Bagian Keempat


Heri Kurniawan (Yogyakarta)

Kidung Hilir Ilir-Ilir

Gemercik riuh buat bumi berbasuh, liukan liar tegas mengular
melibas bumi dalam bingkai muara hilir.
Sambil menembang ilir-ilir, kau berujar jika semua menunggu takdir

Ingatku kala lalu, saat aku sanggup membelaimu tanpa rasa curiga
sembari bersiul nada-nada surga, mozaik cerahmu tak akan terlupa
Sambutmu, beningmu, senyummu, selaksa irama sukma
mendera benak lari ke sana kemari dalam kenangan lama.
Sendiri pun terasa ramai waktu itu

Tak lama kau bergumam, kemudian berdeham
sindir diri karena muka terlanjur lebam
Penunggumu kini kaku, ada pula diam membatu
jiwanya rapuh berderai-derai namun tak dapat terurai, sinis berderu

Sepotong senja beranjak pergi, aku terpaku
ingat nyanyian Ilir-Ilir yang pernah kita dendangkan bersama
ketika harum tanahmu masih wangi kusuma.

Hitam pekat ulat pun bahkan tak ingin dekat
mereka terberit melangkah cepat laksana kilat
enggan menari bersamamu lagi, entah sampai kapan?

Gemercikmu sunyi, angin lunglai, walau kadang mereka memelukmu erat
Arusmu, sungaiku, aku rindu menari bersamamu
dengan bermandi gugusan bintang yang dulu ada
Sambil menembang ilir-ilir, kau berujar jika semua menunggu takdir

Yogyakarta, 14 Februari 2016

Heri Kurniawan lahir di Sleman, Yogyakarta, 13 April 1981. Aktif menulis sejak semasa kuliah. Keseharian bekerja sebagai pustakawan sebuah SMA di Kulon Progo. Dapat dihubungi via Pos-El: ryawan_81@yahoo.co.id
   


Husnul Khuluqi (Banyumas)

Menyusuri Musi Malam Hari
-bersama pedagang pasar kalangan

perahu yang kita tumpangi
mampukah membaca derasnya  arus
dasar kali?

di atas geladak
orang-orang duduk memeluk lutut
sebagian menyelimuti tubuhnya dengan jaket
dan juga kain sarung

di kaki malam
perahu terus bergerak
menuju dusun-dusun yang jauh terpencil
dusun-dusun yang tersembunyi
yang belum tergambar
dalam peta
negeri ini

aduhai
ribuan kerlip bintang
adalah petunjuk bagi nahkoda
agar perahu tak sesat
ke rawa-rawa gelap
yang dikurung hutan-hutan
dan semak lebat

perahu yang kita tumpangi
terus mengayun di atas sungai
melewati kebun-kebun karet dan sawit
melewati rumah-rumah kayu yang sunyi
dalam sekapan malam
dan angin dingin dini hari

amboi
berapa lama lagi pelayaran ini mesti ditempuh?
di atas geladak orang-orang pulas mendengkur
tinggal aku terjaga sendiri
di bawah kerlip bintang-bintang
yang tampak kian tinggi

2016

Husnul Khuluqi atau biasa disapa Lulu lahir di Banyumas, Jawa Tengah. Puisi dan cerpennya dipublikasikan di Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia ,Horison, Jurnal Puisi, Jurnal Nasional, Suara Karya, Pikiran Rakyat, Lampung Pos,  Riau Pos, Sinar Harapan, Merdeka dan Fajar Banten.
Puisi-puisinya juga tergabung dalam beberapa antologi seperti Trotoar, Antologi Puisi Indonesia 1997, Cisadane, Rersonansi Indonesia, Bisikan Kata Teriakan Kota, Empat Amanat Hujan, 142 Penyair Menuju Bulan, Wajah Deportan, The Poetry of Nature, Akulah Musi, Percakapan Lingua Franca, Antologi Penyair Muda Malaysia-Indonesia 2009, Tara Tuah No Ate, Sauk Seloka, Ibu Kota Keberaksaraan, Negeri Abal-Abal, Negeri Langit, Negeri Laut, Tifa Nusantara 1, Tifa Nusantara 2  dan Kitab Karmina Indonesia.
Buku puisi tunggalnya berjudul Romansa Pemintal Benang (2006). Bergiat di Komunitas Sastra Indonesia, Jakarta. Mantan buruh pabrik benang di Kota Tangerang, Banten ini sekarang kembali ke kampung halamannya seraya tetap belajar menulis puisi dan cerpen.



Iis Nia Daniar (Bekasi)

Rindu Wadi

Gersang ...  tanpa dedaunan pada batang yang bergesekan menyapa kekerontangan di atas padang pasir.
Putaran angin bergelombang menyapu butirannya di tengah  ketandusan.

Pancaran mahabola pijar memanas kulit, mengelupas epidermis tepat di atas titik pusat diameter bumi.

Di mana hujan?
Di mana sungai?
Di mana oase pemberi kehidupan Ismail?

Berjalan menyusuri wadi berharap akan turunnya tetesan airmata langit hingga  terisi lengkung panjang yang mendamaikan ketandusan meski hanya setumit tapak.
DAS tidak lagi hanya artefak yang menyembunyikan banyak kisah, inginku....

Bekasi, 6 Maret 2016

Nama penulis Iis Nia Daniar dan nama pena: Senja Menjingga. Lahir di Bekasi, 15-08-1977. Pendidikan S-1 Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran Bandung (2000). Beberapa karya telah dimuat di koran lokal Madura dan antalogi puisi AFSI, Jogyakarta. Aktif di Forum Sastrawan Bekasi (FSB). Pengajar pada PRIMAGAMA cabang Bekasi dan SMP N 31 Kota Bekasi. Nomor Ponsel: 085280873946



Icham (Bekasi)

Kebahagiaan di Arus Sungai

Di kala senja yang mulai tipis
di pinggir sungai
dulu kita berempat
bersenda gurau di temani waktu
Tawa dan keisenganmu
bermain gemercik air
tak peduli
membasahi sebagian tubuh
hanya agar kapalmu
berlaju terdepan
Sorak sorai kemeriahan
sepanjang arus
dengan ego yang menggebu-gebu
rasa gembira yang memuncak
Dan begitu riang
di saat kapal memasuki finish
yang pertama
Aku, Fais dan Iqbal
merasakan kebahagiaan kemenanganmu
walau itu hanya kemenangan kosong
Senja pun mulai terlelap
kita pun melepas senang
saling merangkul
dan kembali pulang

Icham, Tambun Selatan – Bekasi. 089635998411/ 089633146847. Kode Pos 17519



Imam Budiman (Jakarta)

Mengeja Riwayat Kota Seribu Sungai

suatu ketika ada satu waktu di mana tambak-tambak ikan dan udang yang berjejer sepanjang halu ini akan saling bercakap dengan sulur-sulur kariwaya, akar rerambai, serta batang handil yang ditanam pasak kakinya pada kedalaman lumpur di dasar sunyi gulita. konon, percakapan itu terjadi saat di mana orang-orang sudah mulai lupa dan tak berniat membaca petatah-petitih lembaran arkais.

mereka membicarakan banyak hal, membincangkan persoalan ini dan itu, termasuk nasib kebudayaan dan identitas lokal tanah rawa tempat kita menanam serta menuai sejumlah bilangan napas kini. tempat di mana di atasnya pelaku riwayat cabang-cabang anak sungai; umak, abah, kayi, padatuan dahulunya menafsiri dengan saksama keberimanan hakikat air yang suci kepada arus dan ulak sesungai, dari masa hilir mudik para nini, amang, acil membawa sayur-mayur untuk dijual serta jaminan hidup, hingga masa di mana deretan jukung tak lagi banyak berfungsi sebagai transportasi utama melainkan sekadar menjadi sebuah simbol pada pegelaran festival tahunan kota ini.

mahasiswa biasa –ia sungkan sekali menamai dirinya 
sebagai aktifis lingkungan hidup atau alam atau apalah,
menerakan sederetan papan tanya dalam lubuk pikirnya:

jika tercemar wajah sungai ini, siapa hendak menanggung?
jika semakin anyir akibat limbah, semakin hitam karena sampah
kepada siapa kami menuding-busur rasa sesal dan iba?
jika hanya sekadar julukan, adakah kami masih bermakna sejarah
di dalam kepala-kepala penduduk kota ini tertinggal nama?

maka arus maka tepi maka siring maka jukung maka lanting
maka hayapak maka tongkang maka jamban maka jaring
maka ilung maka anang maka aluh maka pembaring

: adalah saksi atas segala rangkai-sederetan reranting waktu

Ciputat, 2016

Imam Budiman, dilahirkan di Loa Bakung, Samarinda, Kalimantan Timur. Ia menamatkan pendidikan Aliyah-nya di Pondok Pesantren Al-Falah Putera, Banjarbaru, Kalimantan Selatan.
   Kini berstatus sebagai Mahasiswa Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Di waktu yang sama, ia tercatat pula sebagai Mahasantri Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences, Ciputat, di bawah bimbingan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA.
Beberapa cerpennya terhimpun dalam kumpulan cerpen bersama, diantaranya: Iblis Tidur (Minggu Raya Press, 2013), Sang Penulis (LPM Mercusuar, UNAIR Surabaya, 2015), Penjerat Malaikat (Sabana Pustaka, 2016)
Puisi-puisinya terhimpun dalam antologi puisi bersama antara lain; Teriakan Bisu (Tahura Media, 2011), Ada Malam Bertabur Bintang (Dewan Kesenian Kota Banjarbaru, 2015), Tifa Nusantara II (Dewan Kesenian Tangerang, 2015), Pilunya Negeriku (Oase Pustaka, 2015), Kalimantan Selatan Menolak untuk Menyerah (Disbudparpora Kabupaten Banjar, 2015), Kalimantan Rinduku yang Abadi (Dewan Kesenian Kota Banjarbaru, 2015), Pelabuhan Merah (Sagang Intermedia Riau Pos, 2015), Mata yang Becerita (Rumahkayu Publishing, 2016) Gelombang Puisi Maritim (Dewan Kesenian Banten, 2016).
Adapun kumpulan puisi tunggalnya; Perjalanan Seribu Warna (2014) dan Sepilihan Sajak Kampung Halaman (Tahura Media, 2016).
Beberapa cerpen dan puisi-puisinya juga dimuat di berbagai media cetak/portal nasional dan lokal seperti:
Media Indonesia, Indopos,  Riau Pos, Babel Pos, Media Kalimantan, Lampung Post, Koran Madura, Metro Riau, Sumut Pos, Malang Post, Mata Banua, Cakrawala Makassar, Post Metro Jambi, Kaltim Post, Radar Banjarmasin, Radar Tarakan, Kalimantan Post, Banjarmasin Post, Solopos, Sastra Sumbar, Majalah Warta Bahari, Majalah Iflah, Majalah NABAWI, Majalah SANTRI,  Majalah INSAN, Buletin Sastra Lakonik, Buletin Sastra Pawon, Buletin Pojok Pesantren, Buletin Mantra, Buletin DENTA, Buletin D’Ruang, Buletin Harokah, Buletin Jejak, Buletin Literasi, Buletin Lentera, Tabloid Kabar IIQ, Tabloid INSTITUT, Tabloid RUANG, Jurnal Rusabesi, Sayap Kata, Ruang Aksara, Detakpekanbaru.com, Banjarmazine.com, Qureta.com, Kompasiana.com, Antasaria.com, Sastrapedia.com. Lokerpuisi.web.id, Forumpenulismuda.com, Mahasiswabicara.com, Ciputatbergerak.com, Riaurealita.com.
Pada tahun 2014 meraih nominasi kategori Puisi Terbaik Institut Award, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Naskah puisi berjudul Menjaga Harum Aroma Pandan Tanah dinobatkan sebagai puisi terbaik dalam rangka ulang tahun ke-III Rumahkayu Indonesia. Puisi berjudul Mata Gus Dur dalam Bayangan Masa Kecilku meraih juara ke-II dalam event Haul Gus Dur ke-6 yang diselenggarakan oleh Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah. Di akhir tahun 2015 cerpennya berjudul Empat Mazhab Penulis meraih nominasi terbaik event menulis nasional, LPM Mercusuar, UNAIR Surabaya. Cerpennya berjudul, Jabang Bayi Banyu Pilungsur meraih terbaik pertama dalam event Kemah Aruh Sastra XII, Martapura, Kalimantan Selatan, 2015. Cerpennya bejudul, Puisi Kematian Penyair Sapardi meraih terbaik pertama dalam event lomba yang diselenggarakan Sabana Pustaka.
Kini ia bergiat di Komunitas Sastra Inggris Rusabesi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan aktif sebagai Anggota Divisi Pendidikan dan Pelatihan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Pusat. Twitter: @Imambudiman23 



Imam Bukhori (Balangan)

Saksi Sungai

darah di-palas, dari hulu sampai ke hilir
kaki-kaki telanjang berlari, lalu tajun ke arus menghilang
atau suara derap dan ringkik kuda, menyisir di pinggir sungai
teriakan-teriakan takbir dan kesakitan, seperti menelan dentum meriam
ujung keris masih sisakan darah, terbawa arus sungai sejarah
dan aku, Sungai Barito
dingin
dan diam

lalu lelaki belia yang teguh pendirian itu
darahnya desirkan habar, “Dangsanak, ada di hadapanmu”
ia menggemuruh haru, melihat dangsanak-nya seperti kehilangan ibu
“Dingsanak Temenggung Jalil,” sapanya ramah, yang menyimpan duka
keduanya terdiam, mereguk derita sungai Tuhan
lalu Sungai Barito, meng-habar-kan kecamuknya perasaan
dengan dingin
dan diam

hari itu di alun-alun kota, setelah perjamuan minum dengan kalangan yang bukan jaba
Belanda jatuhkan hukuman gantung
tapi kematiannya, tak menghentikan leher yang dipancung
seketika, arus sungai berubah menjadi darah
yang merahnya bergulung melawan arus, dari hilir muara menuju hulu
seraya Sungai Barito berteriak, “Demang Lehman sang penghulu!”
dengan tetap dingin
dan diam

itu dulu, yang cangul-kan para pahlawan abu-abu
sekarang, arus Sungai Barito masih saja dingin dan diam
namun mampu bernyanyi lagu Banjar:
kapal api gandengan dua
kapal api gandengan dua
hilir mudik di Sungai Barito lah sayang
membawa tumpangan lawan barang
hilir mudik di Sungai Barito lah sayang
membawa tumpangan lawan barang

demikian
kesaksian Sungai Barito
ba-nyanyi
yang tetap dingin
wan diam

Hamparaya Batumandi, Ahad, 14 Pebruari 2016

Catatan:
dipalas             =          dilumuri
tajun                =          terjun
habar               =          kabar
dangsanak       =          saudara bagi yang lebih tua
dingsanak        =          saudara bagi yang lebih muda
daba                =          tokoh yang berasal dari kalangan jelata
cangulkan        =          munculkan
banyanyi          =          bernyanyi
wan                 =          dan


Imam Bukhori. Ia lahir 46 tahun lalu di Kota Surabaya, Jawa Timur, tepatnya pada tanggal 25 Juli 1969. Sempat mencicipi bangku kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sunan Giri (Unsuri) Surabaya, tapi hanya sampai rampung bikin skripsi, dikarenakan keasyikan bekerja dan berkesenian, hingga nasib menghantarkannya “kujuk-kujuk” ke Bumi Borneo dan “tapatak” di Kabupaten Balangan,  Kalimantan Selatan.
Menulis sedikit serius justru berawal dari keakrabannya dengan dunia teater di Surabaya pada tahun 1990. Selain berteater, ia mulai membuat puisi, cerita pendek, dan esai. Namun tidak begitu banyak—kalau tidak mau disebut tidak ada—tulisan-tulisannya yang dipublikasikan secara resmi.
Hanya saja ada satu dua puisinya yang sempat “nyangkut” di buku Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan serta buku antologi puisi lainnya. Dan beberapa tulisan esainya yang “nongol” satu dua di Surat Kabar Harian (SKH) Media Kalimantan, SKH Radar Banjarmasin, serta nyangkut secara berkala di kolom Serumpun Bambu, Majalah Bulanan Journal of Kalimantan, yang sudah “almarhum”.
Kini, selain tetap senang berkesenian seperti baca puisi ketawa ngakak-ngakak kayak orang gila, ia juga bernasib baik dipercaya teman-teman seniman dan budayawan Kabupaten Balangan untuk menjadi Wakil Ketua Dewan Kesenian di daerah yang bergelar Bumi Sanggam.
Selain itu, ia bernasib baik pula untuk pernah merasakan jadi wartawan di beberapa media massa lokal, mulai SKH Media Kalimantan, Majalah Bulanan Journal of Kalimantan, Tabloid Urbana, SKH Borneo News, dan saat ini menjadi kontributor di Banjar TV.



Imam Dairoby (Banjarbaru)

Sampai Kapan Sadarmu?

Dia mengering
Ketika langit marah
Tak mengirimkan tetes airnya
Di Bumi ku
Mahluk bersirip dan bersisik kelojotan dalam lumpur
Mata melongo terbelalak milik sang pembawa Gentong
Kemana perginya aliran bening di ceruk ini?
Mengapa tak menyisakan untuk kami
Nun jauh disana
Deru mesin menebang rerimbunan rumah satwa
Teriakan pemilik benua seakan terhapus denting gemerincing pundi
Mereka tak peduli
Ketika langit kembali murka dengan limpahan air hari demi hari
Menggulung dari bukit-bukit yang telah gundul
Tak ada penghalang
Tak ada yang berani menghalang
Menyaput semua yang dilewati
Menuju ceruk yang telah lama mengering
Memenuhinya dengan air dan apa pun yang tersaput
Banjir
Banjir
Banjir
Teriak mereka yang memiliki mulut
Sungai kering kami menjadi penuh dengan air berwarna cokelat comberan
Mereka mengutuk
Mereka menggerutu
Mengapa selalu ada bencana tanya mulut rombeng mereka
Tak sadarkah
Diri sendiri yang menganiaya
Sungai Indah menjadi kering
Sungai Indah menjadi Comberan
Gemerincing pundi telah menutup mata dan otak mereka sendiri
Masih tak sadarkah ?

Imam Dairoby, seorang wirausaha di Kota Banjarbaru. Penikmat sastra dan seni. Pernah menulis buku genre cerita anak seperti Icha dan Bunga Mawar penerbit leutika prio, Cerita Islami terpopuler sepanjang masa penerbit Qudwah Publiser. Beberapa buku kumpulan cerpen pernah ditulis seperti Lelaki dalam Kisah, dan Akasia (penerbit Leutika Prio). Aktif menulis di Baltyra.com dan laman pribadi Tenun Kata Pustaka Akasia.




Imam Khanafi (Kudus)

Nasib Sungai-Sungai

Kaf,
Di sekitar kita ada sungai
Tapi kita dan tetangga kita lupa
Tubuh sungai sekarang banyak sampah
kasihan sungguh
kasihan sekali nasib sungai

Kaf,
tangan jahil manusialah
yang membuat sungai kotor

mereka lupa
akan kebutuhan air
Air menjadi tumpuan hidup

kata Kaf:
sungai bersabarlah

Kudus, 2016


Imam Khanafi lahir di Kudus, 11 April 1989. Bergiat di Kelompok Penulis Sastra (KELOEPAS) Kudus, Jawa Tengah. Puisi-puisinya termaktub dalam antologi, antara lain Indonesia dalam Titik 13 (2013), Puisi buat Gus Dur: Dari Dam Sengon ke Jembatan Panengel (2013), Ensikopledi Koruptor (2015), TRINETRA WALGITA (bersama Aji Ramadhan dan Jumari HS, 2015), dan Bayang-Bayang Manara (Pustaka KPK—Keluarga Penulis Kudus—2015). Ia bisa dihubungi via ponsel: 085726946092, Pos-El: imam_peka@yahoo.co.id, atau datang langsung ke  alamat: Desa Samirejo 03/04 Kecamatan Dawe, Kudus, Jawa Tengah.




Indahsari (Kraksaan)

Di Kapuas Kaupinang Aku 
                                                 
Payungmu mengayomi aku hingga tepian sungai.       
Membuat sarang laba-laba lebih rumit lagi.
Tarikan napas serba terbatas. 
Mengharap impian jadi kenyataan.
Di Sungai Kapuas kau tabur bunga di dadaku.                   
Musafir cinta bawalah aku dengan sampanmu.             
Kau melantunkan nada-nada kosong.                       
Yang memberi arah arti yang dalam.                                                                      
Aku terbangun dari kesadaranku.                         
Merentang sepanjang masa.                                         
Jika harapan telah nyata mencapai arti klimaks.           
Di situlah aku tersadar arti sebuah harapan,                                       

Di Kapuas kau pinang aku.       
Menggenggam seberkas sinar di matamu.                 
Pohonku berdaun, daunnya jarang, jarang sekali.             
Senang sekali kumenanti saat kau beri kenangan




Jack Efendi (Bekasi)

Brantas Suatu Malam
: Ci Ronabaya

Di sempadan sungai yang menyimpan riwayat
Juga sejarah yang semakin tua menuju pucuk purba
Aliranmu menuju muara yang paling jauh
Jiwaku mengembang seperti khazanah Brantas

Di kedalamanmu, cadas dan batu-batu semakin mengeras
Seperti rinduku pada aroma tanah yang menyimpan peradaban
Brantasku yang manis seperti lengkung senyum perawan
Menyihir mata penambang pasir mengais nasib yang papa

Malam ini, Brantas
Aku berada di pelukanmu yang tak lagi hangat
Sebab gigil dingin kian binal menjilati tubuh yang lelah
Ingin aku kawinkan saja aroma kopi dan kepulan tembakau
Untuk memikat serpihan peristiwa silam yang masih bias
Sebias kedalamanmu, Brantas

Ingin kubalut sunyi yang tawar ini
Agar cahaya purnama ikhlas I’tikaf di bantaranmu
Di mana kausembunyikan Kidung Perjalanan Bujangga Manik

Bekasi, 29 Februari 2016
  
Jack Efendi (Ponadi Efendi Santoso) lahir di Mojokerto 11 Februari 1982. Beberapa puisinya pernah dimuat di antologi Ponari for President, antologi Gempa Padang G-30 S., antologi BMK Bandung Sihir Betis Ken Dedes, antologi Negeri Sembilan Matahari, antologi puisi BMK Bandung Berkaca pada Waktu, antologi Indonesia Titik 13, Pengantin Langit (2014), Jaket Kuning Sukirnanto (2014), antologi puisi Jejak Tak Berpasar (2015), dan 175 Penyair dari Negeri Poci 6: Negeri Laut (2015).
Selain menulis puisi, juga menulis cerpen yang pernah dimuat di Buletin Jejak Bekasi, Tabloid Serapo Balikpapan, dan antologi sembilan cerpenis Mojokerto Tentang Kami Para Penghuni Sorter, Radar Bekasi, www.kabarBekasi.com, www.tintahijau.com, antologi puisi LESBUMI Kab. Tegal, www.bekasiinfo.com, Tabloid Media Patriot Bekasi, serta antologi 17 Penyair Kepada Bekasi 2013.
Sekarang aktif di kelompok seniman Kabupaten dan Kota Bekasi “Forum Sastra Bekasi (FSB)” Tinggal di Jalan Bengkulu Blok F/36 Komp. Masnaga – Jakamulya, Bekasi Selatan, Jawa Barat. Nomor ponsel: 085693069297



Jen Kelana (Jambi)

Mendaras Risau Kemarau

Pagi yang menggores di relung kekanak
memainkan warna pelangi di ujung langit
dan tersebab ricik air di selangkangan batu-batu
memetakan mega di antara hijau dedahan

Begitulah angin selalu menjadi penanda
atas gemulai arus sungai mengeja kata
gunung melukis alam. di piguranya kabut
dan risau pepohon mendaras aroma dedaunan
petani menyibak sawah dalam kubangan
lumpur-lumpur bersama kerbau menghela
bangau di dekatnya menyajisiap diorama 
desa dalam gapai matahari

Menggigil waktu mencumbui kenang
aku tak tahu di mana persinggahan itu
berlabuh. pada risau kemarau yang asing
sungai-sungai itu kini mengering
menyisakan rengkah-rengkah menguning
menelanjangi sunyi-sunyi jiwa

2016                                                                                                                                                                                                                                                                              
 Jen Kelana (Jambi) lahir di Nganjuk (Jatim), besar di Sumut dan Jambi. Menulis puisi, cerpen, feature, esai, artikel, dan karya ilmiah. Pernah mengikuti pertemuan Sastra Numera di Padang (2012). Puisi dan cerpennya terangkum dalam antologi tunggal dan bersama. Di antaranya Eksodus (1992), Kemarau (1999), Kelana (2000), Menyisir Senja Sungai Putih (2001), Nukilan Kabar dari Arasy (2002), Tafsir Malam (2015), Nubuwah Kelahiran (2001), Tembang Padang Merangin (2001), Nuansa Tatawarna Bathin (2002), Senandung Merangin (2008), Menguak Senyap (2012), Igau Danau (2012), Risalah Para Pembual (2012), Lacak Kenduri (2015), Puisi Menolak Korupsi 4 (2015), Memo untuk Wakil Rakyat (2015), Pendaras Risau (2015), Rumah Cinta (2015), Sakkarepmu (2015).
Sebagian karyanya juga dipublikasikan di media massa dan media digital. Hobi elektronik, hardware, software, computer, dan web develover di samping menekuni bidang matematika, statistika, dan penelitian pendidikan. Aktivitas sebagai kuli di STKIP YPM Bangko. Pos-El: jen_media@yahoo.com, nomor ponsel: 081366980324. Alamat Surat: STKIP YPM Bangko, Jalan Talangkawo, Dusun Bangko, Bangko, Merangin, Jambi, 37314.
  
Silakan klik Daftar Isi untuk membaca bagian-bagian lainnya.

0 comments: