 0217802584. 



Rahmi Airin  (Jakarta)

Caldera yang Terdera

Entitas yang meragukanku adalah sungai,
Berikut cinta di dalamnya berikut nasab di kandungannya
Sungai mengalirkan mazhab dan dogma yang tak pernah berhenti mengarus
Menderas hingga muara yang kelaparan
Maka jadikanlah harapan adalah cinta ibu
Maka jauhkanlah air yang menganak dari kepergian sapi-sapi betina yang kehausan
Maka hindarkanlah kejutan dimana berawan dan hujan deras adalah alasan bagi sungai menampung air mata.
Air mata yang menganak
air mata yang meraup aspal bagai linangan darah para suhada.

Terimalah ini sebagai takdir yang tak pernah bisa putus berdoa.
Sungai menyumpahi selaksa damai,
Sungai menyumpal beragam diksi yang kabur maknanya.
Sungai adalah aku,
Yang hanyut akan kesepian dan keriuhan malam. 

Rahmi Airin, Ibu dari dua orang anak kelahiran Purwokerto, Jawa Tengah, yang kini menetap di Ibu Kota. Hobi menyelam, naik gunung, dan nonton film. Beberapa puisinya pernah mampir di Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Radar Banyumas, Republika, Kompas, dan beberapa media lainnya. Suka juga menulis cerpen dan sudah memiliki sebuah novel yang beredar di seluruh Indonesia. Sempat bekerja sebagai TIM Kreatif dan Penulis Skenario di Citra Sinema, PH milik Deddy Mizwar dan kemudian memutuskan keluar karna ingin fokus mengurus keluarga. Saat ini sedang dalam proses merampungkan novel kedua sembari sesekali menulis puisi atau cerpen dan menjadi koki andalan di keluarga. No ponsel: 081289822642. Fb: Amoy AiRior. Twitter: ami_airin. Pos-El: ami.airin@gmail.com. Laman: www.rahmi-isriana.blogspot.com. Alamat: Jaan Pluit Dalam III/ No : 2. RT/RW 009/008. Kel/Kec Penjaringan. Jakarta Utara, 14440.

Silakan klik Daftar Isi untuk membaca bagian-bagian lainnya.

0 comments: